Potensi Perpecahan Pimpinan Pemprov DKI Jelang Pilkada

Ilustrasi Logistik Pilkada DKI Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Menjelang Pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, bursa calon gubernur dan wakil gubernur DKI bertambah marak. Nama-nama baru pun bermunculan.

Salah satunya ada nama Saefullah. Meski kabar pencalonannya telah lama berembus, namun sekretaris daerah (Sekda) DKI Jakarta itu  baru blak-blakan akhir-akhir ini. Dia mengaku siap berpasangan dengan bakal calon Gubernur Sandiaga Uno.

Hal itu lantaran besarnya dorongan bagi dia untuk maju ke Pilkada.  Dukungan tersebut tidak hanya datang dari organisasi kemasyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama (NU), di mana dia memimpin ormas itu untuk wilayah DKI Jakarta. Sokongan juga datang dari masyarakat biasa.

Namun untuk maju mencalonkan diri, Saefullah butuh  kepastian ada pengusungan oleh partai politik. Hal itu diperlukan sebelum masa pendaftaran pasangan calon ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, pada 19-21 September 2016. "(Saya) S-I-A-P. Dibaca? Siap (jika diusung partai)," ujar Saefullah di Balai Kota DKI, Jumat, 12 Agustus 2016.

Munculnya nama Saefullah yang dikabarkan akan maju Pilkada DKI, tak ayal membuat persaingan makin marak. Persaingan tak hanya terjadi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, sebagai petahana, dengan rivalnya di luar Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, tapi juga di dalam institusi itu sendiri.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, keikutsertaan Saefullah untuk menantang Ahok, sapaan Basuki, dalam Pilkada DKI Jakarta sama sekali tidak menentang aturan. Asalkan tetap mengikuti mekanisme dalam regulasi yang berlaku. "Boleh saja (ikut Pilkada), tidak ada masalah. Paling penting ikuti aturan dan mekanisme yang ada," kata Tjahjo, Minggu, 14 Agustus 2016.

Ahok pun menyambut baik kemungkinan Saefullah maju di Pilkada Jakarta 2017. Namun, untuk itu, Saefullah harus meninggalkan posisinya sebagai pejabat eselon I, yang telah didudukinya selama lebih dari dua tahun.

Jika hal itu terjadi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harus kembali mencari pejabat yang dinilai cocok menjadi Sekda. "Bagus dong kalau ikut. PNS di Indonesia bisa ada kesempatan jadi Sekda DKI," ujar Ahok, sapaan Basuki, di Balai Kota DKI, Senin, 15 Agustus 2016.

Pendapat serupa dikemukakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Dia pun tak ambil pusing dengan rencana Saefullah yang akan maju Pilkada DKI. Banyaknya bakal calon yang ingin memimpin DKI Jakarta dinilai malah akan memberikan warna tersendiri. Di lain sisi, masyarakat juga memiliki lebih banyak pilihan calon. "Ya bagus. Bagus saja lah, itu kan haknya dia," katanya di Jakarta, Sabtu, 13 Agustus 2016.

Persaingan akan semakin ramai dalam internal Pemprov DKI, jika Djarot juga benar-benar mencalonkan diri dalam Pilkada DKI. Jika itu terjadi, para pemimpin Pemprov DKI pun akan bersaing memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

Djarot disebut-sebut sebagai salah satu calon yang akan diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kabar yang berembus akhir-akhir ini, Djarot akan dipasangkan dengan Ahok. Sinyal ini antara lain muncul dari politikus PDIP Maruarar Sirait.

Ara, sapaan Maruarar, menilai kinerja Ahok dan Djarot sudah terlihat nyata dalam menata kota Jakarta. Dia mengisyaratkan jika keduanya bakal bisa serasi di Pilkada DKI Jakarta 2017. Meski PDIP belum menentukan siapa yang akan diusung dalam Pilkada mendatang, Ara mengungkapkan, jika ada kemungkinan Ahok tetap berpasangan dengan Djarot.

"Saya yakin jika waktunya tepat, Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri) yang merupakan senior PDI perjuangan yang sangat matang akan memilih figur yang cocok, dengan mata hatinya, dengan bijak,” ujarnya, Minggu, 14 Agustus 2016.

Perlawanan Politik

Ahok curiga akan ada perlawanan politik dari Saefullah. Kecurigaannya semakin mengemuka saat ini, ketika Saefullah digadang-gadang turut maju memperebutkan kursi kepala daerah.

Insiden pada Jumat, 27 November 2015, dituding sebagai salah satu bentuk perlawanan politik tersebut. Ketika itu sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI calon lurah dan camat dimasukkan pada pelantikan pejabat di Balai Agung, Balai Kota DKI.

Kejadian itu dinilai sebagai tindakan menggalang massa PNS yang dianggap berseberangan dengan Ahok, namun berada satu kubu dengan Saefullah. "Kamu kira, Sekda enggak pasang orangnya (untuk menjadi) lurah dan camat?" ujar Ahok di Balai Kota DKI, Kamis 18 Agustus 2016.

Dia menuding Saefullah melakukan hal itu sebagai strategi agar potensi keterpilihan Ahok di Pilkada DKI 2017 berkurang.

Saefullah menampik tudingan Ahok. Dia membantah menyusupkan PNS yang loyal kepadanya untuk dilantik menjadi pejabat lurah dan camat. "Saya tidak pernah pasang orang (untuk menjadi pejabat). Cek saja sama Pak Agus (Kepala Badan Kepegawaian Daerah DKI Agus Suradika). Sama sekali tidak," ujarnya di Balai Kota DKI, Kamis, 18 Agustus 2016.

Sejumlah PNS dimasukkan saat pelantikan pada waktu itu karena terjadi 'efek domino'. Ketika itu, Ahok menyetujui sejumlah pejabat kelurahan dan kecamatan naik jabatan. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) kemudian harus mengisi jabatan yang kosong seperti wakil lurah dan camat, dan sekretaris kelurahan dan kecamatan.

Penentuan pejabat pengganti juga tidak dilakukan sembarangan. Tindakan mutasi, promosi, dan rotasi PNS dilakukan melalui proses di Badan Pertimbangan Jabatan (Baperjab). Baperjab lantas menilai dan menyerahkan rekomendasi untuk disetujui atau ditolak Ahok.

Meski dituduh demikian, Saefullah tidak merasa difitnah. Dia pun tak sakit hati dengan tudingan tersebut. Selaku PNS, dia sekadar pelaksana instruksi Ahok. "Penguasanya itu kan gubernur dan wakil gubernur," ujarnya.

Mantan wali kota Jakarta Pusat itu juga tidak merasa telah terjadi perpecahan di Pemerintah Provinsi DKI dengan adanya tuduhan Ahok tersebut. Dia mengaku siap terus menjalankan tugasnya sesuai amanat, tanpa terpengaruh perkataan pimpinannya. "Saya kan pembantunya gubernur dan wakil gubernur. Hubungannya ya baik-baik saja," ujar Saefullah.

(ren)