Desa Mengada-ada Keruk Uang Negara

Satu di antara puluhan desa fiktif penerima Dana Desa, yakni Desa Tanggondipo di Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Sumber :
  • tvOne

VIVA – Bagi koruptor, selalu ada cara untuk mencuri dan mengeruk kekayaan yang bukan miliknya. Meski pengawasan korupsi mengetat, tetapi mereka tak hilang akal.

Saat melakukan rapat kerja dengan anggota DPR RI, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengungkapkan, temuannya soal desa siluman. Ini bukan kisah tentang desa berhantu yang penuh mistis dan menyeramkan, atau cerita tentang desa yang tak berpenghuni nyata, tetapi dihuni oleh mahluk halus. 

Desa siluman yang disinggung oleh Menteri Keuangan adalah tentang desa tak berpenduduk, tetapi tercantum namanya sebagai penerima anggaran dana desa. 

"Kami mendengar beberapa masukkan, karena adanya transfer yang ajeg dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), maka sekarang muncul desa-desa baru, yang bahkan tidak ada penduduknya. Hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," tutur Sri di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin 4 November 2019. 
 
Sebelum disinggung oleh Menteri Keuangan, sejak Juni lalu, Polda Sulawesi Utara sudah mulai melakukan penyelidikan atas dugaan adanya 56 desa siluman di Kabupaten Konawe Utara. Pemerintah Kabupaten Konawe, diduga memanipulasi data penerima dana desa. Sebab, 56 desa fiktif tersebut belum ditetapkan dalam Perda, tetapi telah menerima dana desa.

Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) meminta pendampingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, untuk mengusut kasus tersebut.

"Kami  minta pendampingan dan supervisi dari KPK dan Bareskrim Polri. Jadi kami yang menangani kasusnya, dan yang backup itu KPK dan Bareskrim," kata Kapolda Sultra Brigjen Pol Iriyanto.

Selain meminta pendampingan dan supervisi dari KPK dan Bareskrim Mabes Polri, Polda Sultra juga meminta secara khusus pada KPK, untuk mengaudit. Surat permintaan untuk melakukan audit sudah dikirim ke KPK. 

Desa Tak Ada, Dana Melimpah

Dana desa adalah dana yang diperuntukkan bagi desa. Dana ini bersumber dari APBN dan ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota. Dana tersebut, digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan daerah, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Program Dana Desa sudah dilakukan sejak 2015. Sejak saat itu hingga 2019, pemerintah mengklaim telah menggelontorkan Dana Desa sebesar Rp257 triliun. Setiap tahun, angka yang digelontorkan selalu meningkat.

Dimulai dari Rp20,8 triliun pada 2015, Rp46,9 triliun pada 2016, meningkat menjadi Rp60 triliun pada tahun 2017 dan 2018, hingga akhirnya menjadi Rp70 triliun pada tahun ini.

Dikutip dari katadata, realisasi dana desa yang telah dikucurkan pada 2018, mencapai Rp59,86 triliun atau 98,77 persen dari target sebesar Rp60 triliun. Dana desa tersebut ditransfer ke 434 Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di 33 provinsi. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga 30 September 2019, realisasi dana desa mencapai Rp44 triliun, atau telah terserap 62,9 persen. 

Menurut Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pengawasan dana desa selama ini diserahkan ke pihak Pemprov. Sebab, tak ada 'tangan langsung' dari Mendagri yang harus mengecek 79 ribu desa di seluruh Indonesia.

Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA),  Yenny Sucipto menduga munculnya desa-desa baru tak berpenghuni yang menerima transferan dana desa disebabkan oleh tak efektifnya sistem evaluasi pengelolaan dana desa dan buruknya koordinasi antar kementerian/lembaga terkait.

Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), anggaran desa menjadi pos yang paling banyak dikorupsi pada tahun 2018. Anggaran itu meliputi Anggaran Dana Desa (ADD), Dana Desa (DD) dan Pendapatan Asli Desa (PADes).

ICW mencatat, dari 454 kasus korupsi yang diusut sepanjang 2018, 96 kasus di antaranya adalah korupsi anggaran desa. Kerugian keuangan negara ditaksir mencapai Rp37,2 miliar.

Wakil Bupati Konawe, Gusli Topan Sabara kepada tvOne menyatakan, sebenarnya hanya ada tiga desa yang dianggap desa fiktif, yakni Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya, Desa Uepai di Kecamatan Uepai, dan Desa Morehe di Kecamatan Uepai. Ketiga desa itu, memang tidak memiliki pemerintahan dan wilayahnya tak berpenduduk.

Ketiga desa sudah tidak memiliki wilayah akibat pemekaran kecamatan. Desa yang awalnya masuk Kecamatan Labuya, kini masuk wilayah Kecamatan Onembute, yang baru dimekarkan. Desa Morehe masuk wilayah Kabupaten Kolaka Timur, karena ada pemekaran daerah. Desa Uepai berubah status menjadi kelurahan sejak 2003, sedangkan kelurahan tidak berhak menerima Dana Desa.

Gusli memastikan, sejak 2015, dana untuk ketiga desa tersebut tak disalurkan. Dana tersebut ada di kas daerah, dan jumlahnya mencapai Rp5.847.543.000. "Tidak disalurkan, karena hasil rekomendasi Inspektorat Provinsi Sulawesi Tenggara," ujarnya. 

Kejar dan Tangkap Pelaku

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengakui, adanya potensi kebocoran dari program dana desa yang setiap tahun mendapat kucuran dana hingga miliaran rupiah untuk satu desa.

Menurutnya, tak tertutup kemungkinan adanya pihak-pihak yang membuat desa fiktif dengan harapan mendapat kucuran dana desa. Jumlah desa seluruh Indonesia saja mencapai 74.800. Sehingga, proses pengawasannya juga tidak mudah. 

Tetapi, Jokowi meminta, agar aparat penegak hukum segera bertindak. Jokowi memerintahkan, agar pelaku dicari lalu kemudian ditangkap oleh aparat penegak hukum. 

"Tetap kita kejar, agar yang namanya desa-desa yang diduga fiktif, ketemu, tangkap," ujar Presiden Jokowi, di JIExpo, Kemayoran Jakarta, Rabu 6 November 2019.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengaku telah menurunkan tim, guna mengecek adanya dugaan penerimaan dana desa ke desa yang tak berpenghuni alias fiktif atau siluman di wilayah Konawe, Sulawesi Tenggara.

Tim dari Kemendagri, nantinya akan berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan Polda Sulawesi Tenggara terkait desa fiktif itu.

"Sudah bergerak tim kita, bergerak ke sana bersama tim Pemprov dan Polda Sultra," ujar Tito di Mako Brimob, Kelapa Dua Depok, Rabu 6 November 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan ikut menyelidiki kasus dugaan skandal anggaran terkait 56 desa fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). 

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif memastikan, institusinya akan turun tangan membantu Polda Sutra, yang tengah mengusut kasus tersebut.

"KPK hanya membantu penyelesaian dan memastikan kasus itu diselesaikan dengan baik sampai berkekuatan hukum tetap," kata Laode dikonfirmasi awak media, Selasa 5 November 2019. (asp)