Ketar-ketir Akan Kedatangan Pekerja Migran

Sumber :

VIVA – Pemerintah bersiap menghadapi gelombang baru ancaman penyebaran wabah virus corona menyusul kedatangan para pekerja migran yang akan pulang ke Indonesia dari sejumlah negara tempat mereka bekerja selama periode Mei dan Juni 2020. Jumlahnya bukan cuma seratus-dua ratus orang melainkan diperkirakan 34.300 pekerja.

Presiden Joko Widodo sampai mewanti-wanti agar semua aparatur pemerintah dan sumber daya dikerahkan untuk menyambut para tenaga kerja Indonesia itu. Kepala Negara juga memerintahkan pemberlakuan secara ketat protokol kesehatan, penyediaan tempat karantina, dan rumah sakit-rumah sakit rujukan di daerah-daerah.

Pemerintah ketar-ketir bukan hanya karena para pekerja migran itu berpotensi mengidap Covid-19 dan menularkannya ke Indonesia, tetapi juga nasib mereka setelah tiba di kampung halaman. Soalnya mereka harus pulang karena kontrak kerja mereka sudah berakhir, sedangkan di Tanah Air belum ada jaminan bakal bisa menyambung hidup akibat kegiatan ekonomi lumpuh.

Kasus impor

Puluhan ribu pekerja migran yang akan pulang kampung itu, berdasarkan catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), berada di 54 negara. Paling banyak di Malaysia yang berjumlah 13.074 orang, disusul Hong Kong 11.359 orang, Taiwan 3.688 orang, Singapura 2.611 orang, Arab Saudi 800 orang, Brunei Darussalam 770 orang, Korea Selatan 325 orang, Kuwait 304 orang, Italia 219 orang, dan Oman 173 orang.

Arus kepulangan para pekerja migran itu sebenarnya sudah berlangsung secara bertahap sejak Januari hingga April dengan total 126.742 orang. Latar belakangnya rata-rata sama: kontrak kerja tidak diperpanjang atau tidak ada lagi pekerjaan di negeri rantau akibat pandemi Covid-19.

Maka, mau-tak-mau, harus pulang. Jawa Timur menempati urutan teratas asal para pekerja migran yang akan pulang kampung. Disusul berikutnya Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan Bali.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, dalam jumpa pers pada 30 April 2020, berterus terang mengkhawatirkan “risiko kasus impor [penularan Covid-19] termasuk dari warga Indonesia yang kembali dari luar negeri”. Maka pemerintah Indonesia harus memperkuat protokol kesehatan saat mereka tiba di Indonesia.

Pintu-pintu kedatangan seperti di Bali melalui Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, di Jakarta melalui Pelabuhan Tanjung Priok, dan di Sumatera melalui Batam dan Tanjung Balai, wajib diperketat.

Jokowi bahkan juga menyebut secara gamblang bahwa pekerja migran yang kembali dari luar negeri ialah satu dari lima klaster yang berpotensi menyebarkan Corona di Indonesia. Empat klaster lainnya, antara lain klaster jemaah tablig, klaster Gowa di Sulawesi Selatan, klaster rembesan pemudik, dan klaster industri. Semuanya, Presiden memberi peringatan, berpotensi memunculkan gelombang kedua virus Corona.

Saking cemasnya pemerintah, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, sampai mengimbau agar para pekerja migran menunda kepulangan hingga wabah Corona terkendali. Kementerian juga sebisa mungkin memohon kepada para pihak yang mempekerjakan warga Indonesia di negara-negara itu untuk dapat terus bekerja atau difasilitasi untuk tetap tinggal di sana.

Periode kepulangan mereka juga bersamaan dengan perkiraan puncak pandemi Covid-19 di Indonesia. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memprediksi kasus paparan Corona di Tanah Air mencapai 95.000 orang pada Mei hingga Juli 2020.

Nasib di Tanah Air

Nasib mereka ketika sudah kembali ke Tanah Air pun tak sepenuhnya terjamin. Data identitas mereka tentu saja belum tercakup dalam program-program jaring pengaman sosial, seperti Kartu Prakerja, bantuan sosial sembako maupun uang tunai, dan lain-lain.

Organisasi pemerhati hak pekerja migran, Migrant Care, mengkritik dan menganggap pemerintah tak berbuat apa-apa atas masa depan para pekerja migran yang akan pulang ke Tanah Air. Wahyu Susilo, sang direktur eksekutif, sebagaimana dikutip dari BBC, mendesak pemerintah agar memasukkan para pekerja migran itu ke dalam program-program jaring pengaman sosial.

Benny Ramdhani, kepala BP2MI, mengklaim bahwa pemerintah tengah merumuskan skema untuk memberikan pemberdayaan ekonomi, bantuan usaha, relaksasi Kredit Usaha Rakyat, hingga pelatihan. Pemerintah berasumsi, para pekerja migran yang pulang itu tentu membawa sejumlah uang yang bisa dijadikan modal usaha. Pemerintah akan memfasilitasi mereka dengan pelatihan-pelatihan produktif dan kemitraan dengan BUMN maupun perbankan.

Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja menyarankan agar mereka juga ikut mendaftar menjadi peserta program Kartu Prakerja. Selain itu, bisa mengakses program padat karya tunai, tenaga kerja mandiri, dan padat karya produktif.

Masalahnya, program-program jaring pengaman sosial itu sebenarnya lebih dirancang untuk masyarakat terdampak Covid-19 di dalam negeri. Program Kartu Prakerja, misalnya, didesain untuk para pekerja sektor formal yang di-PHK atau pekerja sektor informal yang kehilangan mata pencaharian akibat pagebluk Corona. Kuotanya pun amat terbatas, hanya untuk 5,6 juta orang.

Program bansos sembako atau bantuan langsung tunai pun karut-marut pengelolaannya. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk sekadar memutakhirkan data penerima, umpama memasukkan nama pekerja migran ke dalam data terpadu antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.