Berat Hati Pemerintah Iuran BPJS Kesehatan Urung Naik

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Pemerintah pusing tujuh keliling mencari-cari cara untuk menambal defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Keputusan menaikkan iuran seratus persen per 1 Januari 2020 agar dananya bisa dipakai untuk menutupi anggaran yang tekor itu ternyata dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Besaran iuran atau premi peserta, mau-tak-mau, mesti dikembalikan ke aturan semula. Masyarakat menyambutnya dengan suka cita karena mereka akan kembali mendapatkan pelayanan kesehatan yang terjangkau. Tetapi pemerintah berat hati karena skema kenaikan itu telah diperhitungkan dengan matang agar BPJS tak tekor-tekor amat.

Dewan Perwakilan Rakyat menganggap putusan Mahkamah ibarat tamparan keras bagi pemerintah karena Parlemen menganggap Eksekutif melanggar kesepakatan. BPJS Kesehatan tetap harus memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi di saat bersamaan dipastikan merugi.

Terancam kolaps

Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, karena menganggap peraturan itu bertentangan dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Besaran iuran berdasarkan aturan awal—Rp25.500 untuk kelas III, Rp51.000 untuk kelas II, dan Rp80 ribu untuk kelas I—berlaku lagi sejak putusan itu dibacakan.

Sri Mulyani, seolah ingin mengatakan bahwa kenaikan itu sesungguhnya tak dapat ditawar lagi, menceritakan kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang defisit dari tahun ke tahun. Pada 2019, misalnya, pemerintah menyuntikkan dana Rp13,5 triliun kepada BPJS untuk menomboki defisit Rp32 triliun, artinya, sesungguhnya masih kurang Rp15,5 triliun.

Pemerintah telah memperkirakan, dengan jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 96,8 juta jiwa, anggaran membengkak menjadi Rp39,5 triliun pada 2020, Rp50,1 triliun pada 2021, Rp58,6 triliun pada 2022, Rp67,3 triliun pada 2023, dan Rp77 triliun 2024. Dengan skema kenaikan yang dirancang pada 2019 itu, pemerintah dapat menganggarkan Rp48 triliun untuk BPJS—aman untuk tahun 2020 saja.

Sri Mulyani memastikan putusan Mahkamah akan memengaruhi keuangan BPJS Kesehatan meski tak dirinci dampak-dampapaknya. Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, dalam sebuah forum di Jakarta pada Oktober 2019, sempat mengatakan bahwa perusahaannya terancam kolaps jika terus-menerus tekor.

Sehari setelah putusan Mahkamah, sang Menteri mengaku belum juga memiliki solusi jitu untuk mengatasi defisit BPJS. Dia malah mengulangi alasan pemerintah untuk menaikkan iuran peserta BPJS demi menyelamatkan institusi itu sekaligus keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional, meski keputusan itu tak memuaskan semua pihak.

Sayangnya nasi sudah menjadi bubur: keputusan kenaikan iuran telah dibatalkan, dan pemerintah wajib mematuhi putusan hukum itu. "Keputusan tersebut buat ini semua berubah,” Sri Mulyani mengatakan dengan getir, seolah memendam kekecewaan. “Kita berharap masyarakat tahu ini konsekuensinya besar terhadap JKN.”

Untuk sementara ini, dalam kondisi kenaikan iuran dibatalkan, menurut Sri, transparansi manajemen BPJS Kesehatan menjadi sangat penting. Itu demi memberikan pemahaman yang sebenarnya dan menyeluruh terhadap masyarakat secara luas mengenai kondisi sebenarnya institusi itu.

Mengingkari kesepakatan

DPR mengingatkan bahwa sebelum rencana kenaikan iuran peserta BPJS itu diputuskan, Parlemen dan Pemerintah sudah menyepakati beberapa hal, di antaranya tidak menaikkan iuran peserta khusus kelas III. Namun, pemerintah malah mengingkari kesepakatan itu dengan tetap menaikkan iuran semua jenis peserta termasuk kelas III.

Wakil Ketua MPR yang juga anggota Komisi VIII DPR, Hidayat Nur Wahid, masih mengingat ketika Wakil Ketua Komisi IX berkali-kali memperingatkan pemerintah yang tidak melaksanakan kesepakatan agar tak menaikkan iuran kelas III. “Itu sama saja—dalam tanda kutip—tidak menghormati DPR.”

Saat Presiden menerbitkan peraturan tentang kenaikan iuran itu, Hidayat mengingatkan lagi, rakyat kemudian menggugatnya ke Mahkamah Agung, dan Mahkamah mengabulkannya. Pemerintah berwenang membuat peraturan. Tetapi, mekanisme yang ditempuh rakyat dengan menggugatnya sehingga keputusan pemerintah dianulir sudah benar. “Begitulah negara hukum,” katanya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh bersyukur atas putusan Mahkamah. DPR selama ini berjuang luar biasa keras untuk mencegah pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan meski pemerintah membandel sampai akhirnya dibatalkan demi hukum.

Selanjutnya, menurut politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu, selain menjalankan putusan Mahkamah, pemerintah dan BPJS Kesehatan mesti secepatnya mencari solusi mengatasi defisit anggaran tanpa harus menaikkan iuran dari peserta.

Parlemen mengklaim, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, sebenarnya pemerintah dan BPJS dapat mengurangi defisit tanpa menaikkan iuran peserta. Namun dia tidak memerincinya. Dia hanya meminta Kementerian Keuangan menghitung ulang anggaran BPJS. “Berdasarkan yang kami telah pelajari juga, banyak data BPJS yang harus disinkronkan,” katanya. (ren)