Teruntuk Ayah Tercinta

Aku dan Ayah
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Ayah, aku masih suka menatap langit-langit kamar ketika sepasang pelupuk begitu sulit terpejam. Di sana selalu kutambatkan impian tentang lelaki kurus yang berambisi menjadi gitaris terkenal. Membuai setiap telinga dengan simfoni. Membuka setiap mata dengan keanggunan melodi dan menggugah hati dengan keselarasan harmoni.

Tahukah kau, ayah? Aku sudah muak dengan kebiasaan ini. Selalu saja terperangkap di senyapnya malam. Hanya bisa mencela sempitnya nalar sendiri. Memaki ketololan yang berulang, hingga akhirnya merengek kepada jarum jam agar tak pernah lagi meninggalkanku dalam kesia-siaan.

Telah kuberikan siang malamku kepada musik. Setiap tarikan nafasku adalah irama. Meniti tangga demi tangga nada. Memenuhi sudut-sudut hari dengan lantunan suara hati. Tapi apa hasilnya? Aku hanyalah seonggok daging tanpa baju kebanggaan. Aku tersungkur justru ketika hampir berada di oktaf tinggi. Aku lupa bahwa notasi tak berbatas. Seharusnya aku tak terjebak dengan partitur keangkuhan. Teriakkan penggemar, jerit histeris audiensi kala kumainkan dawai-dawai di atas panggung, telah membuatku terbang sampai lupa untuk membumi.

Ayah, jika kau ada di sini, tentu aku tak akan lagi bersembunyi di dalam kamar pengap. Seperti biasanya ketika aku terpuruk, kau selalu mengajakku ke luar untuk memandang langit yang sesungguhnya. Lalu kau akan menyuruhku teriak, “Aku tak pernah kalah!”

Kini semua harus kuhadapi sendiri. Tak mungkin kubangunkan engkau dari istirahat panjangmu. Ayah, aku ingin berhenti menatap langit-langit kamar.

Aku ingin pergi ke lautan luas. Berdiri memandang langit malam, di mana cakrawala mengelilingiku. Tapi aku terlalu pengecut untuk melakukannya. Aku takut jika nanti akan tampak kecil di antara hamparan bintang. Bahkan untuk menengadahkan kepala saja aku tak mampu. Maafkan aku ayah. (Tulisan ini dikirim oleh Akhmadalhasni)