Kisah Penjual Cilok dan Rumahnya yang Nyaris Hancur

Siti sang penjual cilok di rumah tuanya.
Sumber :

VIVA – Jalanan setapak itu tidak lebih dari satu meter. Menjadi awal saat menuju rumah tua di gang sempit Sukamanah VI, RT 03 RW 13, Kelurahan Sukapura, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung.
 
Rumah itu terlihat kumuh. Dengan kayu rapuh dan atap berlubang yang menjadikan tempat singgah itu seperti gudang. Bau tidak sedap terasa saat masuk ke dalam rumah. Hal ini karena sudah ditinggalkan penghuninya sejak lima bulan lalu.
 
Rumah itu milik Siti Belani dan Andri Rismanwansyah. Tidak adanya biaya untuk renovasi mengakibatkan rumah itu hancur dengan sendirinya. Rumah tersebut merupakan warisan kedua orang tuanya. Sebenarnya, rumah yang kini sudah hancur itu, sebelumnya telah di sekat dua untuk dibagi dengan sang adik.
 
Kini, Siti Belani dan Andri Rismawansyah serta keempat anaknya yang duduk di bangku SMK, SMP, SD, serta sang bungsu yang baru berusia dua tahun, hidup bersama di ruangan sempit dengan ukuran tiga kali tiga meter. Ruangan itu milik bibinya, yang dipinjam untuk tinggal sejak rumah Siti hancur termakan waktu.  
 
Apalagi sejak suami Siti, Andri, jatuh sakit sejak tiga bulan yang lalu, menambah keluh dalam diri Siti. Sejak sang suami jatuh sakit, Siti harus banting tulang untuk menafkahi keempat anaknya. Dijualnya cilok buatan sendiri yang dibawa setiap pagi oleh anaknya ke sekolah. Semangat inilah yang terus diperlihatkan Siti untuk tetap bertahan hidup.
 
Sehari-hari Siti hanya di rumah merawat sang suami yang tidak bisa lagi bekerja. Untuk mencuci dan mandi pun, Siti dan keluarganya harus menumpang di rumah saudaranya. Keterbatasan pendidikan dan ekonomi menyebabkan Siti hidup di bawah garis kemiskinan.
 
Namun di balik itu, semangat Siti dan keempat anaknya tidak surut. Sejak pagi anaknya menenteng wadah cilok untuk dijajakkan di sekolah. Mereka melewati jalanan setapak di gang sempit Sukamanah. Langkah kaki itu mulai letih berjalan menuju sekolah yang terbilang cukup jauh dari rumah.
 
Penghasilan yang tidak menentu dari hasil cilok, membuat Siti harus memutar otak untuk membagi. "Ya, pengennya mah di rumah sendiri. Tapi tidak ada biaya buat renovasi," ungkapnya.
 
Cilok menjadi satu-satunya penghasilan utama Siti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanpa lelah, Siti selalu membuat cilok itu setiap sore. Terkadang haru saat melihat letihnya anak Siti pulang dengan membawa sisa cilok yang tidak laku.  
 
Keterbatasan pendidikan menjadi permasalahan Siti tidak bisa bekerja. Kini dia harus membiayai keempat orang anaknya dan sang suami yang masih sakit lewat cilok yang dijajakkan di sekolah. (Tulisan ini dikirim oleh Calam Rahmat)