Mengawal Dana Parpol
- Antara/ Fanny Octavianus
VIVA.co.id - Pemerintah akhirnya menyetujui kenaikan dana bantuan partai politik. Kenaikan tersebut tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 pada 29 Maret 2017.
Posisi terakhir, Kementerian Keuangan sudah mengirim surat penetapan tersebut ke Kementerian Dalam Negeri. Untuk pengesahan secara final tinggal merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol dan Undang Undang Parpol.
"Di dalam Surat Menteri Keuangan kepada Mendagri menetapkan usulan besaran bantuan kepada parpol yang dapat dipertimbangkan setiap tahunnya adalah sebesar Rp1.000 per suara sah," ujar Menkeu Sri Mulyani di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu, 27 Agustus 2017.
Sri menuturkan penetapan dana bantuan partai politik tersebut telah melalui kajian. Dana tersebut nantinya akan dievaluasi per tahun disesuaikan dengan kebutuhan partai, dan mencegah adanya korupsi.
"Kan selalu selama ini ada yang mengatakan kami melakukan ini (korupsi) untuk partai atau untuk ongkos politik," ujar Sri.
Ia menegaskan bahwa penetapan angka terbaru dari dana bantuan partai ini juga harus ditindaklanjuti dengan merevisi PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol dan UU Parpol. Menurutnya, dua aturan itu harus memuat soal perbaikan rekrutmen dan kaderisasi, perbaikan etik politisi, dan pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat.
"Ada pula pembenahan kelembagaan, serta tata kelola keuangan agar parpol transparan dan akuntabel," ujar Sri.
Meski begitu, ia menekankan dana bantuan partai politik tersebut tak berarti iuran kader untuk partai dihentikan. Karena hanya dengan adanya iuran, bisa memunculkan rasa memiliki kader atas partainya.
Sri menambahkan pemerintah menimbang kenaikan dana parpol karena ada surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Sepengetahuannya, KPK menyampaikan surat kepada pemerintah, termasuk kepadanya dan juga Mendagri.
Karena surat itu, lanjut Sri Mulyani, Kementerian Dalam Negeri kemudian mengajukan usulan ke Kementerian Keuangan. Usulan yang disampaikan adalah kenaikan dana partai menjadi Rp1.000 untuk satu suara.
"Itu telah disampaikan bahwa parpol memang mendapatkan dana berdasarkan suara sah yang diperoleh," kata mantan Direktur Bank Dunia itu.
Selanjutnya...
13 miliar tiap tahun
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin, 28 Agustus 2017, mengaku tidak tahu kapan revisi PP Nomor 5/2009 itu ditandatangani Presiden Joko Widodo. Yang dia ketahui baru sebatas di Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Saya dengar Ibu Menteri Keuangan sudah berkirim surat ke Depdagri untuk memproses, karena penyerahannya lewat Depdagri. Revisi PP sudah sampai di Setneg," kata Tjahjo.
Namun, Tjahjo memastikan usulan kenaikan dana bantuan parpol sebenarnya sudah disampaikan sejak lama. Dengan catatan jumlah kenaikan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan kondisi keuangan negara.
"Baru setelah keuangan membaik, Ibu Menteri Keuangan bisa menyisihkan bagian konsolidasi demokrasi ini pasti ditingkatkan. Dari Rp108 ke 1000 rupiah. Rp13 miliar tiap tahun dan bisa dievaluasi," ujarnya.
Selain itu, kenaikan dana bantuan parpol ini juga sudah melalui berbagai pembahasan bersama DPR dan pemerintah termasuk Kementerian Keuangan. Dana bantuan parpol untuk DPR menjadi Rp1000 per suara sah, DPRD tingkat I Rp1200 per suara sah dan DPRD tingkat II Rp1500 suara sah.
Mantan Sekretaris Jenderal PDIP tersebut berharap masyarakat tak melihat penting atau tidak pentingnya kenaikan dana bantuan parpol. Karena parpol mempunyai tugas untuk membina para kader dan menyiapkan calon anggota DPRD, DPR hingga calon presiden. Dicontohkan dia, parpol di negara lain, biayanya ditanggung negara.
"Wajar kalau pemerintah duduk dari parpol, menyisihkan anggaran uang rakyat untuk kepentingan konsolidasi rakyat, konsolidasi parpol untuk suksesnya demokrasi 5 tahunan ini," katanya.
Meskipun demikian, Tjahjo juga menyatakan bahwa kenaikan dana tersebut bukan berarti akan menjamin para politisi untuk tidak korupsi. Bahkan untuk persoalan ini, dia sudah membahas dengan BPKP, BPK, dan KPK.
"Kita undang ICW juga, bantuan berapa ratus ribu, berapa juta pun tidak bisa jadi ukuran apakah ini akan menyetop adanya korupsi, tidak bisa," ujar Tjahjo.
Menurut dia, korupsi biasanya dilakukan oleh perorangan anggota kader dan tidak berkaitan dengan parpol. Namun, ia meminta parpol dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, KPK tetap mengawasi kemungkinan tindak tanduk anggota parpol yang dicurigai melakukan korupsi.
"Soal ada korupsi itu kembali ke masing-masing orang. Fungsi kontrolnya. Sanksinya kita serahkan kepada masing masing parpol atau kepada aparat hukum," ujarnya.
Tjahjo menekankan dana bantuan parpol prinsipnya adalah bentuk perhatian pemerintah kepada parpol. Sebab, pemerintah memahami proses rekrutmen anggota DPR hingga presiden itu melewati mekanisme partai politik. Sehingga penggunaan dana bantuan parpol seutuhnya diserahkan pada parpol penerima.
"Bisa dipakai rutin bisa dipakai untuk kaderasi atau apa-apa yang saya kira ada pertanggungjawaban," ujarnya.
Meski penggunaan diserahkan pada parpol pemerintah tetap melakukan pengawasan. Agar dana bantuan ini bisa terdistribusi secara transparan.
"Tiap tahun bisa dievaluasi," tegasnya.
Pernyataan senada disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly. Dia mengaku belum menerima rancangan revisi peraturan pemerintah yang mengatur kenaikan anggaran dana partai politik.
"Saya belum (menerima), kan baru disepakati," kata Yasonna usai bertemu Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2017.
"Jadi nanti besarannya, kan itu masih masuk di APBN kan uangnya, tapi soal ketentuannya dari Menteri Keuangan," lanjut Yasonna.
Selanjutnya...
Sambutan partai-partai
Partai-partai politik menyambut terbuka kebijakan kenaikan dana partai politik dari Rp108 menjadi Rp1.000 itu. Misalnya saja Golkar.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar TB Ace Hasan Syadzily mengatakan adanya kenaikan itu membuat partainya terbantu. Khususnya untuk pendidikan politik kader.
"Kenaikan dana bantuan politik tentu membuat partai kita sedikit terbantu," kata Ace di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 28 Agustus 2017.
Saat ditanya apakah Golkar hanya akan menggunakan dana ini untuk kaderisasi, ia masih akan membicarakan lebih teknisnya dengan bidang kebendaharaan partai. Tapi dengan adanya kenaikan ini, parpol dipacu memerankan pendidikan politik.
"Tentu kenaikan dana parpol, saya kira harus dibarengi akuntabilitas publik dan transparansi dalam penggunaannya. Karena ini dana negara. Sehingga penggunaan ini dipertanggungjawabkan," kata Ace.
Ia juga menilai memang seharusnya ada biaya standar dan kegiatan parpol yang dibantu negara, misalnya, kebutuhan kesekretariatan. Tapi ia tetap menekankan pentingnya penggunaan dana ini untuk pendidikan politik dan rekrutmen kader.
"Idealnya memang di negara yang demokrasi sudah maju, parpol mendapatkan subsidi yang besar dari negara. Australia, Jerman, Amerika, itu semua subsidi terhadap parpol," kata Ace.
Senada dengan Ace, Ketua DPP Gerindra, Ahmad Riza Patria, mengatakan kenaikan dana parpol tersebut cukup baik karena Rp108 per suara jauh dari cukup bahkan untuk keperluan kesekjenan.
"Sebenarnya Rp1.000 juga masih jauh dari cukup karena kalau kita bandingkan dengan negara lain seperti Meksiko, itu sudah Rp60 ribu, kita cuma Rp1.000. Jadi perbandingannya itu jauh sekali, jadi membangun demokrasi itu perlu juga dukungan dari pemerintah secara konkret, di antaranya bantuan dana," kata Riza di Gedung DPR pada kesempatan terpisah.
Ia mengatakan, selama ini Gerindra mengandalkan pembiayaan partai dari anggota dewan, pengurus partai, iuran anggota, usaha-usaha, dan yang utama dari ketua umumnya, Prabowo Subianto.
"Anggaran parpol itu harusnya setiap tahun dinaikkan. Karena gaji Mendagri dinaikkan. Secara bertahap ya," kata Riza.
Partai Amanat Nasional juga setuju dengan keputusan pemerintah menaikkan dana partai politik yang lebih dari 100 persen tersebut. Mereka meyakini kenaikan dana itu dapat berdampak positif agar partai politik menjadi lebih mandiri; memperoleh dan mengelola uang tanpa harus bergantung pada orang tertentu yang mempunyai kepentingan lain di luar tujuan partai.
"Kemandirian ini penting agar parpol tidak disandera atau dikendalikan oleh pribadi dan atau kelompok tertentu yang memiliki kemampuan finansial dan logistik untuk kepentingan di luar fungsi dan peran partai politik," kata Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, melalui keterangan tertulisnya, Selasa, 29 Agustus 2017.
Kalau partai politik dikuasai individu atau kelompok orang yang punya uang, Yoga khawatir tujuan berdemokrasi akan rusak. Partai politik hanya menjadi semacam sapi perah dalam kepentingan individu atau kelompok itu.
"Kelompok monopolis dan oligopolis parpol ini atas nama demokrasi akan menjadikan parpol sebagai kuda tunggangan atau sebagai sapi perah untuk melancarkan agenda kepentingannya," ujarnya.
Individu atau kelompok yang menjadikan partai politik sebagai kuda tunggangan, Yoga berpendapat, adalah untuk melanggengkan kepentingan ekonomi, politik, dan sosial budaya serta yang lainnya dari kelompok itu.
Maka dana partai politik tidak boleh bergantung pada individu atau kelompok seperti itu. Dibutuhkan kemandirian sumber dana partai agar tidak terjatuh dari individu atau kelompok yang menjadikan partai politik sebagai sapi perah atau kuda tunggangan.
"Itulah bahayanya jika parpol tidak mandiri. Perjuangan demokrasi akan dirusak oleh kekuasaan finansial dan logistik."
Selain itu, lanjut Yoga, PAN juga berjanji tetap komitmen dalam memberantas korupsi.
"Bagi PAN, tanpa atau dengan penambahan bantuan subsidi pemerintah, tentu ada komitmen dari seluruh parpol, bersama-sama dengan aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi," kata Yoga.
Menurut Yoga, untuk mewujudkan partai dalam mengoptimalkan ideologi dan sebagai pilar demokrasi, maka harus mandiri dari ketergantungan keuangan dari individu atau kelompok tertentu.
"Jika di Indonesia sudah ada kemandirian dana bagi seluruh parpol maka proses kompetisi demokrasi akan dapat berjalan fairness dan lebih baik karena kemenangan di pemilu ditentukan oleh kehendak dan pilihan rakyat," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR itu.
Meski ada kenaikan dana untuk parpol, Yoga menegaskan jangan sampai memberatkan APBN yang ada. Bantuan dari pemerintah saat ini, sebesar 0,32 persen dari total APBN setiap tahunnya.
Sementara itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini meminta kenaikan dana bantuan partai politik jangan digunakan untuk calon legislatif. Selain itu, kenaikan dana parpol ini diperlukan sistem audit yang sebaiknya diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Yang bertanggung jawab audit itu BPK. Silakan BPK bikin sistemnya tersendiri," kata Jazuli di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 29 Agustus 2017.
Jazuli menekankan, dana partai politik memang harus dikelola dengan baik dan benar. Sehingga partai politik harus membuat laporan yang bagus terhadap dana ini.
"Buat kami di PKS ini akan kami pertanggungjawabkan secara baik. Sebelum mendapat dana bantuan politik secara signifikan kami di PKS sudah mengelola sistem keuangan yang bagus, dapat pujian dari KPK," ujar Ketua Fraksi PKS di DPR tersebut.
Ia menilai, kenaikan dana bantuan partai politik ini merupakan political will yang baik dari pemerintah. Ia berharap bisa menggunakannya bukan sekadar untuk internal partai tapi juga pendidikan demokrasi pada rakyat.
"Peran pendidikan politik parpol harus lebih menonjol. Mudah-mudahan juga akan mengurangi ketergantungan sumbangan pejabat-pejabatnya," ujarnya menambahkan.
Ia juga menekankan agar jangan sampai dana ini digunakan untuk calon legislatif (caleg). Sebab para caleg seharusnya bisa mandiri secara finansial.
"Mestinya ketika ia maju sebagai caleg ya harus mandiri secara finansial. Jangan bergantung pada dana parpol."
[Baca juga: Setya Novanto: Kenaikan Dana Parpol Beri Gairah Baru
Selanjutnya...
Pengawasan dana partai
Naiknya jumlah dana partai pertama kali diwacanakan melalui kajian Komisi Pemberantasan Korupsi. Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengakui institusinya sudah melakukan kajian bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengenai kenaikan bantuan dana parpol.
Dalam kajian kedua instansi itu, dihasilkan naskah kode etik politisi dan partai politik, serta panduan rekrutmen dan kaderisasi partai politik yang ideal di Indonesia.
"Dua naskah ini dibuatkan untuk membangun politik yang cerdas dan berintegritas agar demokrasi kita benar-benar dijalankan para politisi dan parpol yang memegang teguh komitmen memajukan bangsa, utamanya kesejahteraan umum, jujur dan berintegritas," kata Pahala, Senin, 28 Agustus 2017.
Naskah kode etik dan panduan rekrutmen dibikin dalam sebuah buku yang tebalnya masing-masing 68 halaman dan 102 halaman. "Untuk itu diperlukan mahkamah dan peradilan etik yang bersifat ad hoc yang berada di luar institusi partai supaya kebijakan itu diiringi lagi dengan pengawasan, berlaku bagi semua partai politik dan politisi," kata Pahala.
Mengenai kode etik dan kaderisasi partai politik, lanjut Pahala, parpol seharusnya meningkatkan pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat dan pembenahan kelembagaan serta tata kelola keuangan agar partai menjadi transparan dan akuntabel.
Pahala menyatakan, kode etik politisi dan partai politik akan berfungsi jika, pertama, substansi kode etik masuk ke dalam dan menjadi bagian penting dari Undang Undang tentang Partai Politik.
Kemudian, kedua naskah ini juga menjadi syarat mutlak apabila negara akan memberikan dana kepada parpol yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Lalu, ketiga, Kementerian Hukum dan HAM menjadikan naskah tersebut sebagai bagian dari persyaratan mutlak bagi parpol yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan status badan hukum.
"Keempat, adanya tekanan masyarakat kepada parpol supaya naskah terinternalisasi di dalam jiwa, pikiran, dan tindakan para politisi dan partai politik," kata Pahala.
Dalam naskah kode etik politisi dan parpol, setidaknya ada 14 poin yang masuk dalam aturan etika yang yang wajib menjadi pedoman politisi dan partai politik.
Poin-poin tersebut di antaranya soal kepentingan umum, kejujuran, integritas, transparansi, keadilan, profesional, taat pada hukum, akuntabel, inklusif dan non-diskriminasi, hubungan dengan konstituen dan masyarakat.
Kemudian hubungan dengan legislator sesama partai dan politisi partai lainnya, hubungan dengan suatu media dan profesi sejenis, hubungan dengan birokrasi, peradilan dan lembaga-lembaga negara lain, dan hubungan politikus dengan dunia bisnis dan/atau korporasi.
Adapun soal rekutmen dan kaderisasi, sambung Pahala, dalam hasil kajian bersama dengan LIPI, parpol perlu mengubah pola perekrutan dari yang bersifat tertutup menjadi terbuka terbatas.
Melalui pola terbuka terbatas, para bakal calon pejabat publik tidak hanya ditentukan oleh Ketum, atau oligarki pengurus partai, melainkan secara berjenjang sejak masih di ranting daerah.
"Sebaiknya politikus dan partai politik akan menentukan baiknya demokrasi kita. Karena itu parpol diharap dapat mengadopsi sistem rekrutmen dan kaderisasi ini," kata Pahala.
Kajian KPK soal pendanaan parpol dilakukan pada 2016, untuk kebutuhan pendanaan di tingkat pusat provinsi (DPD/DPW) dan kabupaten/kota (DPD/DPC). Porsi ideal bantuan negara untuk parpol sebesar 50 persen dari kebutuhan keseluruhannya.
Bantuan tersebut dilakukan secara bertahap selama 10 tahun secara proporsional dan berdasarkan kepada hasil evaluasi atas kepatuhan parpol atas setiap persyaratan dan ketentuan yang masuk dalam rekomendasi, yang dibuat KPK bersama LIPI.
Pendanaan parpol sendiri sebagaimana diatur dalam PP Nomor 5 tahun 2009, bersumber dari iuran anggota, sumbangan individu, dan perusahaan serta bantuan negara.
Sementara itu, Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan kenaikan dana subsidi bagi partai politik semestinya diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban yang transparan dari parpol. Termasuk pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Saya kira penting untuk melibatkan KPK dalam proses pengawasan agar benar-benar dijamin dana bantuan tersebut digunakan sesuai dengan tujuan peruntukannya, yakni demi meningkatkan pendidikan politik warga negara," kata Lucius ketika dihubungi VIVA.co.id, Selasa, 29 Agustus 2017.
Menurut Lucius, jika model pertanggungjawaban dana parpol tidak diatur secara ketat, maka sangat mungkin penambahan anggaran hanya jadi lahan bancakan baru bagi parpol.
"Akibatnya pendidikan politik tak pernah serius digarap, sehingga kita selalu kembali pada laku politik lama yang kerap disebut money politics," ujar Lucius.
Lucius menuturkan, idealnya peningkatan subsidi terhadap parpol harus didahului sebuah upaya membereskan tata kelola partai politik baik secara institusi maupun terkait keuangan parpol. Menurut dia, memberikan bantuan tanpa jaminan adanya pengelolaan yang transparan hanya akan sia-sia.
"Lalu peningkatan subsidi tanpa disertai sanksi untuk parpol yang terbukti menyeleweng hanya akan memanjakan parpol untuk terus hidup dalam budaya korup," kata Lucius.
[PKB: Pengawasan Dana Partai Sama dengan Penggunaan APBN Lain]
Sedangkan, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Robert Kardinal, menanggapi usulan Pengadilan Ad Hoc terkait dengan kenaikan dana bantuan partai politik. Dia mengaku tidak menentang pendapat yang disampaikan oleh pejabat KPK tersebut.
"Pokoknya kalau usulan yang bagus dan baik soal keterbukaan. Apa pun yang bagus untuk kepentingan bersama, saya setuju," kata Robert di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2017.
Namun, saat ditanya soal sanksi yang perlu diberikan pada partai politik ketika menyalahgunakan dana partai politik, ia menilai partai tak perlu diberikan sanksi. Sebab pasti yang melakukan kesalahan hanyalah oknum.
"Tak mungkin ada partai politik yang salah. Yang salah oknumnya. Jadi tak bisa langsung disalahkan partai politiknya. Semua baik partai politik atau pun negara selalu berbuat yang baik. Kalau ada, oknum yang salah," kata Robert.
Ia mengatakan pengawasan terhadap dana partai politik cukup dilakukan dengan audit Badan Pemeriksaan Keuangan. Golkar pun menggunakan jasa akuntan publik untuk mengaudit dana tersebut.
"Kita jalankan aturan-aturan. Apalagi dana lebih besar lagi, kita harus hati-hati supaya sesuai aturan yang ada. Karena setiap uang yang ada harus diaudit," kata Robert.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga turut bersuara. Dia menyampaikan kenaikan dana partai politik hingga 10 kali lipat bertujuan agar parpol tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari sumber pendanaan. Kesulitan pendanaan ini kerap kali membuat justru mencari sumber pendanaan ilegal seperti korupsi.
"Dengan situasi sekarang, biaya partai politik itu makin tinggi. Supaya jangan minta macam-macam, oleh karena itu, (dana parpol) sekaligus masuk APBN," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2017.
JK mengungkapkan besaran dana parpol yang sebelumnya berlaku hanya sebesar Rp108 untuk setiap raihan suara parpol itu di Pemilihan Umum sebelumnya. Mengacu kepada aturan yang dibuat belasan tahun lalu. Kenaikannya menjadi Rp1.000 saat ini diatur Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017, dinilai perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini.
"Semenjak saya pengurus Golkar sebelumnya sudah begitu. Jadi, ini (kenaikan dana parpol) wajar saja untuk menyesuaikan kondisi hari ini," ujar JK yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Golkar itu.
JK mengakui diberlakukannya kebijakan akan menambah beban APBN. Anggaran dana parpol sendiri, diprediksi akan mencapai Rp124,92 miliar usai kebijakan diberlakukan.
Meski demikian, JK menekankan, kenaikan diperlukan untuk mencegah parpol-parpol mencari sumber pendanaan ilegal. Menurut dia, pelaksanaan kebijakan juga tentu akan diikuti pemberlakuan aturan tentang audit yang memastikan penggunaannya tak diselewengkan.
"Yang namanya (dianggarkan) di APBN, pasti membebani APBN. Tapi lebih berbahaya kalau partai-partai itu ingin (mencari pendanaan dari) kerja proyek. Itu lebih menyulitkan kan," ujar JK.
[Baca juga: Menyoal Wacana Kenaikan Dana Parpol]
Terlepas dari sambutan baik para politisi dan juga dari pemerintah, kebijakan kenaikan dana partai itu mengandung sisi ironis. Alasannya, di saat pemerintah memberikan tambahan subsidi ke partai-partai, subsidi-subsidi untuk rakyat justru dicabut.
Misalnya saja listrik. Banyak masyarakat yang mengeluh biaya listrik saat ini naik hingga lebih dari 100 persen.
Ternyata penyebabnya adalah pemerintah, dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara, mencabut subsidi listrik kategori 900 VA mulai 1 Januari 2017. Dalihnya, mereka menilai banyak pengguna 900 VA adalah orang yang mampu, seperti pengusaha kos-kosan sehingga subisidi dialihkan ke pengguna 450 VA yang merupakan golongan miskin.
[Dirut PLN Ancam Proses Hukum Penyebar Informasi Listrik Naik]
Terkait persoalan itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center yang juga dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago, menilai keputusan pemerintah menaikkan dana bantuan ke partai politik bisa merupakan langkah politik tertentu dari pemerintahan Joko Widodo.
"Ini termasuk strategi politik presiden Jokowi, sehingga program dan kebijakan Pemerintahan Jokowi tidak dijegal, namun mulus didukung parpol di parlemen," kata Pangi ketika dihubungi VIVA.co.id, Selasa 29 Agustus 2017.
Dia menilai kebijakan dana parpol ini bisa menjadi polemik bagi pemerintahan Jokowi. Hal itu karena kenaikan dana untuk partai ini justru muncul ketika banyak subsidi untuk masyarakat dicabut, termasuk membuat tarif listrik jadi mahal.
"Dana parpol dinaikkan namun subsidi justru pada dicabut dan ditarik. Ini yang kemudian bisa menjadi polemik dan citra Jokowi bisa terganggu. Idealnya subsidi untuk rakyat seperti listrik jangan dicabut," ujar dia.
"Sehingga kesan politik presiden terkesan nampak pelit bantu rakyat namun sangat royal bantu parpol," tambahnya.
Namun Pangi mengakui dia memahami logika berpikir kenapa pemerintah menaikkan dana parpol. Yakni supaya tidak lagi ada aktivitas pendanaan yang ilegal atau aktivitas sembunyi-sembunyi.
"Sehingga BUMN tidak lagi dijadikan sebagai sapi perahan ATM parpol. Namun problemnya subsidi listrik baiknya jangan dicabut dan bantuan mikro untuk rakyat kecil diperbanyak," kata Pangi.
Sementara itu, Pengamat Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro berpendapat bantuan uang negara kepada partai harus dimaknai secara berarti dan dampaknya harus positif khususnya untuk mereformasi parpol. Menurutnya, kemanfaatannya bisa diukur dari tiga hal.
Pertama, kaderisasi yang berkualitas. Kedua, promosi kader secara transparan dan akuntabel (bukan karena nepotisme dan kolutisme). Ketiga, berkurangnya jumlah kader yang korup.
"Pemberian uang ke parpol bukan tanpa alasan. Prosesnya mungkin telah melalui pertimbangan yang panjang. Meskipun kita tidak menutup mata bahwa kebijakan itu tak terlepas dari kepentingan politik yaitu mutually politically symbiotic (saling menguntungkan) dan memberi relief kepada parpol terkait beban dana menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019," kata Siti kepada VIVA.co.id, Selasa, 29 Agustus 2017.
Artinya, lanjut dia, tak menutup kemungkinan adanya hitung-hitungan politik. Meski demikian, dia menjelaskan bahwa semua anggaran yang berasal dari negara harus diaudit. Karena itu, parpol harus siap menerima konsekuensi untuk diaudit oleh auditor negara.
"Pengawasan terhadap pengelolaan dana tersebut harus efektif. Dan parpol yang melanggar harus dihukum. Hukuman bisa bisa menunda pencairan dana sampai menghentikan dana bila diperlukan ketika parpol tidak mengindahkan peraturan," kata dia lagi.
Siti menegaskan pengawasan sekaligus pemberian sanksi penting agar ada penguatan penegakan hukum dalam pengelolaan anggaran. Dia menekankan pengelolaan anggaran harus tertib.
"Masalah teknis penggelontoran dana biasanya sudah ada SOP-nya juga pengawasannya. Selain pengawasan melekat yang dimiliki negara, civil society juga merupakan kekuatan sosial yang ikut mengawasi. Termasuk media, baik elektronik, cetak maupun media sosial," lanjutnya.
Siti mengingatkan tak ada yang bisa menjamin dana-dana tersebut bisa tepat sasaran dan sesuai dengan target. Apalagi kalau tidak diikuti oleh penegakan hukum yang cukup dalam pengelolaan anggaran.
"Mestinya perlu dibuatkan perjanjian antara pemerintah dan parpol terkait dana partai yang di dalamnya menyebutkan mau diaudit dan dipenalti kalau mereka melanggar," kata dia.
Menurutnya, hukumannya harus disebutkan sejak awal bagi mereka yang melanggar dan melakukan korupsi. Secara eksplisit, hukuman tersebut bisa berupa peringatan, penundaan, pencairan anggaran sampai dihentikan sama sekali karena bantuan dana ke partai tak berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas partai.
"Padahal pemberian dana ke partai oleh negara merupakan taruhan integritas bagi partai."