Menanti Gebrakan Jenderal Tito Buru Teroris

Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Sumber :
  • Bayu Januar/VIVA.co.id

VIVA.co.id - Inspektur Jenderal Polisi, Tito Karnavian telah resmi menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pengambilan sumpah Tito Karnavian sebagai Kepala BNPT dipimpin langsung Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 16 Maret 2016. Sejumlah pejabat negara hadir menyaksikan prosesi sakral tersebut.

Tito yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya ditetapkan sebagai kepala BNPT berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 38/TPA Tahun 2016 untuk menggantikan Komisaris Jenderal Polisi Saud Usman Nasution yang telah memasuki masa pensiun. [Baca: ]

Bagi Tito, BNPT bukan lah tempat asing. Berbekal pengalaman pernah menangani berbagai kasus terorisme sejak tahun 1999, pernah juga bertugas di berbagai jabatan di Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dan menjabat Deputi di BNPT. Pria kelahiran Palembang 51 tahun silam itu optimis bisa memimpin BNPT.

"Saya merasa cukup optimistis tanpa bermaksud untuk arogan, tidak. Tapi optimistis karena saya mungkin cukup lama di bidang ini," kata Tito usai dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 16 Maret 2016.

"Bidang ini menjadi spesialisasi saya. Saya sangat senang kembali ke habitat saya dalam penanggulangan terorisme. Seperti kembali ke rumah sendiri," imbuhnya.

Pengangkatan Tito Karnavian sebagai kepala BNPT memang sudah diprediksi banyak kalangan. Selain punya kompetensi dan pengalaman mumpuni dalam mengungkap berbagai kasus terorisme, Tito juga dikenal memiliki kemampuan intelektual yang baik.

Kemampuan Tito dalam menangani kasus terorisme di Tanah Air diakui Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti. Apalagi, segudang pengalaman Tito di bidang terorisme semakin menambah keyakinannya akan kompetensi Tito dalam memetakan pergerakan teroris di Indonesia. Rekam jejak jaringan teroris di Indonesia bukan lagi hal baru untuk Tito.

"Sehingga saya pikir suatu pilihan yang tepat untuk Pak Tito ditempatkan sebagai kepala BNPT. Karena ke depan tantangan terhadap terorisme radikalisme akan semakin banyak," kata Jenderal Badrodin.

Kesiapan Tito memimpin BNPT setidaknya dia tunjukkan dengan sejumlah program kerja yang telah dia persiapkan. BNPT di bawah kendalinya, akan fokus pada domain utama BNPT, yakni pencegahan dan rehabilitasi. Tito mengakui selama ini proses rehabilitasi pelaku terorisme tidak bagus.

Salah satu buktinya, kata Tito, saat dia masih menangani operasi kamp militer di Jantho, Aceh, tokoh-tokoh yang pernah terlibat kasus terorisme justru merencanakan aksi terornya di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang saat itu.

"Ada Abu Bakar Ba’asyir, Aman Abdurrahman, Iwan Darmawan (Rois), semua ada di situ, Dulmatin pun datang ke situ. Kasus bom Thamrin juga temuan dari teman-teman di Densus, justru direncanakannya di Nusa Kambangan," ujar Tito.

Berbekal pengalaman dan pengetahuan di bidang terorisme, Tito akan menekankan pada upaya pencegahan dan rehabilitasi pelaku terorisme. Untuk itu, perlu ada koordinasi antar instansi, tidak cukup pemerintah, harus juga dengan lembaga non-pemerintah termasuk civil society.

"Konsep saya punya. Kebetulan saya doktor di bidang itu, punya konsep di bidang itu, pencegahan dan rehabilitasi. Sehingga konsep ini akan saya jalankan," ujarnya.

[Baca: ]

Setara Menteri

Sebagai kepala BNPT, Tito Karnavian nantinya akan melaksanakan tugas pemerintah di bidang penangulangan terorisme. Kepala BNPT akan bertanggungjawab kepada Presiden RI, di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan. Jabatannya pun prestisius, setingkat menteri.

Ihwal kepala BNPT setingkat menteri itu tak lepas dari sejarah dibentuknya BNPT melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Perpu tersebut lahir sebagai respon atas kekosongan hukum yang mengatur tindak kejahatan terorisme.

Kemudian oleh pemerintah, Perpres Nomor 46 Tahun 2010 diubah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Perubahan itu sebenarnya tidak merubah secara substansi fungsi dan tugas pokok BNPT.

Perubahan hanya terletak pada struktur dan fasilitas yang diterima Kepala BNPT sebagaimana dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (3).

Pasal 39 ayat (1) pada perpres sebelumnya memuat ketentuan Kepala BNPT, Sekretaris Utama dan Deputi adalah jabatan struktural eselon I.a. Perpres 12 tahun 2012 tentang BNPT kemudia menghapus frasa Kepala BNPT setara eselon I.a.

Perubahan juga terdapat pada Pasal 40 ayat (3). Pada perpres sebelumnya Kepala BNPT yang dijabat oleh bukan Pegawai Negeri, diberikan hak keuangan, administrasi, dan fasilitas lain setingkat dengan jabatan eselon I.a.

Namun pada Perpres 12 tahun 2012, frasanya diubah menjadi Kepala BNPT diberikan hak keuangan, administrasi dan fasilitas lainnya setingkat Menteri.

Selebihnya, BNPT sebagaimana dalam ketentuan Pasal 2 Perpres Nomor 46 Tahun 2010, BNPT bertugas menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme; mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme.

Kemudian, melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.

Selain itu, pemberian kewenangan dan otoritas bagi BNPT sebagai pusat pengendalian krisis apabila terjadi tindak pidana terorisme yang tertuang dalam Pasal 4, juga merupakan satu kewenangan yang cukup strategis dan luas.

Terlepas dari kewenangan itu, dilantiknya Tito sebagai kepala BNPT akan menjadikan lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1987 itu menyandang pangkat bintang tiga atau Komisaris Jenderal Polisi. Mantan Kapolda Papua itu adalah orang pertama di angkatannya yang berpangkat jenderal bintang tiga.

"Tentunya, kalau nanti sudah menjabat sebagai Kepala BNPT, Pak Tito akan (naik pangkat) itu sesuai dengan aturan main," kata Sekretaris Kabinet, Pramono Anung di Istana Negara, Rabu, 16 Maret 2016.

[Baca juga: ]

Tantangan Tito

Kompetensi dan pengalaman Tito Karnavian dalam memimpin penanggulangan terorisme di Tanah Air bukan tanpa tantangan. Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo berharap Irjen Tito mampu membuktikan kepiawaiannya dalam menangani masalah terorisme dengan mengedepankan HAM.

Menurut Bambang, Tito telah membuktikan 'trade mark' dia di bidang antiteror ketika menangani kasus teror bom di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Serangan bom di jantung Ibu Kota itu dengan cukup singkat ditangani. Maka, jabatan kepala BNPT yang dijabatnya sangatlah tepat.

Namun, sebagai Kepala BNPT, Tito ditantang untuk terus menjaga profesionalisme aparat di lapangan. Tito kata Bambang, diharapkan dapat mendisiplinkan anggota Densus 88 Polri agar selalu profesional dalam penegakan hukum terhadap pelaku teror tanpa melanggar HAM.
 
"Nah, kita berharap Tito mampu membereskan, merapikan, dan mendisiplinkan anggota Densus Antiteror. Ini untuk menghindari pelanggaran HAM yang terus menerus diduga dilakukan dalam proses penyergapan, penangkapan para terduga teroris," kata Bambang.
 
Bambang mengungkapkan, Komisi Hukum DPR banyak mendapat pengaduan terkait pelanggaran HAM saat penanganan para terduga teroris. Dan, ini menjadi catatan buruk bagi pemberantasan terorisme. "Kita setuju terorisme harus diberantas, tekan, dan dicegah, namun tetap harus memperhatikan nilai-nilai HAM dan kepatutan," katanya.

Catatan Komisi III DPR RI soal kekerasan yang dilakukan Densus 88 terhadap terduga teroris bukan isapan jempol. Belum lama ini, terduga teroris di Klaten, Jawa Tengah, Siyono tewas setelah dijemput Densus 88.

Polisi mengklaim, Siyono tewas karena kelelahan setelah berkelahi dengan Densus 88 bersenjata. Namun belakangan, Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Arthur Tampi, menyebut Siyono tewas akibat kekerasan di bagian kepala belakang.

Pengamat teroris Universitas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta M Zaki Mubarak menyebut, 90 persen terduga teroris yang telah ditangkap oleh tim Detasemen Khusus 88 Antiteror menerima perlakuan kekerasan. "Salah satunya adalah dengan disetrum listrik, dengan dalih untuk menggali informasi," kata Zaki.

Tak pelak, perlakuan itu bukan tidak mungkin membuat proses deradikalisasi yang dilakukan BNPT akan terganggu.

Selain soal HAM, BNPT di bawah Tito juga diharapkan pemberantasan terorisme di Indonesia berjalan profesional dan proporsional. Tito dihadapkan pada jaringan teroris yang terus berevolusi, salah satunya pada jaringan Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS) yang menunjukkan eksistensinya di Tanah Air.

"Kita perlu meningkatkan kewaspadaan dan bersikap tegas dalam menindak serta membersihkan kantong-kantong radikalisme yang berpotensi menjadi kelompok-kelompok terorisme di Indonesia," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane melalui keterangan tertulisnya.

Neta menambahkan, Tito bisa menekan angka terorisme di Indonesia. Ia juga berharap nantinya BNPT tidak hanya memberantas, tetapi juga  melakukan penanggulangan dini agar masyarakat tidak terjerumus ke paham radikal.

"Sehingga gerakan aksi-aksi teror tidak terjadi lagi di tanah air. Sebab para teroris yang berafiliasi ke ISIS sepertinya ingin menjadikan Indonesia sebagai arena pencitraannya," imbuh dia. (umi)