Musuh Terbesar Negeri Ini: Kemiskinan dan Kebodohan

Ilustrasi/Pengemis
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id - Dalam tatanan politik demokrasi, pemimpin bukan saja dipilih oleh rakyat, namun juga memiliki tanggungjawab untuk mendengar dan berunding dengan rakyatnya. Melibatkan mereka (rakyat) dalam kebijakan yang hendak dibuat yang menyangkut hajat hidup dan kepentingan dari masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai kepala pemerintahan, baik presiden, gubernur, bupati, dan walikota, tidak bisa memimpin hanya dengan mendengarkan apa yang menurut pikiran baik dan rasional. Tapi juga seharusnya mendengar apa yang juga dipikirkan dan dirasakan oleh masyarakat miskin.

Seperti yang diungkapkan oleh pendiri republik ini, Ir Soekarno, dalam torehan tinta emasnya bahwa "Tuhan bersemayam di gubuknya orang-orang miskin". Karena prinsip demokrasi dalam pengambilan kebijakan itu terdapat hak-hak setiap warga negara untuk terlibat dan didengarkan pendapat dan sarannya di dalam setiap kebijakan yang akan diputuskannya.

Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana para pendiri negeri ini telah merumuskannya sejak Bangsa Indonesia merdeka dari jajahan para kolonialisme.

UUD 1945 adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 telah di amandemen kurang lebih empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang-Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga negara.

Lihat UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yang berbunyi, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara". Makna yang tersurat dalam pasal tersebut bahwa negara dalam hal ini pemerintah terutama para kepala pemerintahan memiliki peranan penting dalam menjaga, melindungi, dan memberdayakan masyarakatnya (fakir miskin dan anak-anak yang terlantar) untuk berkehidupan yang lebih layak dan sejahtera, sesuai cita-cita perjuangan para pendiri bangsa tercinta kita, Republik Indonesia.

Fakir miskin yang dimaksud di sini dapat digambarkan melalui pengemis, gelandangan, pengamen. Faktanya, hingga kini masih banyak kita temui para pengemis, gelandangan, dan pengamen yang kerap kali menghiasi setiap sudut kota, seperti di tepian lampu jalan, di emperan pertokoan, di angkutan umum, dan bahkan di tempat beribadah sekalipun seperti di masjid-masjid raya/agung yang ramai dikunjungi masyarakat.

Mereka mengais rezeki dengan cara mengharapkan belas kasihan orang lain yang sekiranya iba dan ingin memberi uang kepada mereka. Alangkah ironis melihat kondisi mereka yang terus melonjak populasinya di setap tahun dan bahkan ada yang menjadikan mereka (pengemis dan pengamen jalanan) sebagai lahan bisnis pihak-pihak yang tak bertanggungjawab.

Jelas, hal ini harus menjadi tamparan pemerintah yang (katanya) serius dalam pengentasan kemiskinan dan kebodohan terhadap masyarakat. Tapi sayangnya kalimat tersebut hanyalah gincu (hiasan/pemanis) para pemimpin di negeri ini. Karena nyatanya para pemimpin kita saat ini sering dalam kebijakannya lebih mengedepankan kepentingan sekelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini masyarakat pemodal (pengusaha).

Sebagai contoh di Kota Depok, Jawa Barat, dimana keberadaan para pengemis, gelandangan dan pengamen sering kali mendapat perlakuan kasar dan bahkan tidak manusiawi dari petugas Satpol PP ketika melakukan penertiban terhadap mereka yang dianggap seperti sampah jalanan yang mengotori wajah kota. Bahkan sering kali mereka dipukul petugas jika menolak di angkut dan di bawa ke dinas sosial untuk dilakukan rehabilitas dan pembinaan.

Tapi sayangnya pembinaan yang dilakukan pemerintah Kota Depok belum secara maksimal dikerjakan dengan baik dan bahkan terkesan argumentasi petugas ketika menertibkan gelandangan, pengemis dan pengamen hingga para pedagang kaki lima (asongan dan kelontongan) dengan alasan karena mereka dianggap melanggar peraturan pemerintah tentang ketertiban umum guna untuk menekan angka tindak kriminalitas dan kejahatan di jalanan. Padahal mereka itu hanya mencari sedikit rezeki dari orang lain yang merasa iba/kasihan terhadap mereka tanpa sama sekali melakukan tindakan kriminal ataupun kejahatan kepada orang lain.

Selain itu, sering kali setiap mereka ketangkap petugas Satpol PP untuk dilakukan pembinaan di dinas sosial, setelah dikarantina mereka akan balik kembali menjadi gelandangan, pengemis, dan pengamen di jalanan. Karena faktanya, setelah mereka keluar dari pembinaan yang dilakukan dinas sosial tersebut tidak lantas mengubah kehidupan mereka (pengemis, gelandangan dan pengemen) lebih baik dan layak sebab pembinaan yang dilakukan terhadap mereka itu hanyalah sebatas bimbingan dan arahan saja, tanpa dibekali dengan keahlian tertentu sesuai potensi diri yang dimiliki mereka.

Seharusnya pembinaan yang dilakukan dinas sosial itu tidak dapat menjembatani mereka kepada suatu profesi pekerjaan tertentu sesuai kemampuan yang dimiliki mereka. Seperti penyediaan lapangan kerja, keterbukaan akses informasi lowongan kerja, atau dengan pemberian permodalan usaha mandiri yang diberikan kepada mereka untuk menjalankan dan mengembangkannya dengan tetap di bawah monitoring oleh dinas terkait.

Namun yang lebih ironis dan mirisnya adalah, anak-anak yang di terlantarkan dan di ekploitasi oleh kedua orang tuanya untuk menghasilkan uang dengan cara mengemis. Bayangkan, anak-anak seusia mereka itu seharusnya dibesarkan dengan pendidikan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, tapi mereka dibesarkan dengan penuh tekanan dari kedua orang tua untuk menghasilkan uang di jalanan. Bahkan tak jarang mereka menerima siksaan dari kedua orang tuanya jika menolak atau tak menghasilkan uang dari hasil mengemis, seperti memukul dan bahkan sampai tidak memberinya makan.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa, "Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemeritah, dan negaraā€¯.

Dari undang-undang tersebut seharusnya pemerintah dapat berperan aktif dalam pencegahan dan penanggulangan anak-anak terlantar tersebut. Pertama, mulai dari ketegasan penindakan hukum terhadap kedua orang tua yang telah menelantarkan dan mengekploitasi anak-anaknya. Kedua, memberikan kepastian jaminan dan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang di terlantarkan dan di ekploitasi oleh kedua orang tuanya. Ketiga, memberikan perhatian khusus terhadap anak-anak terlantar tersebut dengan menyediakan sarana dan pra sarana pendidikan dan bermain mereka. Keempat, memberikan penghidupan yang layak terhadap anak-anak terlantar tersebut sehingga mereka besar sesuai dengan usianya.

Lemahnya peran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan kebodohan bagi masyarakatnya, itulah yang mengakibatkan pertumbuhan pengemis, gelandangan dan pengamen serta anak-anak jalanan lainnya terus bertambah angka di setiap tahun. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal inilah yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah bukan hanya sekedar kiasan saja. (Tulisan ini dikirim oleh Nurdiansyah, Depok)