Zahra, Istriku

Zahra
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id - Aku memulai dengan beberapa kata, mulut sedikit bergetar, kata yang merubah hubungan "kita" menjadi halal, kata yang memberikan "kita" hak untuk bersentuhan. Kata itu kurangkai menjadi kalimat, "Saya terima nikahnya, Siti Zahra, dengan mas kawin tersebut tunai." Semua orang yang ada di sekelilingku serentak mengucap, "Sah!".

Hari yang tak pernah aku lupa, kamu orang yang dulu selalu berjarak 1 meter dari tempatku berdiri memandangmu, kini bersanding, saling menatap dan menggenggam tangan mesra. Tanganmu erat di tanganku, sesekali kamu berdiri menerima tamu, menariku juga untuk berdiri dan menyalami para tamu yang naik ke atas pelaminan kita. Mata ini sedikit tidak percaya dengan pemandangan yang kulihat sekarang. Betapa indahnya, bahkan tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

"Bagaimana nanti?" bisikku pelan di telingamu, kamu hanya tersenyum dan sedikit mencubit pipiku. Kemudian kamu membalas membisikiku, "Kita tahu harus bagaimana". Kamu terus tersenyum menatapku, membelai pipiku lembut, dan kembali memandangi para tamu yang sedang sibuk berlalu lalang di hidangan pernikahan kita.

Semua sudah selesai, para tamu sudah pulang. Kini tinggal kita berdua di dalam kamar, entah apakah ini bisa dikatakan kamar pengantin atau tidak, karena tak ada hiasan sama sekali, hanya kamar. Itu pun hanya ada kasur di lantai dan gantungan baju-baju yang menjadi pelengkap. "Mas, aku bahkan belum tahu nama lengkapmu." Zahra tiba-tiba mengucapkan itu, "Lalu bagaimana kamu mau menikah denganku?" aku balik bertanya. "Nama bukanlah penghalang untuk menikah mas," aku terdiam. "Aku hanya ingin tahu nama lengkapmu saja," lanjut Zahra.

"Orangtuamu atau orangtuaku tidak memberitahukanmu?" Zahra tersenyum. "Bagaimana mereka mau memberitahu, sedangkan jarak pernikahan kita dengan proses taaruf saja hanya 3 hari," Zahra terkekeh dan berbisik di telingaku, "Sebutkan nama panjangmu mas, dan malam ini untukmu sampai subuh menjelang".

Malam pertama, yang dibahas nama panjang. Aku tersenyum, membelai rambut Zahra, dan membisikannya, "aku mencintaimu". Zahra langsung menarik kupingku kuat, dan beranjak dari pelukanku lalu memalingkan wajahnya. "Begitu susahnya kah mas?" suaranya agak sedikit terlihat seperti menangis.

"Zahra, bukankah nama bukanlah penghalang untuk menikah?" Zahra menutup telinganya. Aku tersenyum, menarik tangannya dan meletakanya di dadaku, "Nama panjangku, Mahmud Zaelani Abdul Qohar," mata Zahra yang sedari tadi ditundukannya ternyata mengeluarkan air mata yang turun deras. "Nama yang indah mas," mata Zahra masih terlihat dengan kesedihannya. Aku mencoba mengusapnya, namun tangan Zahra mencegah tanganku, "Biarkan saja mas, aku bahagia." Zahra memelukku. "Kamu tahu mas, namamu itu mengingatkan tentang abangku, namamu persis sekali denganya. Raut mukamu pun sama seperti dia, gaya bahasamu, dan semuanya." Zahra masih terus memelukku.

"Abang?" tanyaku. Pertanyaanku itu membuat Zahra melepaskan pelukannya, "Bukankah Zahra tidak punya abang, Zahra anak satu-satunya kan?" Zahra meletakan tangannya di pundakku, kedua tanganya. "Itu orang lain yang sudah kuanggap abangku sendiri mas." Zahra memelukku lagi. "Dan kamu adalah orang yang sangat mirip denganya." lanjut Zahra. "Bagaimana kabarnya?" tanyaku. Zahra tak menjawabnya, tubuhnya terasa seperti lemas, Zahra lelap memeluku, tertidur.

Aku merebahkanya dan memberikan kecupan di kening, mukanya terlihat kelelahan setelah seharian di atas pelaminan. Tubuhku pun kelelahan, malam pertama ini sangat indah, walau masih ada pertanyaan, siapa orang yang pernah ada di hati istriku itu.