Always Believe

Ilustrasi
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Enggak ada angin, enggak ada hujan, enggak ada kode apa-apa, tiba-tiba mama saya menelepon. Aneh karena sebenarnya cukup jarang mama menelepon saya, biasanya sih hanya cukup sms saja. Waktu mama menelepon, saya ingat banget saat itu saya sedang di Mediterania. Rencananya saya mau menghabiskan malam itu dengan main basket bersama teman saya yang lain.

"De, lagi di mana?" tanya mama saya dari ujung telepon. Suaranya bergetar kayak lagi memendam suatu masalah. Saya yakin banget saat itu ada yang tidak beres dengan mama. "Ini Ma, lagi mau basket. Aku enggak lagi aneh-aneh kok," jawab saya meyakinkan mama kalau saya memang beneran lagi main basket. "Tadi mama baru pulang dari rumah sakit, habis cek di lab. Mama kena tumor rahim, doain ya, De," kata mama sambil nangis.

Duarrrr, mendengar mama saya kena tumor rahim yang saya rasakan saat itu adalah kiamat lebih cepat datang buat saya. Mendengar kata tumor saja saya sudah merinding, apalagi ini ditambahin tumor rahim. Mood saya buat main basket langsung hilang. Saya kalut, keringat dingin langsung membasahi tubuh saya. Pikiran saya sudah menerawang ke mana-mana. Satu pertanyaan yang ada di otak saya adalah kalau sudah kena tumor kayak gini, apa mama bisa sembuh kayak dulu lagi.

"Bro, loe main duluan aja ya, gue ke foodcourt bentar," kata saya ke teman yang sudah nungguin saya dari tadi. Saya mencoba untuk menenangkan diri di foodcourt. Sungguh sama sekali enggak ada nafsu buat makan dan minum. Di tengah kekalutan yang luar biasa itu, tiba-tiba ponsel saya berbunyi dan ternyata kakak saya yang telepon. Dari nada suaranya saya tahu kalau dia sama paniknya seperti saya. Tapi hebatnya adalah dalam kepanikkan yang luar biasa itu dia sudah dapat info soal rumah sakit dan dokter terbaik untuk operasi tumor.

Sempat ada perdebatan sedikit antara saya dan kakak. Saya ingin mama dioperasi di Jakarta (karena menurut saya lebih meyakinkan), tapi kakak saya ingin mama dioperasi di Bandung dengan alasan biar dekat dengan keluarga dan teman-teman gereja. Akhir dari obrolan singkat antara kakak dan saya di ujung telepon adalah minggu depan mama harus segera operasi karena tumornya sudah terlalu besar, dan soal biaya akan ditanggung oleh kita berdua. Puji Tuhan, saya dan kakak masing-masing sudah punya penghasilan sendiri dan menurut hitung-hitungan kita, cukuplah untuk meng-cover semua biaya yang kelak akan dikeluarkan saat mama dirawat.

Jujur, saya tegang mendengar kata operasi. Sebagai seorang anak, tentu ada kekhawatiran kalau operasi ternyata tidak berjalan dengan mulus. Tetapi menurut dokter yang menangani mama, operasi adalah satu-satunya langkah yang harus dilakukan agar mama saya terbebas dari tumor.

Beberapa hari sebelum operasi, saya ingin menyenangkan hati mama. Saya ajak dia ke Sogo, karena mama saya dari dulu bilang ingin ke sana. Ada sedikit penyesalan di hati saya, kenapa saat mama sakit baru saya ajak ke sini, kenapa enggak dari dulu. Duh, akhirnya saya ngebebasin mama buat beli baju yang dia mau. Perjanjiannya adalah baju itu baru boleh dipake kalau mama sudah benar-benar sembuh.

Mendengar saya ngomong begitu, mama jadi terharu dan memilih satu baju yang menurut dia cocok buat dia pakai. Pulangnya saya ajak mama makan steak di resto kesukaannya. Apapun akan saya lakukan biar mama bisa senang lagi dan enggak tegang ketika dioperasi nanti.