Ketika Timor Leste Caplok Wilayah RI, Tiru Malaysia?

Sumber :
  • Antara/ Yudhi Mahatma

VIVA.co.id - Hubungan Indonesia-Timor Leste memanas setelah ditemukannya beberapa bangunan permanen di wilayah sengketa Noelbesi-Citrana, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kawasan sengketa itu, berada di sungai atau delta sepanjang 4,5 kilometer dengan luas 1.069 hektar. Tepatnya di perbatasan kedua negara.

Di kawasan yang mestinya steril ini, berdiri kantor pertanian, balai pertemuan, gudang depot logistik (dolog), tempat penggilingan padi, pembangunan saluran irigasi dan jalan yang diperkeras.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo langsung bereaksi keras. Ia menjamin, TNI akan menjaga seluruh perbatasan negara dari campur tangan pihak asing, dan tidak akan membiarkan satu jengkal pun wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diklaim negara lain.

"Kita jaga semua yang ada, dan tidak boleh (wilayah RI dicaplok) sejengkal pun," kata Panglima di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa, 19 Januari 2015.

Gatot juga yakin, Timor Leste tidak akan berani mencaplok wilayah steril yang masih menjadi sengketa antara kedua negara. Apalagi, sampai mendirikan bangunan secara permanen. Di wilayah perbatasan juga banyak pasukannya yang berjaga sehingga tidak mungkin ada kawasan yang bisa diklaim negara lain.

"Enggak ada. Ada Undang-undangnya kok, mana berani mencaplok? Tanyakan kepada Menlu, Mendagri, kita hanya menjaga, dan di daerah yang dijaga oleh TNI tidak ada hal tersebut," jelas Panglima.

Namun kenyataannya, Panglima Kodam IX Udayana Mayor Jenderal TNI M Setyo Sularso menemukan fakta, masyarakat dengan KTP Timor Leste mendirikan sejumlah bangunan di kawasan steril itu.

"Ada 53 KK (Kepala Keluarga) yang mendiami wilayah steril tersebut di Dusun Naktuka, Desa Netamnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur. Mereka ber-KTP Timor Leste," ungkapnya.

Setyo menduga aksi pembangunan di wilayah sengketa ini meniru gaya Malaysia, saat memenangkan klaim kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dari pemerintah RI beberapa tahun silam. "Lepasnya Sipadan Ligitan, dia (Timor Leste) meniru ke sana. Mereka duduki dulu dengan 53 KK, dibangun kantor-kantor, lalu nanti mau diajukan ke Mahkamah Internasional," ujarnya.

Mayjen Setyo menjelaskan, selama ini tercatat ada enam sengketa wilayah Indonesia dengan Timor Leste di perbatasan NTT. Di mana empat sengketa diantaranya, sudah memiliki Garis Batas Negara (GBN), dan dianggap sebagai bagian dari wilayah Timor Leste.

Pangdam membagi masalah ini dalam dua kategori sengketa perbatasan, pertama un-resolved segment, yaitu permasalahan batas negara antara RI dan Timor Leste yang belum disepakati, atau diputuskan garis batasnya oleh kedua negara. Kedua, un-surveyed segment, yaitu permasalahan batas negara yang sudah disepakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak, tetapi tidak diketahui oleh masyarakat kedua negara.

Ada dua kasus sengketa yang masuk dalam kategori un-resolved segment. Pertama yang ada di wilayah Noelbesi-Citrana tadi, dimana Indonesia menghendaki garis batas negara berada pada posisi sebelah barat sungai kecil. Namun, Timor Leste memiliki pandangan berbeda.

Satunya lagi, sengketa yang terjadi di wilayah Timor Tengah Utara (TTU), tepatnya di daerah Bijael Sunan-Oben, Desa Manusasi, Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten TTU.

"Terdapat sejumlah 489 bidang sepanjang 2,6 kilometer seluas 142,7 hektar. Indonesia menghendaki perlu dan wajib menghormati sepenuhnya hak ulayat dan hukum adat masyarakat di kawasan perbatasan," papar Setyo.

Sementara untuk kategori un-surveyed segment, ada empat wilayah sengketa yang setelah ditetapkan GBN disepakati masuk wilayah Timor Leste, namun belum selesai di survei.

Pertama, di wilayah Subina, Desa Inbate, Kecamatan Bikomi dengan luas 393,5 hektar. Kemudian di Pistana, Desa Sunkaen, Kecamatan Bikomi Nilulat. Ada daerah sengketa pada Co. 4890-5590 sampai dengan Co. 4924-5378. "Luas kepemilikan tanah masih dalam pendataan, karena sampai dengan saat ini lokasi tersebut belum disurvei," katanya.

Ketiga, di wilayah Nego Numfo, Desa Haumeniana, Kecamatan Bikomi. Daerah sengketa berada di Co. 4880-5290 sampai dengan Co. 4802-5143 seluas 290 hektar. Terakhir, di Tubu Banat, Desa Nilulat, Kecamatan Bikomi Nilulat.

Titik koordinat batas wilayah Indonesia dan Timor Leste yang sudah disepakati dalam persetujuan perbatasan darat (provisional agreement) adalah sebanyak 907 titik. Persetujuan itu ditandatangani Menteri Luar Negeri Indonesia dan Timor Leste di Jakarta, pada 21 Juli 2013.

"Namun demikian masih terdapat segmen yang belum terselesaikan karena belum disurvei atau diukur oleh tim survei kedua negara, sehingga menimbulkan permasalahan," ujar Setyo.

Desakan ke Pemerintah

Pembangunan di wilayah sengketa oleh Timor Leste ini menimbulkan kecaman pada pemerintah. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun langsung mengeluarkan suaranya, mendesak Presiden Joko Widodo, segera menyampaikan nota protes ke Presiden Timor Leste, Taur Matan Ruak.

Anggota Komisi I DPR RI, Andika Pandu Puragabaya meminta ketegasan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah perbatasan ini. "Presiden harus segera mengirim nota protes dan mengirim utusan membicarakan masalah ini," kata Andika kepada VIVA.co.id, Selasa, 19 Januari 2016.

Namun, Politikus Partai Gerindra ini mengingatkan, agar pemerintah tidak sembarangan mengirimkan utusan dalam berdiplomasi. Ia berharap, perwakilan yang dikirimkan adalah orang yang tangguh dalam menyelesaikan masalah perbatasan. 

"Kita belajar dari pengalaman, tim diplomasi kita beberapa kali tidak diuntungkan. Kita harus menelan pil pahit. Ini jangan terulang dalam diplomasi ini," terang Andika.

Senada dengan Andika, Anggota Komisi I DPR RI lainnya, Sukamta, mengaku sudah sebulan terakhir ini mengingatkan Pemerintah tentang kemungkinan tindakan pencaplokan wilayah Indonesia oleh Timor Leste.

"Beberapa bulan yang lalu saya pernah mendorong Pemerintah agar segera menyelesaikan sengketa-sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Timor Leste," katanya kepada VIVA.co.id di Jakarta pada Selasa, 19 Januari 2016.

Penyelesaian sengketa perbatasan menjadi penting, karena Indonesia segera menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Konsekuensinya, batas negara menjadi samar karena lalu lintas warga negara lebih intensif, sehingga batas wilayah yang masih dalam sengketa harus segera diperjelas, agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.

"Karena secara de jure (hukum) status wilayah steril itu masih dirundingkan, maka aktivitas de facto (kondisi faktual) di situ tidak dibenarkan," terang Sukamta.

Sementara anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Nusa Tenggara Timur, Andrianus Garu justru mengajukan diri untuk menjadi juru runding dalam menyelesaikan sengketa perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Ia meminta ketegasan pemerintah agar masalah pencaplokan wilayah seperti yang pernah terjadi pada kasus pulau Sipadan dan Ligitan tidak terulang.

“Itu karena kita tidak tegas dengan Timor Leste, padahal daerah yang diduga telah dicaplok selama ini merupakan wilayah NKRI. Saya yakin mereka juga sadar jika tanah yang disengketakan merupakan milik Indonesia. Kalau kita lemah, bukan tidak mungkin satu saat nanti diambil benar,” kata Garu.

Meski situasi mulai memanas, Andrianus Garu meminta aparat keamanan di perbatasan tetap persuasif dan tidak terhasut. Pasalnya, masyarakat disana umumnya punya kesamaan adat istiadat karena banyak yang berasal dari satu silsilah keluarga.

“Harus hati-hati menangani permasalahan di perbatasan. Jangan pakai kaca mata kuda. Ingat, sebagian besar penduduk perbatasan Kabupaten Belu dan Amfoang, Kabupaten Kupang, merupakan keluarga dari warga Timor Leste,” ujar Garu.

Penyelesaian Diplomasi

Solusi untuk menyelesaikan masalah ini ditawarkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana. Ia berpendapat, Pemerintah Indonesia bisa membangun kerja sama dengan Pemerintah Timor Leste untuk memberikan pemahaman pada warga yang menempati wilayah tersebut, mengenai status tanah yang mereka tempati.

Dalam pandangannya, Pemerintah Indonesia juga mesti jeli melihat persoalan ini sebelum mengajukan protes. Ini dikarenakan, masyarakat secara umum bebas menempati wilayah manapun, termasuk di kawasan sengketa.

"Kalau cuma masyarakat yang membangun, ada konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengatur, karena masyarakat tidak tahu ada status quo di suatu wilayah," jelasnya saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 18 Januari 2016.

Hikmahanto menilai, selama tidak ada sertifikat atau dokumen resmi dari Pemerintah Timor Leste yang memberikan hak pada penduduk untuk menempati wilayah itu, Pemerintah tidak bisa mengajukan protes. Untuk itu, Pemerintah Indonesia mesti mendalami latar belakang pendirian bangunan di wilayah sengketa itu. Dalam hukum internasional, pendirian bangunan tidak menjadikan sebuah pemerintahan mengklaim suatu wilayah.

"Harus diperhatikan, ini inisiatif penduduk atau bukan," ujar Hikmahanto.

Namun, jika Pemerintah Indonesia berhasil menemukan dokumen resmi yang menunjukan bangunan itu dilegalkan Pemerintah Timor Leste, nota protes bisa langsung dilayangkan. "Kalau itu baru protes," tegasnya.

Saat ini, sengketa wilayah di perbatasan RI-Timor Leste ini masih dalam proses penyelesaian. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI  Arrmanatha Nasir menjelaskan, sekarang sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Hal tersebut dilakukan, terkait perundingan mengenai batas wilayah darat.

"Terkait kedua perbatasan yang sedang dirundingkan, batas darat tersebut perkembangannya sekarang sedang diadakan joint field survey untuk bertemu dengan masyarakat adat yang tinggal dan memiliki hak ulayat atas wilayah unresolved segments (segmen batas darat yang belum selesai)," ujar Arrmanatha kepada VIVA.co.id, Senin, 18 Janauri 2016.

Sementara mengenai pendirian bangunan secara permanen oleh Timor Leste di wilayah perbatasan, Kemlu RI secara konsisten sudah menyampaikan keberatan. "Kami (Indonesia), meminta agar Timor Leste tidak melakukan kegiatan pembangunan hingga proses delineasi selesai dan saat ini pembangunan sudah dihentikan," ungkap Arrmanatha.

"Ada perwakilan dari Kemlu yang ke sana untuk melakukan perundingan dengan Timor Leste, namun semua lebih diserahkan kepada pejabat Kementerian Dalam Negeri. Perundingan saat ini sedang berjalan di Timor Leste," jelas Arrmanatha.

Perwakilan Kemlu RI saat ini juga masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai rincian letak wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Tak hanya Kemlu, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga bernjanji untuk memeriksa informasi mengenai pendirian bangunan permanen di wilayah sengketa ini. (umi)