Lebih Maut dari Corona: DBD

Jakarta Waspada Demam Berdarah Dengue
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Tak diragukan lagi, wabah virus corona membetot perhatian dunia. Wabah yang bermula dari China itu telah menjangkiti 117 negara hanya dalam waktu tak lebih dari empat bulan sejak Desember 2019. Lebih dari seratus ribu orang terinfeksi dan hampir lima ribu orang tewas di seantero bumi akibat penyakit yang dinamai Covid-19 itu.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia waswas sejak penyakit itu melumpuhkan China lalu menyebar ke Asia Tenggara. Bersiap-siap dengan kewaspadaan tinggi untuk menghadapi wabah serupa, Indonesia seolah menjadi lengah. Dalam masa yang bersamaan dengan wabah corona, maut mengintai Indonesia dan perlahan tapi pasti mencelakai orang-orang yang terjangkit: demam berdarah dengue (DBD).

Pemerintah merilis data jumlah kasus DBD dalam tiga bulan pertama 2020 telah menjangkiti belasan ribu orang dan lebih dari seratus kematian. Data itu seolah menyadarkan publik dan pemerintah bahwa ancaman DBD nyata di depan mata dan bahkan, tentu saja, jauh lebih mematikan daripada corona.

Wabah tahunan

Kecepatan penularan penyakit Covid-19 akibat virus SARS-CoV-2 itu memang dahsyat tetapi tingkat kematiannya rendah. Penyakit DBD, akibat virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, tak secepat corona, namun untuk tingkat kematiannya, corona tak ada apa-apanya.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dimutakhirkan pada 11 Maret 2020, DBD telah menginfeksi 17.820 warga dan membunuh 104 orang sepanjang Januari-Maret. Jangkauannya luas, meliputi 370 kabupaten/kota di 28 provinsi, dengan jumlah kasus terbanyak di empat provinsi: Lampung 3.423 kasus, NTT 2.711 kasus, Jawa Timur 1.761 kasus, dan Jawa Barat 1.420 kasus. Bandingkan dengan kasus corona yang menginfeksi 69 orang dan 2 di antaranya meninggal dunia per 13 Maret.

Sayangnya DBD bukan penyakit yang terjadi pada 2020 saja melainkan wabah tahunan. Jika melihat data kasus DBD di Indonesia dari tahun ke tahun, betapa menyedihkannya corona. Jumlah kasusnya mencapai puluhan ribu sampai ratusan ribu dengan tingkat kematian berkisar ratusan orang tiap tahun.

Sebagaimana data yang dirilis Kementerian Kesehatan tentang kasus DBD sejak tahun 2014 sampai 2020, grafiknya naik-turun, tetapi cukup jelas: jumlah kasus dan tingkat kematiannya mencengangkan. Secara periodik, jumlah kasus sejak 2014 sampai 2019: 100.347 orang, 129.650 orang, 204.171 orang, 68.407 orang, 53.075 orang, dan 137.761 orang. Jumlah penderita yang meninggal dunia pada 2014 sebanyak 907 orang, tahun berikutnya 1.071 orang, kemudian pada 2016 sebanyak 1.598 jiwa, 2017 sebanyak 493 orang, 2018 sebanyak 344 jiwa, dan di 2019 mencapai 917 orang. 

Jika dibandingkan periode Januari-Maret 2019, jumlah kematian akibat DBD dalam periode yang sama 2020 menurun: 439 kasus dan 104 kasus. Tetapi tahun 2020 masih panjang dan musim hujan—masa pertumbuhan populasi nyamuk meningkat—masih cukup lama sehingga potensi penjangkitan tetap tinggi.

Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah sejak Oktober 2019 mengingatkan waspada potensi DBD dan upaya-upaya pencegahannya di daerah-daerah. Kementerian juga mengingatkan para kepala daerah agar meningkatkan kesiagaan dengan mengaktifkan gerakan satu rumah satu jumantik (juru pemantau jentik) dan pembersihan sarang nyamuk.

Hasilnya, sebagaimana diklaim Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, jumlah kasus DBD pada 2020—jika perbandingannya periode Januari-Maret 2019—memang turun. Dia mencontohkan Jawa Timur yang berhasil menekan angka kesakitan dan kematian.

Jangan cuma corona

Dewan Perwakilan Rakyat memperingatkan pemerintah agar tidak cuma berfokus pada penanganan wabah corona, tetapi juga juga bencana DBD yang telah menjangkiti belasan ribu orang. "Jangan sampai sibuk mengurus Covid-19, tapi melupakan bahaya nyata kasus DBD,” kata anggota Komisi IX DPR Nabil Haroen.

Nabil mengkritik jumlah penderita DBD yang cukup banyak itu akibat kurangnya program berkelanjutan, juga minimnya prasarana obat-obatan untuk menangani pasien.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh mempersoalkan keseriusan pemerintah terhadap penanggulangan DBD yang selalu terjadi setiap tahun. Bahkan, seluruh wilayah Indonesia berpotensi untuk menjadi kejadian luar biasa DBD. Pemerintah, katanya, selain tak boleh mengesampingkan perkara DBD, mesti juga membuat penelitian lebih mendalam agar tidak terulang setiap tahun.

Belakangan juga pemerintah tampak lebih mengerahkan perhatiannya pada wabah corona. Untuk wabah DBD, baru setelah korban berjatuhan, pemerintah datang dengan berbagai bantuan. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan sampai memimpin langsung tim medis komplet dan obat-obatan ke Sikka, kabupaten NTT yang telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa DBD.

Siti Nadia Tarmizi berdalih, sebenarnya pemerintah daerah dan pemerintah pusat punya peran masing-masing dalam penanganan wabah penyakit seperti DBD dan corona. Masalah DBD secara umum dipasrahkan kepada pemerintah daearah. Kalau suatu daerah dianggap tidak sanggup menangani wabah itu, misal, Sikka, barulah Kementerian Kesehatan turun tangan langsung. Tetapi, dalam kasus wabah corona, langsung dimonopoli oleh pemerintah pusat. (ase)