Pulang Kampung Dahulu, Dilarang Mudik Belakangan

Pemudik sepeda motor memasuki kapal Roro.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ardiansyah

VIVA – Warganet gaduh gara-gara pernyataan Presiden Joko Widodo ketika menjawab laporan tentang ratusan ribu orang mudik lebih dini dari Jakarta dan sekitarnya ke daerah-daerah menyusul wabah virus corona di Ibu Kota, sementara pemerintah terlambat mencegahnya.

Mereka yang lebih dahulu cabut dari Jakarta itu, menurut Jokowi, bukan mudik, tetapi pulang kampung. Mereka memang pergi ke kampung halaman juga, sama seperti mudik, tetapi itu tidak bisa disebut mudik terutama karena bukan dalam rangka lebaran Idul Fitri. Sedangkan mudik, meski sama-sama aktivitas pulang ke kampung halaman, lebih erat kaitannya dengan alasan Lebaran dan lazimnya terjadi selama pertengahan hingga akhir Ramadhan.

Karena alasan itu pula pemerintah baru belakangan memutuskan dengan tegas melarang masyarakat untuk mudik demi menghentikan penyebaran virus corona ke desa-desa. Yang lebih dahulu pulang kampung tak mungkin dikembalikan ke Jakarta karena aktivitas ekonomi di Ibu Kota sudah lumpuh. Yang berancang-ancang mudik wajib segera dicegah.

Ramadhan

Penjelasan yang disampaikan Jokowi dalam wawancara di sebuah stasiun televisi itu mengundang polemik. Argumentasi Presiden bahwa yang pulang kampung karena di Jakarta tidak ada pekerjaan, sementara yang mau mudik karena mau berlebaran, dianggap membingungkan. Warganet sampai menunjukkan pengertian mudik yang sesungguhnya juga sama-sama aktivitas pulang kampung, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Seorang pembantu Presiden, Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Budi Arie, membela argumentasi Jokowi. Mudik, katanya, merupakan peristiwa yang berdimensi sosiokultural atau tradisi saat Idul Fitri dan berlangsung mulai tujuh hari sebelum hingga tujuh hari setelah Lebaran. "Karena jumlahnya masif dan dalam waktu bersamaan,” Budi menjelaskan, “arus mudik harus di-manage sedemikian rupa oleh pemerintah.”

Sedangkan pengertian pulang kampung ialah sebuah pilihan masyarakat untuk kembali ke daerah asal mereka. Motifnya bukan karena Idul Fitri, tetapi alasan lain, yakni faktor sosial-ekonomi. Waktunya pun di luar masa Ramadhan.

Dalam tinjauan kebencanaan, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mudik dan pulang kampung memang berbeda pengertian. Mudik adalah pulang kampung yang sifatnya sementara dan akan kembali lagi ke kota, sedangkan pulang kampung ialah pulang ke kampung halaman dan tak akan kembali lagi ke kota, kata Agus Wibowo, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB.

Pemerintah memang memprediksi, menurut Jokowi berdasarkan hasil riset Kementerian Perhubungan, sekira 24 persen warga di Jakarta dan sekitarnya bersikukuh akan mudik, tidak peduli potensi penyebaran virus corona. Maka Jokowi memutuskan mudik dilarang dan berlaku mulai 24 April 2020 meski sanksi untuk pelanggarnya baru diterapkan dua pekan kemudian.

Perkiraan itu mulai terbukti dengan pemandangan ramainya sejumlah terminal di Jakarta dan beberapa jalan akses keluar Ibu Kota dua hari menjelang larangan mudik diberlakukan. Begitu juga di Pelabuhan Merak, Kota Cilegon, Banten. Otoritas Terminal Kalideres maupun Pelabuhan Merak mengakui memang ada lonjakan jumlah penumpang. Tetapi, petugas tak dapat berbuat banyak karena belum ada peraturan resmi Kementerian Perhubungan yang melarang mudik.

Polisi mencatat sebanyak 44.550 kendaraan keluar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi melalui Gerbang Tol Cikampek Utama selama periode 21-22 April. Jumlah itu meningkat 27 persen daripada hari biasa. Tetapi polisi juga belum bisa mencegah mobil-mobil pribadi itu karena memang belum resmi berlaku pembatasan kendaraan untuk mudik.

Collapse

Pemerintah berdalih sengaja tidak terburu-buru membuat keputusan tentang mudik, melainkan secara bertahap, meski konsekuensinya cenderung tidak tegas. Alasannya, kebijakan yang drastis atau serta-merta diyakini berefek sosiologis berskala besar akan sulit diperbaiki bila terdapat kekurangan persiapan penerapannya.

“Banyak aspek harus dipersiapkan,” Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berargumentasi, “termasuk kecukupan dan kelancaran distribusi logistik, termasuk kebutuhan pangan.” Pemerintah, katanya, tak ingin kekacauan di India akibat kebijakan lockdown terulang di Indonesia.

Namun, risiko strategi itu juga tidak ringan dan terbukti ratusan ribu, atau bahkan lebih dari sejuta, orang telah mudik atau pulang kampung. Situasi itu, sebagaimana dikhawatirkan Dr Endah Rokhmati bersama tim SimcovID yang dilansir dari ABC, akan menjadi malapetaka. Perpindahan masyarakat dari episentrum, atau pusat penyebaran wabah terbesar, dengan angka kasus yang lebih banyak, ke episentrum lainnya dapat menimbulkan ledakan kasus di wilayah kedua.

"Kalau hal itu terjadi,” kata Endah, “maka risiko ‘collapse’ [atau runtuhnya] fasilitas kesehatan di rumah sakit di daerah yang sebelumnya episentrum dengan intensitas lebih rendah, akan menjadi lebih tinggi.” Dengan kata lain, infrastruktur pelayanan kesehatan di daerah-daerah tak akan sanggup menanggung ledakan jumlah pasien terinfeksi corona.

Belum lagi kalau dihitung atau ditambahkan dengan potensi penularan Covid-19 secara lokal, katakanlah, akibat masyarakat membandel tak menaati anjuran pemerintah untuk beribadah di rumah selama Ramadhan. Di Aceh, contohnya, Majelis Permusyawaratan Ulama menerbitkan fatwa bahwa salat tarawih berjemaah tetap digelar di masjid-masjid.