Palu Hakim Mencuci 'Dosa' Pembakar Hutan

Upaya Pemadaman Kebakaran Lahan di Sumatera Selatan
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id
- Gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,9 triliun kandas di . Pemerintah dianggap tak memiliki cukup bukti untuk menuntut kasus kebakaran hutan di lahan konsesi pada tahun 2014 tersebut.


Dalam putusannya, sidang yang dipimpin oleh menilai kebakaran hutan tidaklah merusak lingkungan karena masih bisa dipulihkan dan ditumbuhi tanaman baru.


Tak cuma itu, majelis hakim juga menilai bahwa perusahaan yang menjadi pemasok bahan baku pulp bagi itu juga ikut merugi akibat kebakaran lahan tersebut.

"Kehilangan keanekaragaman hayati di lahan konsesi tidak dapat dibuktikan," kata Nababan di PN Palembang, Rabu 30 Desember 2015.

Tak pelak, ketok palu hakim hari itu pun meruntuhkan tuntutan senilai Rp2,6 triliun untuk biaya pemulihan lingkungan dan denda Rp5,6 triliun atas kebakaran lahan seluas 20 ribu hektar di areal perusahaan tersebut.

Petugas saat memadamkan api di lahan gambut yang terbakar di hutan Sumatera akhir tahun lalu/ANTARA FOTO

Merenggut Keadilan

terjadi pada tahun 2014. Ribuan titik api dilaporkan muncul di perusahaan yang menjadi bagian grup besar dan menguasai 1,7 juta hektare lahan di Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan tersebut.

Tak cuma itu, dari pemeriksaan lapangan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, PT BMH ternyata tak memiliki sarana prasarana pengendalian kebakaran yang memadai.

Dengan lahan mencapai lebih dari 20 ribu hektare, BMH hanya menyediakan enam orang petugas pemadam kebakaran hutan. Tanpa menara pengawas, papan peringatan yang minim, dan lainnya.

"Bagaimana mungkin enam orang bisa memadamkan api seluas 20 ribu hektare? Mereka juga tak mempunyai sistem komputerisasi lahan rawan kebakaran. Jadi cuma mengira-ngira saja," ujar Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Institut Pertanian Bogor, Bambang hero Saharjo saat meninjau lokasi akhir Oktober lalu.

Sebab itu, ketika kemudian di . Keadilan publik pun serasa tercerabut. Apalagi, beberapa hari sebelumnya Mahkamah Agung telah memvonis dua warga yang dianggap membakar lahan milik PT BMH.

Tak Tinggal Diam

Dua tahun sebelumnya, negara pernah berada di atas angin saat Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan PT Kallista Alam yang terbukti membakar 1.000 hektare lahan di kawasan ekosistem Gunung Leuser Aceh.

Korporasi yang bergerak di penanaman sawit ini pun didenda Rp366 miliar atas kesalahan mereka. Kala itu kemenangan ini betul-betul dirasa memberi angin segar kepada publik.

Pameo bahwa korporasi tak tersentuh, akhirnya mentah. Direktur PT Kallista Alam Subianto Rasyid pun divonis delapan bulan penjara dan denda Rp150 juta atas kelakuannya membuka lahan sawit tanpa izin.

Namun demikian, seketika perlawanan terhadap penjahat lingkungan ini pun kini kembali seperti meredup. .

Apalagi sepanjang tahun 2015 ini, dari catatan Bank Dunia, kebakaran hutan yang melanda Sumatera dan Kalimantan telah menyebabkan kerugian sebesar US$16 miliar atau lebih dari dua kali lipat dana yang dipakai untuk membangun Aceh saat dihantam tsunami pada tahun 2004.

Petugas pemadam berjibaku memadamkan titik api di kebakaran hutan Sumatera akhir tahun lalu/ANTARA FOTO

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengaku telah memastikan akan di PN Palembang tersebut. "Akan dipelajari dan dibuat memo bandingnya," singkat Siti, Senin 4 Januari 2016.

Langkah Siti ini pun kembali mendapat dukungan dari banyak pihak. Kemenangan PT BMH di pengadilan dianggap momok menakutkan, karena bisa mencontohkan korporasi lain yang kini disebut-sebut terlibat di kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

"Keputusan ini jadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan. Pengadilan masih menjadi ," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan Hadi Jatmiko.

Politikus Partai Demokrat Herman Khaeron ikut menyesalkan kemenangan PT BMH di PN Palembang. Sebab menurutnya, kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan jelas bukanlah perkara sepele.

"Pemerintah harus banding, upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR tersebut.

Di jejaring sosial, perlawanan terhadap keputusan majelis hakim pun ikut bersuara. Lewat meme dan sejumlah kritik tajam di jejaring sosial, netizen ikut memprotes keputusan tersebut.

Lantas bagaimana respons ? hakim senior ini sepertinya bergeming. Ia pun menyiratkan tak ambil pusing atas kritik publik tersebut.

Parlas meyakini apa yang sudah diputuskannya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. "Sudah sesuai dengan norma hukum dan rasa keadilan masyarakat," kata Parlas di PN Palembang.

Butuh Hakim Berbeda

Di balik itu. Apapun keputusan hakim sejatinya memang harus dihormati. Kontroversial atau tidak, tetap publik tidak bisa menetapkan bahwa hakim itu bersalah.

Apalagi, diketahui Indonesia belum bisa menyediakan peradilan khusus yang berkaitan dengan lingkungan hidup serta memanfaatkan para hakim yang sudah bersertifikasi lingkungan hidup seperti yang terjadi dalam kasus PT BMH.

"Tidak ada satu pun majelis . Padahal kasus lingkungan hidup adalah kasus extraordinary. Sehingga memerlukan pemahaman yang baik," ujar Manajer Hukum dan Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi Muhnur Satyahaprabu menyikapi putusan PN Palembang atas PT BMH.

Parlas Nababan sendiri tidak menampik jika ia tak memiliki sertifikasi lingkungan saat ia menangani perkara PT BMH. Namun ia berdalih telah berstatus hakim ex officio yang bisa menangani semua perkara.

"Saya memang belum bersertifikat lingkungan. Namun hakim anggota lainnya ada yang bersertifikat," kata Parlas.

Protes netizen dalam bentuk meme kepada putusan hakim Parlas Nababan di PN Palembang/VIVA.co.id/Twitter

Sesungguhnya sejak tahun 2013, Mahkamah Agung telah menerbitkan aturan yang mengharuskan agar perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim yang bersertifikasi lingkungan hidup.

Dalam Surat Keputusan Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 itu, MA ingin agar ada efektivitas . Sebab masing-masing hakim bersertifikasi lingkungan memiliki kompetensi inti yang membedakannya dengan hakim-hakim lain.

Capaian akhirnya tentu saja, ke depan dalam peradilan yang menyelesaikan kasus lingkungan hidup, hakim-hakim dapat lebih menyerap masalah. Tidak legalistik yang hanya berkutat di perundangan atau tidak lagi gagap menerjemahkan kausalitas perbuatan dan dampak yang ditimbulkan dari masalah lingkungan.

Direktur Eksekutif Walhi Nasional Abetnego Tarigan pernah menyatakan bahwa kehadiran peradilan lingkungan di Indonesia memang sudah waktunya diperlukan.

"Pengadilan lingkungan diperlukan untuk menciptakan ruang penanganan masalah lingkungan yang lebih adil," kata Abetnego.