Siklus Nista Anggota DPR atas Proyek Infrastruktur Negara

ilustrasi penggeledahan oleh KPK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id – Seolah tak memiliki rasa jera, anggota Dewan Perwakilan Rakyat kembali ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah operasi tangkap tangan. Kali ini, giliran Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, I Putu Sudiartana, yang diduga menerima suap terkait pembangunan jalan di daerah Sumatera Barat.

Bersama Sudiartana, ada 5 orang lain yang diamankan pada operasi ini dari lokasi berbeda di Sumatera Barat, Jakarta, dan Sumatera Selatan.

Setelah menjalani proses penyelidikan 1 x 24 jam usai tangkap tangan, Sudiartana bersama staf pribadinya bernama Novianti, dan perantara bernama Suhemi ditetapkan menjadi tersangka penerima suap. Sedangkan pengusaha bernama Yogan Askan dengan Kepala Dinas Prasarana Jalan dan Tata Ruang Pemukiman Sumatera Barat, Suprapto, ditetapkan menjadi tersangka pemberi suap.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, penangkapan dilakukan terkait proyek pembangunan 12 ruas jalan di Sumatera Barat dengan anggaran Rp300 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.

"Proyek itu bermula saat SPT (Suprapto) mengajukan proyek senilai Rp300 miliar dalam APBN-P 2016. Kemudian seorang pengusaha berinisial SHM (Suhemi) memberikan janji akan meloloskan proyek itu dengan alasan mempunyai koneksi dengan anggota DPR yaitu IPS (Sudiartana)," ujar Basaria saat Konferensi Pers di Gedung KPK, Rabu, 29 Juni 2016.

Basaria menjelaskan kronologi operasi itu bermula pada Selasa, 28 Juni 2016. Pada pukul 18.00 WIB, KPK mengamankan Novianti beserta suaminya berinisial Mukhlis di Kawasan Petamburan, Jakarta. Selanjutnya pukul 21.00 WIB, penyidik menangkap Sudiartana di Kawasan Ulujami, Jakarta Selatan. 

Pada pukul 23.00 WIB, penyidik meringkus Yogan dan Suprapto di Padang, Sumatera Barat. Terakhir, pada Rabu pukul 03.00 WIB dini hari, KPK mengamankan Suhemi di daerah Tebing Tinggi, Sumatera Selatan.

Menurut Basaria, pemberian suap dilakukan melalui beberapa kali transfer dengan menggunakan tiga rekening berbeda milik orang terdekat Sudiartana, sehingga saat dikumpulkan menjadi total Rp500 juta. Selain bukti transfer, penyidik juga menyita uang 40 ribu dolar Singapura dari rumah Sudiartana.

Satu lagi, suami Novianti bernama Mukhlis yang turut diamankan, telah dilepaskan KPK karena dianggap tidak terlibat suap. "Sementara MCH (Muchlis) dilepaskan karena hanya sebagai tempat singgah, sewaktu-waktu apabila dibutuhkan akan dipanggil," ujarnya.

Pada kesempatan ini, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menjelaskan adanya modus baru di kasus ini. Ketika banyak pelaku suap menghindari transaksi secara elektronik dengan metode transfer antar bank karena bisa terdeteksi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, para pelaku justru mengecilkan nilai transfer agar bisa menghindari deteksi itu.

Untuk diketahui, nilai transaksi mencurigakan yang akan masuk deteksi otomatis PPATK adalah transfer senilai Rp500 juta.

“Yang kami lihat modus baru itu lewat transfer, yang biasanya cash and carry, kali ini transfer," ujar Laode.

Rentetan Kenistaan Anggota DPR

Perbuatan nista ini menambah panjang daftar kasus korupsi yang menjerat anggota DPR, khususnya mengenai proyek pembangunan infrastruktur. Pada periode 2014 - 2019, setidaknya sudah ada tiga anggota Komisi V yang menerima suap terkait proyek pembangunan jalan di Maluku, yaitu Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto dan Andi Taufan Tiro. Ketiganya masing-masing berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional.

Selain itu, ada juga anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, yang telah dihukum dua tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp1,7 miliar sebagai dana pengawalan anggaran dari pemerintah pusat untuk pembangunan pembangkit listrik di Papua.

Khusus di bulan puasa menjelang Hari Raya Idul Fitri, setahun lalu juga ada kader Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi, karena meminta tunjangan hari raya. Setelah serangkaian proses sidang, akhirnya di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menghukum Sutan Bhatoegana 12 tahun penjara.

Sutan terbukti menerima uang 140 ribu dollar AS dari bekas Sekjen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno, dan 200 ribu dollar AS dari Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi Rudi Rubiandini. Serta bangunan seluas 1.194,38 meter persegi dari Saleh Abdul Malik selaku Komisaris PT Sam Mitra Mandiri.

Di Partai Demokrat, sebelum Sudiartana dan Sutan sudah berjejer 11 kader lain yang terjerat kasus korupsi. Mulai dari Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Jero Wacik terkait penyalahgunaan dana operasional menteri dan menerima gratifikasi, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Siti Hartati Murdaya terkait suap pengurusan Hak Guna Usaha perkebunan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, serta Amrun Daulay, anggota DPR periode 2009-2014 terkait korupsi pengadaan mesin jahit dan daging sapi. 

Kemudian paling fenomenal adalah korupsi terkait pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, Sekolah Olahraga Nasional Hambalang, yang menyeret beberapa pejabat teras partai seperti Muhammad Nazaruddin, Andi Alfian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum. 

Beberapa kader lainnya adalah Angelina Sondakh, As'ad Syam, Murman Effendi, Sarjan Taher, Agusrin Najamudin, dan Djufri. 

Masyarakat Bisa Apa?

Melihat siklus kenistaan para politisi ini, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar mengatakan, tak ada cara lain bagi partai politik untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, selain berbenah diri. Khusus Partai Demokrat, pada Pemilu 2014 lalu bisa terlihat rentetan kasus korupsi membuat elektabilitas mereka turun. Hal serupa tentu berpotensi juga terjadi di partai lainnya, karena korupsi tak hanya dilakukan oleh satu partai.

"Ini waktunya cuci gudang, seharusnya semua partai cuci gudang," kata Zainal saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 29 Juni 2016.

Partai politik memiliki posisi sentral dalam sistem demokrasi di Indonesia, karena pembuat kebijakan umumnya lahir dari proses demokrasi pemilihan. Di samping DPR, kepala daerah, presiden, wakil presiden sampai menteri, umumnya merupakan kader partai politik.

Siklus korupsi ini akan terus terjadi apabila "orang-orang yang berpikir bahwa kantor tempat dia kerja ini, sebagai sarana ekonomi untuk mengumpulkan kekayaan," ucap Zainal. Apalagi DPR saat ini mendapatkan kewenangan tambahan dengan adanya hak istimewa seperti dana aspirasi sebesar Rp20 miliar per tahun untuk seorang anggota.

Untuk itu, ada dua cara bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah orang berwatak serakah dalam mengambil keuntungan dari kewenangan yang diberikan negara pada mereka. Pertama menjamin kualitas sistem transparansi dan akuntabilitas yang sudah ada pada aturan di DPR, undang-undang, dan lembaga pengawasan. "Fungsi masyarakat ada pada pengawasan dalam bentuk laporan," terangnya.

Cara lainnya, dan ini menjadi kedaulatan masyarakat dalam demokrasi, yaitu memilih orang yang pas saat pemilu digelar. Konteks pas ini juga harus dibarengi dengan keinginan masyarakat menjadi pemilih cerdas, mau menggali latar belakang dan kualitas calon sebelum memilih mereka.

"Selama ini orang memilih karena pertalian dana, atau darah begitu-gitu saja, itu tidak akan menciptakan konsep anggota DPR yang baik. Bayangan saya pemilih cerdas yang harus didorong. Kalau mau berharap, di partai pun mendorong orang yang baik, tapi kan susah kita tuntut partai politik, karena akan pragmatis," ujar Zainal.

Saat menanggapi kasus ini, Bagi Zainal, suap Rp500 juta ini terlalu kecil jika diberikan sebagai ganti kewenangan DPR dalam mengatur anggaran sebuah proyek di daerah. Apalagi nilai proyek ini mencapai Rp 300 miliar. "Saya enggak tahu, ini jangan-jangan transferan ke berapa, atau permainan janji, karena kalau dari nilai tidak signifikan, Rp400-500 juta sama Rp300 miliar itu 0,1 persen. Kalau penelitian itu biasanya sekitar 7 sampai 10 persen." 

Kejanggalan lain bagi Zainal adalah, posisi Sudiartana sebagai anggota DPR dengan daerah pemilihan di Bali, sehingga mestinya dia tak memiliki kepentingan secara politik di provinsi lain. “Ini pengkhianatan terbesar pada pemilihnya, dia pemilihnya di Bali, tapi mengurusi Sumatera Barat. Peristiwa yang harus dijelaskan KPK, keanehan tadi itu menarik, komisi yang mengurusi hukum dan HAM urus infrastuktur. Walaupun dia anggota Badan Anggaran, jangan-jangan ini modus lama menjual janji,” ucapnya.

Untuk itu KPK diharapkan bisa menjelaskan lebih rinci, mengenai asal usul sumber pendanaan proyek ini. Sebab di DPR selain dana aspirasi ada banyak program pendanaan lain seperti dana optimalisasi.

“Memang masih dalam penelitian dan sedang dipelajari sekarang, yang bersangkutan bukan di komisi yang mengurusi jalan dan tata ruang, ini sedang didalami mengapa, misalnya kepala dinas dan pengusaha menyerahkan uang itu,” jelas Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di kantor KPK, Rabu, 29 Juni 2016.

Sikap Partai Demokrat 

Menanggapi kembali terjeratnya kader mereka, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan, Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengumpulkan para petinggi partai, menggelar rapat untuk membahas kasus korupsi ini.

Kata Amir, rapat itu menghasilkan empat poin. Pertama, terhadap dugaan pelanggaran hukum, Sudiartana sesuai pakta integritas partai akan mendapatkan sanksi organisasi berupa pemberhentian dari semua jabatan. 

Kedua, Partai Demokrat melihat dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Sudiartana merupakan tindakan pribadi, dan tidak memiliki kaitan atau membawa kepentingan partai Demokrat.

Selanjutnya, memberi penghargaan kepada KPK yang telah menindak tegas para pelaku korupsi. Seraya berharap semua proses penegakan hukum, dilakukan secara objektif, adil, dan bebas intervensi agar terjamin keadilan.

Terakhir, DPP Demokrat menginstruksikan kader agar menjauhi pelanggaran hukum dalam bentuk apa pun. "Ketika Demokrat sedang berbenah diri pelanggaran oleh kader akan mengganggu upaya serius partai dalam berbenah diri dan mengawal kesejahteraan rakyat," ujar Amir di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu 29 Juni 2016.

(ren)