Ketika Ekspor Konsentrat Freeport Terhenti

Wilayah pertambangan terbuka Freeport di Timika, Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id - Pemerintah Indonesia secara resmi telah menghentikan izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia, setelah izin ekspornya habis pada 28 Januari 2016. Penghentian, yang dilakukan hingga batas waktu yang belum ditentukan ini, dilakukan karena Freeport tidak memenuhi kewajiban prasyarat perpanjangan izin ekspor konsentrat.

Freeport belum memenuhi syarat dalam proses perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga tahap ketiga, yakni penyelesaian pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sebesar 60 persen. Hingga saat ini, proses pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur, baru mencapai 14 persen.

Sebelumnya, Freeport telah mendapatkan izin ekspor untuk periode enam bulan pertama, 25 Juli 2014-26 Januari 2015, sebanyak 756 ribu ton konsentrat tembaga, dan pada 26 Januari-25 Juli 2015 sebanyak 580 ribu ton. Freeport mendapatkan izin ekspor tahap kedua pada 28 Juli 2015 hingga 28 Januari 2016 sekitar 775 ribu ton.

Freeport pun sepanjang Januari belum mengekspor produk-produk tambangnya. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Penerimaan Peraturan Kepabeanan dan Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Sugeng Aprianto , yang menyatakan pihaknya belum menerima adanya setoran bea keluar dari Freeport.

Sugeng Aprianto mengatakan, berdasarkan data dari DJBC, Freeport terakhir melakukan ekspor pada akhir Desember 2015.

Beberapa pekan sebelum izin ekspor habis, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengajukan dua syarat dan memberikan ultimatum kepada Freeport agar dapat memperpanjang izin ekspornya.

Pertama, Freeport diminta membayar bea keluar sebesar lima persen. Kedua, Freeport diminta menunjukkan kesungguhannya membangun smelter dengan menyetor dana jaminan sebesar US$530 juta.

Namun, ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh anak perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Freeport McMoran itu. Sebagai konsekuensinya, Kementerian ESDM akhirnya tidak mengeluarkan rekomendasi ekspor, yang merupakan persyarat untuk bisa mengantongi Surat Persetujuan Ekspor dari Kementerian Perdagangan.

"Sebetulnya yang memang wajib ketika smelter belum sampai pada tahapan tertentu, harus membayar bea keluar lima persen. Kita meminta US$530 juta itu adalah gap dari apa yang seharusnya mereka capai di lapangan," ujar Menteri ESDM, Sudirman Said.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.011/2014, jika kemajuan pembangunan smelter antara nol persen dan 7,5 persen, bea keluar yang dikenakan 7,5 persen. Apabila progres smelter yang dihitung berdasarkan serapan dana investasi 7,5-30 persen, bea keluar yang dikenakan adalah lima persen.

Adapun bila pembangunan sudah di atas 30 persen, maka Freeport dibebaskan dari kewajiban bea keluar atau nol persen.

"Ingin saya tekankan, pemerintah ini bekerja dengan aturan dan aturan itu mesti ditegakkan, dan saya minta Freeport untuk menghormati aturan ini,” ujar Sudirman.

Pemerintah Indonesia saat ini masih menunggu niat baik Freeport untuk memenuhi kewajiban komitmennya guna dapat memperoleh rekomendasi perpanjangan izin konsentrat. 

Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi, mengakui hingga kini pihaknya belum mendapat rekomendasi dari Kementerian ESDM soal ekspor konsentrat tembaga Freeport.

"Belum ada rekomendasinya," katanya singkat lewat pesan tertulisnya kepada VIVA.co.id di Jakarta, Senin 1 Februari 2016.

Didi mengatakan, dengan adanya rekomendasi itu, pihaknya bisa langsung memproses perizinan ekspor konsentrat tembaga untuk Freeport. Besaran izin ekspornya pun nantinya sama dengan rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM.

Diungkapkan Didi, tahun lalu, Freeport telah mengekspor sebanyak 1,1 juta ton konsentrat tembaga.

Freeport berusaha berunding

Belum diberikannya izin ekspor konsentrat karena tidak memenuhi prasyarat yang diajukan oleh pemerintah membuat Freeport melakukan pendekatan persuasif. Freeport pun mengambil langkah untuk menegosiasikan masalah ini kepada Pemerintah Indonesia.

Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama mengatakan, perseroan masih berunding dengan pemerintah tentang syarat perpanjangan ekspor konsentrat tembaga.

"Kami masih berunding dengan pemerintah untuk memperpanjang izin Freeport," kata Riza melalui pesan singkat, Senin, 1 Februari 2016.

Namun, ketika ditanya tentang kendala yang dihadapi Freeport mengapa syarat tersebut tak kunjung dipenuhi, Riza enggan menjawabnya. "Kita tunggu saja, ya," kata dia.

Sayangnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono, mengaku belum mempersiapkan langkah apa pun untuk menghadapi Freeport terkait masalah tersebut.

"Belum tahu. Nanti dia posisinya seperti apa, kami belum tahu. Biar dia (Freeport) yang ngomong," kata Bambang di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Jakarta, Senin 1 Februari 2016.

Kalaupun ada, Bambang pun enggan membeberkannya. "Nanti, kalau strategi, sama saja ngasih tahu lawan," kata dia.
 
Dia juga berusaha meyakinkan bahwa dihentikan ekspor konsentrat Freeport tidak berpengaruh pada produksi tambang Grasberg di Papua. Diutarakannya, belum ada laporan produksi Freeport turun usai izin ekspornya berakhir.

"Belum sama sekali. Masih aman-aman saja," kata dia.


Pembangunan smelter macet

Pembangunan smelter merupakan syarat mutlak kepada perusahaan-perusahaan tambang yang akan mengekspor mineral. Kondisi ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mensyaratkan produk mineral harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor.

Freeport diwajibkan untuk segera menyelesaikan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat (smelter) di Gresik, Jawa Timur pada 2017, sesuai dengan pemberlakuan kebijakan ekspor mineral murni yang diizinkan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyatakan bahwa sudah seharusnya izin ekspor konsentrat tembaga Freeport dihentikan karena progres pembangunan smelter belum memenuhi syarat.

Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha, mengatakan, progres pembangunan smelter memang sudah menjadi kewajiban bagi Freeport untuk dapat mengekspor konsentrat. Selama ini, menurut dia, pemerintah kerap melakukan relaksasi terhadap izin kepada Freeport untuk dapat melakukan ekspor.

‎"Karena, pemerintah selama ini melunakkan diri, atau relaksasi, ini sebenarnya bertentangan dengan UU Minerba," ujar Satya di Komisi VII DPR RI, Senin 1 Februari 2016.

Ia juga mengatakan, sebetulnya pemberian izin ekspor konsentrat kepada Freeport pada 2015 sudah tidak sesuai dengan UU Minerba. Menurut dia, jika Freeport masih ingin melakukan ekspor, pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

‎"Kalau relaksasi dilakukan berulang-ulang, berarti pemerintah tidak serius dalam hilirisasi atau smelter, ini sudah menentang UU, ini sudah berseberangan dengan UU," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Ramson Siagian. Dia menegaskan, seharusnya sejak 2015, perusahaan tambang yang belum membangun smelter tidak bisa ekspor konsentrat. 

"Keputusan menteri yang paling penting, tidak boleh ekspor hasil tambang yang belum dimurnikan," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Freeport Indonesia, Clementino Lamury mengungkapkan bahwa progres pembangunan smelter di Gresik baru mencapai 11,5 persen. Hal ini dikarenakan penandatanganan Engineering Procurement Construction (EPC) baru dilakukan pada akhir 2015.

"Baru sebagian lahan Petrokimia Gresik yang direklamasi. Setengahnya lagi belum," ujar Lamury dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu.

Lamury menegaskan, pihaknya masih optimistis pembangunan smelter itu akan rampung tepat pada waktu yang telah ditetapkan pemerintah. Rencananya, akhir Juli tahun ini, peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan pabrik tersebut akan mulai dilakukan.

"Kami sudah Amdal expose. Akhir Juli tahun ini, bisa groundbreaking," tutur dia.