Tragedi Ibu Patmi dan Kisruh Pabrik Semen Rembang
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Kabar duka datang dari petani yang melakukan aksi memasung kaki dengan adonan semen di depan Istana Negara. Patmi, seorang perempuan hampir setengah baya yang jadi peserta aksi dari Pegunungan Kendeng – yang terletak di daerah Rembang dan Pati, Jawa Tengah – meninggal dunia pada Selasa dinihari, 21 Maret 2017.
Memang, penyebab meninggalnya perempuan berusia 45 tahun itu disebutkan bukan karena “aksi semen kaki” secara langsung, melainkan akibat serangan jantung. Meskipun demikian, berita tersebut cukup membuat publik terhenyak.
Mengapa sampai ada korban jiwa dalam aksi tersebut? Sebenarnya, apa yang mereka perjuangkan hingga berisiko bertaruh nyawa?
Berdasarkan catatan VIVA.co.id, sejumlah petani asal Gunung Kendeng, Jawa Tengah, menggelar aksi cor kaki untuk kedua kalinya di depan Istana Merdeka, Jakata Pusat, Selasa, 14 Maret 2017. Mereka memprotes tindakan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang menerbitkan izin lingkungan baru bagi PT Semen Indonesia.
Aksi tersebut merupakan lanjutan dari aksi yang sama pada tahun lalu. Pada Selasa 12 April 2016, sembilan perempuan asal Rembang, Jawa Tengah, melakukan aksi mengecor kaki dengan semen di depan Istana Negara, Jakarta.
Aksi pada April tahun lalu itu selesai setelah perwakilan Presiden Joko Widodo mau bertemu mereka. Perwakilan Presiden yang menemui para petani adalah Kepala Staf Presiden, Teten Masduki, dan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.
Mereka menuntut Pegunungan Kendeng Utara dibebaskan dari pabrik semen yang didirikan PT Semen Indonesia yang kian hari kian menghabisi lahan mata pencaharian mereka sebagai petani.
Namun, konflik warga sekitar Pegunungan Kendeng tidak hanya dengan PT Semen Indonesia, melainkan juga dengan swasta, dalam hal ini PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk. Perseteruan mereka juga sampai ke ranah hukum.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menuturkan, sejak Senin, 13 Maret 2017, warga pedesaan di kawasan bentang alam karst Kendeng memulai aksi kolektif. Mereka memprotes pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas rencana pendirian dan pengoperasian pabrik semen milik PT Semen Indonesia, sebuah Badan Usaha Milik Negara, di Rembang dan semen lainnya di Pegunungan Kendeng.
Dalam konteks PT Semen Indonesia, Isnur menilai pemerintah telah mempermainkan hukum, mengabaikan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin lingkungan. Kemudian, mengganggu usaha warga untuk mendapatkan keadilan dan malah membiarkan berlangsungnya gangguan dari pihak lain.
Menurut Isnur, aksi protes berlangsung setiap hari, dimulai dari siang sampai sore, dengan fasilitas sanitasi lapangan dan peneduh. Pada sore hari, peserta aksi pulang ke tempat beristirahat dan menginap di YLBHI Jalan Diponegoro Jakarta. Tim dokter juga siaga di YLBHI dan di lokasi aksi.
Ia melanjutkan, pada Kamis, 16 Maret 2017, kurang lebih 55 warga dari Kabupaten Pati dan Rembang datang menyusul untuk bergabung melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen. Dari jumlah itu, 20 orang memulai mengecor kaki di hari tersebut.
"Bu Patmi adalah salah satu dari yang mengecor kaki dengan kesadaran tanggung jawab penuh. Beliau datang sekeluarga, dengan kakak dan adiknya, dengan seizin suaminya," kata Isnur.
Isnur menyampaikan almarhumah sebenarnya berencana untuk pulang kampung bersama dengan sebagian dari peserta aksi yang lain. Hal itu setelah Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengundang perwakilan dari mereka pada Senin Sore, 20 Maret 2017.
Mereka memutuskan 9 orang tetap melanjutkan aksi tetapi dengan mengubah cara. Sementara, sebagian besar lainnya akan pulang ke kampung halaman.
"Bu Patmi adalah salah satu yang akan pulang sehingga cor kakinya dibuka semalam, dan persiapan untuk pulang di pagi hari," katanya.
Namun sayang, pada pukul 02.30 dini hari, Selasa, 21 Maret 2017, setelah mandi, Patmi mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah. Padahal sebelumnya, tim dokter menyatakan yang bersangkutan dalam keadaan sehat dan baik.
"Dokter yang mendampingi dan bertugas segera membawa ibu Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa ibu Patmi meninggal dunia. Pihak RS St. Carolus menyatakan bahwa ibu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul 02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji'un," katanya.
Jenazah almarhumah pun dipulangkan ke desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati untuk dimakamkan di desanya pada Selasa pagi. Sebagian dari mereka yang melakukan aksi semen kaki juga langsung pulang menuju Kendeng.
"Kami segenap warga negara Republik Indonesia yang ikut menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng berduka atas kematian ibu Patmi dalam aksi protes penolakan di seberang Istana Presiden ini," ujar Isnur.
Tak berbeda, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Gunritno menuturkan bahwa almarhumah awalnya dalam kondisi sehat. Dia mengakui tadi malam, yang bersangkutan berencana pulang.
"Sudah siap-siap. Tapi ya nggak tahu. Tahu-tahu dari kamar mandi, batuk-batuk, habis itu dibawa ke rumah sakit. Di perjalanan terus nggak ada, meninggal," kata Gunritno saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa, 21 Maret 2017.
Gunritno pun mengungkapkan alasan mengapa mereka melakukan aksi yang sampai mempertaruhkan nyawa tersebut. Menurutnya, semua adalah demi perjuangan pelestarian lingkungan.
"Proses panjang ini pada akhirnya ada kejadian mbak Patmi meninggal ini. Semoga apa, dari semua masyarakat, para pemimpin, mencontoh. Petani Kendeng bukan persoalan mau minta lahan tapi pelestarian lingkungan. Semoga semua tergerak untuk lingkungan dilestarikan," kata dia.
Terkait bagaimana nasib aksi semen kaki selanjutnya, untuk sementara ini Gunritno belum bisa memberikan jawaban. Saat ini, ia dan rekan-rekannya tengah berduka.
Dia sendiri saat dihubungi tengah berada di perjalanan, bersama jenazah menuju Pati. Rencananya, almarhumah Parmi akan dimakamkan setibanya di rumah.
"Mungkin sampai (rumah duka di Pati) jam 7 malam. Tadi posisi di Batang mau Kendal. Naik mobil," tuturnya.
Pada kesempatan sebelumnya, Gunritno mempersilakan siapapun termasuk polisi untuk menanyakan langsung pada peserta aksi terkait siapa yang menggerakkan mereka. Apakah mereka digerakkan atau atas keinginan sendiri dalam melaksanakan aksi.
"Dari setiap masing-masing yang melakukan aksi kakinya dicor, itu ditanya saja. Jadi yang dianggap melanggar, dia itu kan ingin dicor dari hati murani, tidak ada paksaan," kata Gunritno kepada VIVA.co.id, Kamis, 16 Maret 2017.
Gunritno justru menilai pihak yang mempermasalahkan aksi itulah yang digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, di Rembang sendiri, lanjut dia, ada pihak yang membuat onar dengan membakar tenda, dan musala.
"Jelas-jelas ada orang yang lihat, ada rekamannya tapi malah kita yang dikriminalkan. Monggo polisi terserah, tindakannya mau gimana," ujarnya.
Gunritno menuturkan berdasarkan putusan Mahkamah Agung, dan instruksi dari Presiden Jokowi, masalah Kendeng harus dilakukan kajian lebih dahulu.
"Selama proses itu, dalam waktu 1 tahun tidak boleh ada izin lagi. Tapi Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan izin. Yang salah siapa? Kalau mau tangkap, tangkaplah Gubenrur Jateng itu," kata dia.
Saat itu, dia menuturkan aksi semen kaki di Monas itu sendiri sudah berjalan empat hari. Dia memastikan aksi itu terus berlanjut kecuali Jokowi bersedia menemui mereka.
"Berlangsung sampai kami diundang Pak Jokowi, karena kami mau mengadu ke Pak Jokowi. Kami gak usah dibubarkan, kalau Pak Jokowi mengundang kami bertemu untuk menyelesaikan masalah Kendeng, itu cukup," tuturnya.
Selanjutnya....Diundang ke Istana