Bapakku, Sang Penjual Mie yang Aku Banggakan (Bagian II)
VIVA.co.id - Bapak memperhatikan cara tetangganya memasak mie dan nasi goreng. Di sela-sela waktu berjualan, tetangganya itu sedikit-sedikit mengajari tips-tips memasak mie dan nasi goreng. Kurang lebih dua bulan bapak ikut tetangganya berjualan mie.
Kemudian bapak pindah rumah ke kakak perempuannya, Mbok De Karto, di Kerten Solo. Di sini bapak memberanikan diri untuk berjualan mie keliling sendiri. Dengan uang celengan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, bapak membuat angkringan sendiri, beli perlengkapan sendiri, dan belanja sendiri. Bapak mulai berjualan keliling kampung Kerten, Purwosari, dan Manahan.
Kehidupan bapak masih belum banyak berubah. Kehidupan keras sepanjang malam di jalaninya dari kampung ke kampung. Kemudian bapak mencoba keberuntungan di kota lain. Bapak pindah berjualan mie ke Kota Sragen.
Di kota ini, bapak berjualan tidak lama, hanya beberapa bulan saja. Bapak merantau lagi ke tempat yang lebih jauh dengan membawa angkringannya dan tas koper kecil tempat pakaian. Bapak pergi mengadu nasib ke Muntilan, Magelang. Tidak ada sanak saudara di kota kecil ini. Ketika malam tiba, bapak keliling berjualan mie di sepanjang pertokoan Muntilan.
Banyak orang Cina pemilik toko yang menjadi pelanggannya. Ada seorang pelanggan yang memberikan 'resep rahasia' untuk membuat masakan mie dan nasi goreng menjadi lebih enak. Awalnya, bapak tidak terlalu tertarik mencobanya. Namun, karena penasaran bapak mencoba 'bumbu resep' itu, ternyata tambahan bumbu itu membuat masakan mie-nya menjadi lebih enak.
Muntilan hanyalah kota kecil. Meskipun masakannya lebih enak, tetapi penjualannya tidak banyak meningkat. Akhirnya, dengan sisa uang yang ada bapak pergi ke kota Magelang yang lebih ramai.
Masih segar dalam ingatan saya, ketika bapak menceritakan kisahnya sampai di Kota Magelang. Bapak turun dari angkot di jalan tentara pelajar, tepatnya di dekat Bank BRI. Dulu jalan ini adalah jalan utama Jogja-Semarang. Sisa uang di sakunya tinggal 50 perak, tidak cukup untuk modal berjualan.
Kemudian bapak pergi ke pasar dan mencari bahan-bahan dagangan dengan cara hutang. Bayarnya besok hari setelah mendapat uang. Ada beberapa pedagang pasar yang mau memberinya hutang bahan. Dengan modal belanjaan hutang itulah Bapak berjualan mie pertama kali di Kota Magelang.
Tas koper kecilnya diselipkan di bawah angkringan, dan kadang-kadang dijadikan alas duduk. Malam itu bapak tidur di emperan toko, karena belum punya tempat tinggal.
Beberapa hari kemudian bapak punya sedikit uang tambahan. Kemudian bapak mencari tempat untuk di sewa. Bapak mendapat tempat kecil, 'slompetan' bekas kandang ayam di rumahnya Mbah Ali Jambon. Di ruang sempit ini pertama kali bapak tinggal.
Setiap malam bapak memikul angkringan berjualan mie dan nasi goreng dari kampung ke kampong, berjalan menyusuri pertokoan pecinan Magelang. Seiring berjalannya waktu pelanggannya semakin banyak. Bapak membuat tempat berjualan yang lebih baik, yaitu gerobak. Kalau sebelumnya dipikul sekarang didorong.