Sepenggal Kisah Bertahan Hidup di antara Kemelut Kehidupan

Aku, yang masih berjuang untuk bisa kembali sehat.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Bukan tentang siapa-siapa, aku bercerita tentang kehidupan pribadi. Ini tentang pengalaman hidup, tentang bagaimana caranya bertahan hidup di kehidupan sebenarnya dengan keadaan yang paling sulit sekalipun. Aku ingin bercerita, ingin berbagi, bagaimana aku bisa tetap berdiri di antara kemelut kehidupan, di antara sulitnya keadaan.

Namaku Kalin, umurku 25 tahun. Aku bekerja di sebuah pergudangan sebagai administrasi mengurusi keluar masuk barang, mengurusi surat jalan, faktur, dan stok barang. Entahlah apa julukannya yang pantas buat aku, hampir semua pekerjaan, aku yang pegang. Setiap hari berulang-ulang dan membuat hidupku terperangkap di antara gedung yang menjulang tinggi itu. Memperkaya orang dengan keahlianku dan dengan gaji yang hanya 2,7 juta setiap bulannya, aku masih bisa makan dan tidur layaknya manusia biasa seutuhnya.

Jarak antara rumah kontrakan dan gudang itu hampir 30 menit perjalanan, tapi itu aku lakukan setiap hari dengan berjalan kaki. Bukan tidak mampu membayar angkot, hanya saja jalur yang menuju tempat kerjaku tidak ada angkot. Mungkin ini adalah salah satu cara olah raga yang paling tidak disadari olehku. Tapi menurutku ini adalah penyiksaan yang luar biasa setiap hari. Bukan apa-apa, seusiaku harusnya aku sudah menjadi seorang yang mapan dan berkarakteristik atau apalah namanya.

Aku sebenarnya orang yang penyakitan, tepatnya penyakitku itu kelenjar getah bening. Aku divonis 9 bulan yang lalu ketika dengan malas-malasan memeriksakan keadaanku ke sebuah rumah sakit yang menerima BPJS. Aku layaknya orang normal dan seperti tidak merasakan sakit apapun, hanya saja bagian leher sebelah kananku ada benjolan. Dan itu sudah pernah disedot yang isinya cairan berwarna cokelat seperti teh botol. Obat yang jumlahnya tidak sedikit, sekali minum sampai 12 tablet aku telan setiap hari.

Setelah itu, barulah aku merasa seperti orang bego, seperti orang sakit, merasa mabok, dan kerjanya hanya tidur. Pekerjaanku tidak stabil dan sering kena tegur accounting-ku. Bagaimana tidak kena tegur setiap hari, apa yang disuruh 10 menit lalu tapi setengah jam kemudian aku lupa dengan apa yang diperintahnya. Obat itu benar-benar membuatku hilang ingatan dan semakin bodoh. Tidak jarang pesanan barang orang pun aku lupa namanya. Benar-benar mujarab obatnya, apalagi buat menghilangkan nama mantan pacar sepertinya akan berhasil apabila mengkonsumsi obat-obatanku.

Suatu hari aku konsultasi ke dokter dan mengeluhkan dosis dan resepnya. “Dok, badanku kan sudah besar, antibodiku kuat karena tidak mempengaruhi keadaan tubuhku. Harusnya kan aku jadi kurus karena penyakit ini, paru-paruku bagus, enggak usahlah dokter kasih aku obat antibodi dan vitamin. Aku sudah gemuk, Dok.” ucapku sambil menatap dokter itu dengan penuh harap dan berharap dapat mengurangi jenis obatnya.

“Suka nyangkut di tenggorokan Dok, kebanyakan nelannya soalnya kalau satu-satu aku bisa kembung kebanyakan minum air” tambahku. Dokternya hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. “Oke, kalau begitu vitamin sama antibodi di stop yah.” Akhirnya dokter cantik itu bersuara. Aku pun mengangguk senang. Akhirnya dosis dikurangi walaupun hanya dua tablet yang dibuang. “Nanti setelah minum obat ini efeknya tulang sakit, mual, dan sakit kepala,” ucap dokter cantik. Hualahhh!!! Sekarang saja aku sudah amnesia setiap hari, bukan tambah sembuh malah tambah parah.

“Loe tuh kalo lupa ditulis dong, gue udah capek ngomongnya!” kali ini accounting-ku ngomel. “Kan gue udah bilang, gue pelupa, gue lupa nulis juga, keburu ada pesenan barang yang laen,” aku mencoba membela diri kali ini. “Sekarang terserah elu deh, gue gak mau ngasih tahu kesalahan elu lagi, gue udah capek ngomongin loe tiap hari, sekarang tergantung bos loe, mau pake loe lagi apa kagak!” Dia melengos kesal, dan aku cuma bisa angkat bahu.

Masa bodoh, dia mau pakai atau tidak aku memang sudah begini keadaanya. Pulang kerja kembali dengan berjalan kaki. Melewati jalanan yang penuh dengan anak-anak kecil bersepeda, tukang dagang, orang-orang hilir mudik, ibu-ibu rumpi pinggir jalan sambil menyuapi anak-anak mereka makan di sore hari. Aku berhenti berjalan, menatap sebuah tempat yang hanya berukuran 3x3 meter, yang ruangannya dipenuhi dengan kaca. Itu adalah tempat pangkas rambut.

Aku membelokan diri ke tempat itu. Si abangnya menatapku heran. Aku hanya tersenyum canggung. “Mau dibotakin bang, kepalaku gatal.” Tanpa pikir lagi aku duduk di kursi tempat potong rambut. Si abangnya tampak bingung dan menanyakan keseriusan aku untuk dibotakin. “Iya bang, mau dibotakin!” aku meyakinkannya lagi sambil membuka kerudungku. Akhirnya aku botak total, licin, dan aneh. Bagaimana tidak aneh, tiba-tiba aku memasuki pangkas rambut dan langsung dibotakin. Gila dan enggak masuk di akal tapi memang kenyataannya seperti ini.

Aku orangnya tidak bisa diprediksi. Kebanyakan teman dan orang terdekatku mengatakan aku orang yang aneh. Orang-orang sekontrakan aku yang isinya dari berbagai daerah melihatku dalam keadaan botak membuat mereka penasaran dan selalu ingin tahu. Aku hanya bisa tertawa dan menjawab, “gatal”. Alan teman kerjaku yang kamarnya bersebelahan denganku memergokiku dalam keadaan gundul. “Eh, loe gila ya? Tiba-tiba dibotakin!” ucapnya sambil melemparkan aku baju kotor yang ada di ember.

Suatu hari ini pasti terjadi, aku akan di kemoterapi kalau penyakitku semakin parah dan karena aku sudah terbiasa botak jadi nanti enggak kaget lagi kalau semua rambut dan bulu-bulu yang ada di tubuh gue rontok, enggak bikin down,” jawabku santai.

Alan malah tidak senang mendengarnya. Dia langsung keluar kamar dan menghilang entah kemana. Aku hanya bisa angkat bahu dan tersenyum geli. Hidup itu penuh cerita dan misteri, tapi aku menikmati alur cerita hidupku. Sangat aku menikmatinya. Walaupun sedikit aneh dan kadang enggak masuk di akal.

Sudah dua hari aku tidak masuk kerja. Bukan karena perkataan accounting-ku yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku, tapi karena kemarin malam aku terjatuh dari tangga. Kakiku bengkak dan membayangkan perjalananku setiap hari ke pergudangan membuat aku malas sekali untuk bangun pagi. Bu, aku sakit. Kakiku bengkak dan tidak bisa jalan. Ibu cari pengganti aku saja, aku resign.”  Pagi ini aku menelepon bosku. Kamu itu lagi sakit kan? Kalau sakit ya istirahat ngapain minta resign, sudah jangan pikirin pekerjaan, istirahat saja.” jawab bos aku sambil menutup teleponnya tanpa memberikan aku kesempatan untuk berkata-kata.

Aku hanya bisa menatap teleponku dan mengerutkan kening, bingung. Bukan semakin sembuh, biru-biru lebam di tubuhku yang hilang silih berganti semakin membuat aku malas bekerja. Aku sudah melupakan obat-obatan yang dipesan dokter untuk diminum tanpa seharipun terlewat. Aku melupakannya dan berusaha hidup normal seperti orang-orang sehat. Aku sehat, yayaya... sehat! tekadku.

Tetapi dengan biru lebam di setiap kaki, paha, lengan, pegal di pundak kananku dan pusing di setiap saat, apa masih layak disebut sehat? Hanya berkutat dengan gadget mencari kebenaran tentang herbal untuk menyembuhkan penyakitku ini tanpa obat rumah sakit. Aku memerintahkan tukang sampah untuk mencarikan aku daun sirsak sebanyak yang bisa dia ambil. Alhasil, dua karung beras dia bawa. Dengan perbandingan 15 helai daun sirsak dan 3 gelas air di rebus sampai hanya tertinggal 1 gelas saja aku terus meminumnya, seperti kewajiban minum air putih.

Bosan! Bosan dan jenuh. Hidup sendiri seperti orang gila dan tidak punya tujuan hidup. Mau mati sendirikah aku di kontrakan kumuh ini, yang setiap saat bisa kebanjiran dan terbakar kepanasan karena atap sengnya di terpa matahari. Aku down, aku kecewa sama diriku, dan aku frustrasi. Putus asa! Mati segan hidup tak mau. Kembali aku menelepon bos aku untuk mengundurkan diri. Entah sudah berapa lama aku tidak masuk kerja, aku pun lupa hari, lupa waktu, kadang lupa makan. Namun, kembali bosku menolak permintaan resign-ku. “Istirahat saja, kita lihat perkembangannya nanti,” ucapnya. Dia bijaksana sekali, aku sampai terharu dan menangis.

Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Menderita sendiri tanpa keluarga mendampingi, tanpa support mereka. Mereka tidak tahu aku sakit, hanya saja kekhawatiran mereka membuat aku sadar kalau mereka adalah segalanya. Mereka tahu aku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja dan aku membutuhkan uluran tangan mereka untuk menguatkan aku. Dengan penuh rasa berat aku mengumpulkan keberanianku untuk mengunjungi orangtuaku, yang tempat tinggalnya sebenarnya hanya berkisar satu jam dari tempatku, tapi mereka tidak tahu kalau keberadaanku sedekat itu.

Memang benar, keluarga adalah segalanya. Mereka tidak marah, hanya menyesalkan keadaanku yang sudah sedemikian sakit parah, tapi tidak memberitahukan mereka. Bukan ingin menyembunyikanya, hanya saja mereka juga mempunyai beban hidup dan aku tidak mau menambah beban mereka. Dan walaupun ujung-ujungnya aku merepotkan mereka juga.

Hidupku memang apa adanya, tapi untuk membuat kepalaku botak entah kenapa menjadi suatu kebiasaan yang unik. Setiap seminggu sekali malah rajin cukuran sendiri, dan orang tuaku hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku mulai kembali menjalani pemeriksaan ulang kesehatanku, yang pastinya dengan didampingi keluargaku tercinta. Dan dengan dukungan keluarga semoga aku bisa kembali sehat. Terima kasih mama, bapak, semuanya. Inilah sepenggal kisahku, nyata dan apa adanya. (Cerita ini dikirim oleh Aryand16)