Sutradara '22 Menit' Sempat Khawatir Angkat Isu Terorisme

pemain dan sutradara film 22 Menit
Sumber :
  • Mohammad Yudha Prasetya/VIVA.co.id

VIVA – Film '22 Menit', garapan rumah produksi Buttonijo dan Bank Rakyat Indonesia, segera tayang di bioskop-bioskop Tanah Air mulai 19 Juli 2018 besok.

Ditemui saat konfrensi pers sebelum acara Gala Premiere, Eugene Panji, sang sutradara mengaku awalnya sangat khawatir mengangkat isu sesensitif terorisme ini ke dalam cerita sebuah film layar lebar.

"Kalau soal film, secara kreatif kita memang sangat berhati-hati dan sensitif. Karena, kita tahu bahwa ada pihak yang tidak suka kita mengekspos soal terorisme ini," kata Eugene, saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 16 Juli 2018.

Meski demikian, hal yang membuatnya yakin untuk kemudian mengangkat tema film berdasarkan kejadian nyata ini, adalah karena ada sisi humanisme yang tidak boleh disingkirkan di dalam kejadian tersebut.

"Akhirnya kita bicara soal humanisme, di mana kalau soal terorisme korbannya itu, ya kita-kita lagi. Dari situ, kita bikin lima sudut pandang tentang situasi kejadian di tanggal 14 Januari 2016 itu," ujarnya.

Saat ditanya apa saja kesulitan yang dihadapinya saat menggarap film '22 Menit' ini, Eugene menjelaskan bahwa rekonstruksi sekitar 70 persen adegan film dari kejadian nyata, membuat pihaknya tak bisa berkreasi banyak dalam hal latar tempat kejadian perkara.

"Kita merekonstruksi kejadian nyata saat itu. Jadi, kita enggak bisa memindahkan lokasi syuting. Kami meminta maaf, karena membuat kemacetan Jakarta saat proses syutingnya. Jadi, kalau sempat dimaki-maki orang, ya itu nasib ya," kata Eugene.

Selain itu, aspek penokohan yang harus bisa mewakili dan menggambarkan sejumlah kondisi nyata di lapangan, merupakan tantangan tersendiri bagi Eugene dan tim produksi yang dipimpinnya.

Sebab, meskipun mengaku bahwa ada aspek fiksi di dalam film ini yang sengaja ditambahkan untuk mendramatisir keadaan, namun tanggung jawab mereka dalam menampilkan kondisi nyata itu memang tak boleh main-main.

"Kedua adalah peran-perannya ini kita kan harus merepresentasikan orang-orang yang ada saat itu. Tetapi, karena disebutkan di awal bahwa film ini adalah fiksi yang terinspirasi kejadinya nyata, maka kata fiksinya itu bisa membantu kami untuk membuat cerita ini menjadi lebih dramatis," ujarnya.