Patroli Maritim 3 Negara Jangan Sekadar Pepesan Kosong

Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryakudu.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Bobby Andalan.

VIVA.co.id - Hampir satu bulan sudah nasib 10 anak buah kapal warga negara Indonesia (ABK WNI) terkatung-katung akibat diculik kelompok bersenjata Abu Sayyaf.

Sudah beberapa kali pula pertemuan trilateral antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia digelar, pascapertemuan kali pertama di Yogyakarta pada 5 Mei 2016.

Hasilnya kala itu sepakat untuk melakukan patroli maritim bersama (joint maritime patrol) di Laut Sulu, perbatasan antara Sulawesi Utara dengan Filipina bagian Selatan.

Mengingatkan saja, hingga pertengahan tahun ini, tercatat sudah empat kali terjadi penculikan oleh "lanun" atau kelompok pembajak/perompak dari Filipina selatan.

Yang terbaru, pada Sabtu, 9 Juli 2016, tiga orang diculik oleh lima orang bersenjata di Perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia, sehingga totalnya menjadi 10 WNI.

Keefektifan pertemuan tiga negara pun dipertanyakan. Sementara realisasi kerja sama patroli belum berjalan.

Pemerintah Indonesia kembali dikejar tenggat waktu (deadline) untuk membebaskan seluruh warga negaranya, dengan jaminan selamat dan sehat wal'afiat.

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Jakarta, Aleksius Djemadu, mengatakan, masih terlalu dini untuk menilai efektif atau tidaknya kerja sama patroli.

Meskipun terdapat ekspektasi besar dari kerja sama AL tiga negara ini. Sebab, kesepakatan masih di tingkat pemerintah pusat, dan harus sesegera mungkin diimplementasikan ke tingkat daerah.

Menurutnya, ada dua yang harus dilakukan pemerintah pusat. Pertama, pemerintah pusat segera menerjemahkan kesepakatan ini ke daerah.

Implementasi

Tak hanya itu, pemerintah juga harus mengawasi dengan ketat supaya arah dari kesepakatan berjalan dengan benar.

"Intinya diimplementasi. Ini untuk menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh menuntaskan masalah penculikan WNI dan memberi perlindungan maksimal warga negaranya," kata Aleksius kepada VIVA.co.id, Rabu, 3 Agustus 2016.

Selanjutnya, menurut Aleksius, yang kedua, adalah wilayah Laut Sulu merupakan daerah yang sangat luas dan berkonflik. Sehingga, penjagaan yang dilakukan selama ini tidak terlalu efektif.

Hal ini menjadi celah bagi para perompak atau sempalan kelompok Abu Sayyaf untuk beraktivitas secara ilegal.

“Sangat sensitif. Di wilayah itu banyak terjadi aktivitas ekonomi ilegal. Salah satunya, ya, penculikan. Ini adalah tanggung jawab Filipina untuk menjaganya. Dan sekaligus menjadi titik lemah,” ungkap dia.

Akankah terjadi lagi penculikan serupa? Ia pun tak menampik dan peluang tersebut terbuka lebar. Pasalnya, pengawasan yang dilakukan Filipina di wilayah rawan konflik terbilang lemah.

Kendati demikian, ia menyebut bahwa kasus lanun di perairan Filipina selatan sudah dianggap lumrah oleh Filipina.

Tak hanya itu, Aleksius menjelaskan bahwa Filipina harus menunjukkan "iktikad baik" bila masalah ini tidak mau terulang kembali di masa depan.

"Implementasi harus dilakukan sungguh-sungguh. Artinya, political will adalah masalah yang dihadapi pemerintah Filipina. Kuncinya ada di mereka (Filipina),” katanya.

Filipina bergantung batu bara RI

Pada kesempatan terpisah, mantan Dirjen Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Bebeb Nugraha Djundjunan mengatakan, patroli bersama di laut yang digagas tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina tidak gagal.

Sebab, ujar Bebeb, patroli bersama tidak untuk mengantisipasi terjadinya perompakan. Karena, perompakan, kata dia, tidak bisa ditebak kapan akan terjadi.

"Tapi, patroli bersama itu dilakukan untuk memberikan upaya jera bahwa sekarang ada patroli, berarti nggak bisa merompak lagi yang dulu,” kata Bebeb, beberapa waktu lalu.

Tetapi, dalam konteks untuk melakukan upaya pencegahan dan sebagainya, menurut dia, patroli bersama itu bagus. Ada upaya prevensi terhadap terjadinya perompakan.

Bicara efektivitas patroli bersama, Bebeb menjelaskan, di dunia patroli bersama efektif. Patroli bersama jadi tidak efektif apabila patroli bersama itu dilakukan di dua wilayah berbeda.

"Jadi, di dua negara yang berbeda perbatasan maka kemudian kita melakukan namanya patroli terkoordinasi," ujarnya.

Dia melanjutkan, terkait patroli bersama, Filipina terlihat memiliki iktikad baik. Sebab, Filipina memiliki kepentingan dalam hal batu bara. Negara itu masih mengimpor batu bara dari Indonesia.

"Nah, kalau Filipina tidak melakukan seperti itu (iktikad baik patroli bersama), mereka akan terganggu juga,” tuturnya.

Yang kedua, dari kekuatan alutsista, Filipina masih nomor enam di bawah Vietnam. Filipina, menurut dia, tidak melakukan upaya tertutup supaya bisa mengajak negara-negara lain melakukan pengamanan di kawasannya.

“Karena, Filipina belum bisa melakukan secara maksimal. Jadi, tidak ada iktikad tidak baik," dia menjelaskan.

Enam butir kesepakatan

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan ada enam butir penting yang disepakati dalam kerjasama trilateral antara Pemerintah Indonesia, Malaysia, serta Filipina mengenai pengamanan perairan Sulawesi Utara (Sulu) dan sekitarnya.

Sebelumnya, pertemuan trilateral dihadiri menteri pertahanan ketiga negara di Bali belum lama ini.

Enam butir kesepakatan tersebut yakni patroli bersama, bantuan darurat, sharing inteligence (pertukaran informasi intelijen), hotline communications (jalur komunikasi), latihan bersama, dan automatic identification system (sisem identifikasi otomatis).

"Kalau kita lihat ada perkuatan dua butir apa yang sudah kita sepakati di tanggal 14 Juli. Perkuatannya itu ada di poin 5 dan 6. Kita harapkan kesepakatan yang dihasilkan oleh para menteri pertahanan itu, maka enam kerjasama ini dapat segera diimplementasikan," kata Retno di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2016.

Ia menjelaskan, kesepakatan poin 1 hingga 4 sudah dibicarakan pada pertemuan trilateral pada 14 Juli 2016, sehingga enam butir tersebut merupakan penguatan dari kesepakatan sebelumnya. Retno berharap enam butir kesepakatan ini dapat segera diimplementasikan di lapangan.