Kisah Atlet Peraih Medali Emas: Lahir Tanpa Jempol dan Satu Ginjal

- Oksana Master
Sumber :
  • bbc

Berdiri di podium yang berada tak jauh dari Laut Hitam di wilayah Rusia, Oksana Masters merasakan kebanggaan besar saat lagu kebangsaannya diputar.

Itu bukanlah medali pertamanya di Paralimpiade, sebuah ajang olahraga terbesar untuk para atlet penyandang disabilitas, tapi momen itu terasa begitu spesial baginya.

Kala itu Oksana menjadi juara dua dalam ajang ski lintas alam di Paralimpiade tahun 2014 yang digelar di Sochi, Rusia.

Pada seremoni penyerahan medali, bendera Ukraina, negara tetangga Rusia yang dulu merupakan bagian dari Uni Soviet, dikibarkan untuk pemenang lomba: Lyudmila Pavlenko.

Oksana lahir di Ukraina tahun 1989 atau tiga tahun setelah tragedi nuklir Chernobyl. Ia lahir dengan kondisi cacat parah karena paparan radiasi nuklir.

Dalam Paralimpiade tahun 2014 tersebut, Oksana berlomba membawa bendera Amerika Serikat. Di negara itulah Masters tumbuh dewasa sebagai anak angkat seorang ibu tunggal.

Kembali ke wilayah yang begitu dekat dengan tempat kelahirannya membuat Oksana begitu termotivasi untuk tampil maksimal di Paralimpiade 2014.

"Rasanya seperti kembali ke titik awal. Ini bukan tentang medali yang saya raih, tapi momen yang pernah aku lalui seperti datang lagi," kata Oksana.

Kisah ini adalah bagian lain dari kehidupan luar biasa yang diceritakan Oksana kepada BBC World Service. Kisah itu dimulai di sebuah panti asuhan yang menjadi rumah Oksana hingga ia berusia tujuh tahun.

Aku punya kenangan indah dan buruk. Aku mengingat kebun bunga matahari.

Aku awalnya tidak tahu bahwa itu adalah sebuah kebun bunga karena saat itu aku masih sangat belia. Namun aku ingat, kebun itu begitu luas.

Ada juga pohon buah plum di sekitar tempat tinggalku. Karena tidak memiliki cukup makanan, kami mencuri buah dari pohon itu. Kami juga mengambil biji-biji bunga matahari.

Sekarang, kapanpun aku melihat bunga matahari, aku mengingat peristiwa yang indah. Semua yang Anda baca tentang anak-anak yatim piatu di Eropa Timur tepat. Aku ingat betul rasa sakit perut akibat merasa lapar setiap saat.

Tepat setelah dilahirkan, aku dijadikan anak adopsi. Aku terlahir dengan enam jari. Aku tak memiliki tulang kaki penahan berat. Lututku mengambang, tanpa penopang apapun.

Tanganku juga berselaput. Aku memiliki lima jari tangan, tapi tanpa jempol. Aku tidak mempunyai otot bisep.

Aku tidak memiliki organ tubuh yang lengkap. Aku hanya mempunyai satu ginjal. Aku tak punya email gigi.

Ketika aku datang dan tumbuh dewasa di Amerika Serikat, aku baru tahu bahwa satu-satunya yang mampu mengelupas email gigi sebelum kelahiran bayi hanya radiasi.

Banyak orang mengaitkan kondisi fisikku dengan Tragedi Chernobyl karena aku lahir tidak jauh dari kota itu. Ada juga fakta bahwa tingkat radiasi nuklir terus meningkat dari tahun ke tahun setelah ledakan tahun 1986.

Terdapat sebuah pembangkit listrik di kampung para anak-anak yatim piatu yang secara rutin dimatikan.

Kapanpun radiasi meninggi, muncul seorang polisi yang akan berkeliling dengan mobilnya. Dia meminta kami menutup pintu dan jendela. Kami tidak diizinkan keluar.

Aku baru saja selesai menonton serial televisi Chernobyl. Aku tahu, aku adalah bagian dari peristiwa aktual itu.

Aku tahu yang terjadi di balik layar untuk menutupi besarnya cakupan tragedi saat itu. Sangat menyedihkan, kejadian itu merenggut banyak korban jiwa dan tempat tinggal begitu banyak orang.

Tak ada yang tersisa di secuil wilayah yang kini berada di Ukraina itu.

Aku tidak mau berkata bahwa aku adalah korban dari peristiwa tersebut. Setelah hal-hal mengerikan yang terjadi, yang harus kulakukan adalah melihat potensi dan peluang diri, misalnya menjadi atlet.

Itu lebih baik ketimbang meratapi diri.

Saat aku berumur lima tahun, aku dipanggil ke ruang pimpinan panti asuhan. Pengurus panti itu berkata, "Ada satu foto yang ingin kami tunjukkan kepadamu. Dia akan menjadi ibu barumu."

Ketika aku melihat wajahnya, aku melihat senyum dan pandangan yang begitu hangat.

Perempuan dalam foto itu belum pernah bertemu denganku. Pilihannya hanya didasarkan pada fotoku.

Setiap hari sebelum dia datang ke panti asuhan, saya selalu bertanya kepada pimpinan panti, "Bisakah aku melihat ibuku?"

Terkadang, jika aku nakal karena aku sebenarnya memang pembuat masalah, pimpinan panti akan menggunakan keinginanku itu untuk menghukumku.

"Kamu tidak bisa melihat fotonya hari ini. Kamu nakal. Itulah alasan dia tidak datang, karena kamu tidak mau mendengarkan kami," ujar mereka.

Karena proses adopsi itu berlangsung dua tahun, aku perlahan mulai mempercayai perkataan tersebut. Foto calon ibuku itu membuat aku terus berharap.

Dia memperjuangkanku selama dua tahun. Saat akhirnya dia datang, dia melihat bagaimana aku hidup. Ketika dia berjalan ke dalam lorong panti, orang-orang tengah membersihkan es di atas lantai. Kala itu mesin pemanas ruangan membeku.

Ibu adopsi Oksana adalah seorang profesor di University of Buffalo, New York. Dia yakin bahwa kaki kiri putrinya semestinya diamputasi. Oksana menjalani operasi itu pada usia sembilan tahun, tak lama setelah pindah ke AS.

Tahun 2001, Oksana pindah ke Kentucky saat ibunya mulai bekerja di kampus setempat, yaitu University of Louisville. Setahun setelahnya, giliran kaki kanan Oksana yang diamputasi.

Aku tidak tahu bahwa aku berbeda dengan orang-orang pada umumnya sebelum aku pindah ke AS. Setelahnya, aku menyadari semua telah aku lalui bukanlah peristiwa yang biasa.

Aku didiagnosa sebagai manusia yang `gagal berkembang` dan berpotensi besar untuk meninggal. Saat aku berumur delapan tahun, tinggiku hanya 86 sentimeter dan berbobot 16 kilogram.

Kondisi itu setara balita sehat berusia tiga tahun di AS! Aku harus mengenakan pakaian balita selama beberapa tahun.

Setelah aku dewasa, aku bisa bercerita tentang apa yang telah dilalui ibuku. Aku sangat menghargai perjuangannya yang begitu keras.

Nyaris mustahil seorang orang tua tunggal mengadopsi anak. Dia harus melalui serangkaian tes penyakit jiwa. Orang-orang bertanya kepadanya, "Mengapa Anda melajang? Mengapa Anda seperti itu? Di mana suami Anda?"

Aku tidak menyadari perjuangan yang dilaluinya untuk mengadopsiku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia menghadapi proses itu, sampai akhirnya dia datang dan berjumpa denganku untuk pertama kalinya.

Semua itu menunjukkan kekuatan dan hatinya yang tulus. Setiap orang tua yang mengadopsi anak merupakan orang-orang terpilih. Namun ibuku melakukan itu dengan cara yang jauh lebih hebat.

Ibu tahu kaki kiriku harus diamputasi karena 17 sentimeter lebih pendek ketimbang kaki kanan. Saat itu usiaku sembilan tahun.

Keputusan itu sangat berat, tapi yang kuhadapi empat tahun berikutnya benar-benar tak terbayangkan, ketika dokter bilang mereka juga tak mampu menyelamatkan kaki kananku.

Aku tidak siap karena aku baru saja mengamputasi kaki kiri. Saat itu aku sadar bagaimana segala hal menjadi sangat terbagas bagiku.

Namun karena tak dapat membendung rasa sakit pada kaki kananku, aku akhirnya berkata, "Baiklah, aku siap. Tapi ada satu syarat, aku ingin mempertahankan lututku."

Banyak orang tidak menyadari bahwa orang-orang yang menjalani amputasi kaki tidaklah sama. Kaki terdiri dari dua ruas: lutut dan pergelangan. Aku tidak mau kehilangan empat ruas.

Tim medis menyebut permintaanku bisa mereka turuti. Namun sebelum aku naik ke meja operasi, mereka berkata bahwa kakiku akan diamputasi hingga di atas lutut.

Aku sangat tenang dan tak mengetahui yang terjadi. Meski begitu, aku tidak pernah lupa perasaan terbangun di rumah sakit kala itu.

Aku berusaha bangun tapi kakiku tidak bisa menopang sehingga aku jatuh ke belakang. Rasanya sangat beras. Jujur, aku masih frustrasi dan marah.

Pada akhirnya, proses itu dilakukan untuk mencegah operasi-operasi berikutnya. Namun aneh karena aku tak punya kesempatan mengucap `selamat tinggal` pada kakiku. Aku tidak tahu bahwa aku akan kehilangan semuanya.

Oksana juga menjalani sejumlah operasi untuk dua tangannya. Pada tahun 2002 dia mulai menggeluti olahraga dayung. Dia memenangkan medali perunggu olahraga itu pada Paralympic tahun 2012.

Oksana mendapat medali pertamanya itu saat berpasangan dengan Rob Jones. Pada Paralympic di Sochi, Rusia, tahun 2014, Oksana beralih ke cabang ski lintas alam.

Orang pertama yang memberitahuku ajang Paralimpiade dan perlombaan internasional adalah Randy Mills. Dia menjabat direktur program di klub dayung di Louisville.

Aku sangat kompetitif. Aku benci kekalahan dan dia melihat itu dalam diriku. Yang aku butuhkan adalah panduan kebugaran untuk mencapai level yang lebih tinggi.

Aku melihat Paralimpiade tahun 2008 dan aku berkata, "Ya ampun, ini sangat keren." Aku tidak punya bayangan visual tentang seseorang sepertiku, yang kehilangan dua kaki, tapi berlomba untuk Amerika di level tertinggi.

Baru pada ajang di London tahun 2012 aku sadar dan berkata, "Aku ada untuk bertarung dalam perlombaan ini." Sejak saat itu aku mendedikasikan segalanya untuk meraih yang terbaik.

Sebelum Paralympic tahun 2012, Oksana tampil tanpa busana sebagai salah satu model dalam publikasi ESPN bertajuk "T ubuh " .

Aku kerap bergulat terkait kepercayaan diriku sebagai rempaja perempuan. Adalah akhir dunia jika dalam suatu hari rambutmu tak terlihat indah atau ada jerawat di wajahmu dalam foto angkatan.

Itu belum termasuk kondisi jika kamu mempunyai kaki dan tangan palsu yang sulit disembunyikan.

Semua orang lantas menempelkan stigma terhadapmu, walau kamu sebenarnya tidak merasa sebagai seorang difabel. Itu adalah beban yang diletakkan di pundakmu.

Aku tidak mau generasi remaja perempuan berikutnya tumbuh dewasa tanpa sosok yang menginsipirasi atau dapat mereka contoh.

Setiap anak menempelkan poster Michael Jordan di dinding mereka. Namun ada pandangan aneh jika poster yang mereka pajang adalah korban kecelakaan atau penyandang disabilitas?

Aku tidak mau berkata itu bukanlah sebuah kondisi yang tidak normal atau disabilitas. Itu hanyalah terminologi yang diberikan masyarakat kepada orang-orang yang terlihat berbeda.

Aku yakin bahwa melihat adalah bagian dari proses meyakini sesuatu. Semakin sering kamu melihat atlet paralimpiade, segalanya akan dianggap normal, termasuk oleh orang-orang yang belum pernah menyaksikan ajang olahraga itu.

Aku gembira melihat proses yang kini mengarah ke sana.

Oksana meraih medali perak dan perunggu di Paralimpiade 2014 dalam cabang ski lintas alam. Pada Paralimpiade 2018, dia memenangkan medali emas pertamanya. Kala itu d ia berpasangan dengan atlet Aaron Pike dan menjadi peserta yang empat kali berlomba di ajang tersebut.

Kini Oksana beralih ke cabang sepeda untuk Paralimpiade tahun 2020 yang akan diselenggarakan di Tokyo, Jepang. Hanya pada Paralimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, ia gagal meraih medali.

Aaron adalah orang yang sangat sabar. Aku tidak tahu bagaimana seseorang dapat menghadapi pribadiku yang kacau.

Kami mulai belajar ski dan menghabiskan musim dingin bersama. Tujuannya agar kami bisa saling menggenjot kemampuan.

Dia mendahuluiku di trek menurun. Aku lalu berkata, "Sampai jumpa lagi," karena aku lebih cepat saat menanjak. Kami tidak dapat menghentikan kompetisi itu. Jika kami bermain Monopoly dan kami menang, itu bukan pengalaman yang baik bagimu!

Namun berteman dengan seseorang seperti Aaron sangat bermanfaat pada masa-masa latihan, terutama pada saat kamu memiliki sejuta alasan untuk melewatkan sesi.

Aku melihat bahwa dia adalah teman dan anggota tim yang hebat. Namun dia bukan kekasih yang baik. Dia memiliki daya yang sama yang diinginkan orang lain untuk mencapai prestasi. Dan dia membagikannya dengan orang lain.

Di Tokyo, tujuan utama kami adalah memenangkan nomor balapan dan waktu tercepat. Tahun 2016 di Rio, aku tak punya banyak waktu persiapan karena menghabiskan musim ski di Skandinavia, lalu beralih cabang dalam beberapa bulan.

Jelas, aku punya urusan yang belum selesai untuk tampil di Tokyo.