I'm Not Gay
- REUTERS/Cathal McNaughton
VIVA.co.id – Semenjak kematian ayah beberapa bulan yang lalu, mama menjadi over protektif padaku. Apapun yang aku lakukan harus tergantung izin mama, termasuk fakultas yang akan aku pilih. Semuanya mama yang mengatur.
Semua berawal karena kampus elite di kawasan Jakarta Selatan. Fasilitasnya cukup memadai, bahkan lebih. Siapapun akan bangga dan merasa bergaya bila masuk ke kampus semahal ini. Namun, tidak denganku. Aku selalu mengeluh karena mama berniat memasukkanku ke kampus pilihannya itu.
Saat itu di ruang keluarga, aku menghampiri mama dari arah kamar yang berada di lantai dua. “Apa banget sih Ma? Kenapa tiba-tiba milih kampus beginian coba?” gerutuku pada mama. “Ya sudahlah, Jaxon. Harusnya kamu bersyukur mama bisa masukin kamu ke kampus elite. Siapa sih yang enggak bangga masuk kampus keren? Kamu doang! Aneh,” ucap mama sambil menonton televisi.
Aku duduk dengan lemas di samping mama. “Mending Jaxon masuk kampus biasa aja, Ma. Jurusan teknik.” Mama menengok dan berkata dengan lembut, “Belajar nurut bisa?” Aku hanya cemberut dan kembali ke kamar dengan perasaan kecewa.
Mama mengantarku ke kampus. Bukan hanya mengantar, bahkan sampai masuk ke dalam. Mama melihat sekeliling kampus ini, lalu kami menuju ke tempat registrasi. Aku duduk menunggu mama yang sedang berbincang-bincang dengan petugas yang berjaga di sana. Sungguh aku lelah menunggu mama. Ini bukan semenit atau dua menit, tapi sudah satu jam lebih aku menunggu. Dan akhirnya mama pun menghampiriku dan mengajak pulang. Dengan semangat, aku langsung berjalan.
“Tadi mama tanya-tanya tentang kampus ini. Fasilitasnya sangat memadai loh. Oh iya, mama daftarin kamu ke jurusan perfoming arts commmunication ya!” Aku kaget sampai berhenti berjalan. Mataku melotot tidak percaya dan mama menoleh padaku. “Kok PAC sih Ma? Emang enggak ada jurusan lain? Teknik misalnya,” gerutuku pada mama. “Ya enggak ada lah. Di sini itu fakultas komunikasi, mana ada teknik. Lagipula nilai fisika kamu jelek. Seandainya didaftarin ke jurusan itu juga tidak bakal masuk.” celetuk mama. Aku sedikit kecewa atas perkataan mama tadi. Namun, apalah dayaku, aku hanya bisa menurut. Aku tidak ingin membantah mama. Dan akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan.
Hari-hari berlalu, sampai saatnya aku berada dalam ruangan berisi mahasiswa jurusan PAC. Aku melihat ke sekelilingku, sungguh aku merasa tidak nyaman dan asing berada di kelas ini. Sepulang dari kampus, mama menghampiriku yang terbaring lemas di kasur.
“Bagaimana kuliahnya?” tanya mama sambil duduk di sampingku. Aku tidak menjawab. “Seru, kan? Dosennya asyik, kan?” tanya mama lagi. “Sok tahu sih Mama. Baru masuk saja sudah dapat tugas. Bikin film Ma. Kuliah macam apa itu?” aku mengadu pada mama. “Huu, bagus dong. Jadi kamu enggak bisa malas-malasan lagi. Oh iya, temannya asyik-asyik kan?” tanya mama lagi. “Ya, lumayanlah,” jawabku. “Kok lumayan? Coba dong bawa temannya ke sini. Kalau bisa sama pacarnya juga ya,” ledek mama. “Apa sih Ma? Pacar mulu. Masak aja sanaaa.” Aku berusaha mengusir mama. “Ya, sudah, mama masak dulu. Kamu jangan lupa mandi. Badannya bau tuh.” ledek mama lagi. “Iya mamaku sayang. Peluk dulu dong!” ucapku dengan manja.
Mama memelukku dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba terbersit kata-kata mama yang membuat diriku sedih. “Jangan tinggalin mama ya sayang. Jangan kecewain mama. Mama sayang banget sama kamu. Kamu satu-satunya harta mama yang paling berharga.”
Tetes air mata membasahi pipi mama, begitupun dengan aku. Namun, aku berusaha dengan sekuat hati menutupinya. Dengan tegar aku bertanya, “Kangen papa ya, Ma?” Mama semakin mendekap padaku seakan tidak ingin lepas. Mama tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku, dan aku paham. Aku mengelus punggung mama. “Enggak usah nangis ya, Ma. Papa sudah bahagia di sana. Kalau mama nangis, nanti papa malah enggak tenang. Kan di sini masih ada Jaxon. Jaxon janji tidak akan ninggalin mama,” ujarku berusaha menenangkan mama.
Mama menghapus air matanya dan menarik nafas. “Siapa yang nangis sih? Mama enggak nangis kok,” ucap mama dengan suara sedikit terisak. Aku tersenyum dan mengerti kalau mama sedang menyembunyikan kesedihannya dengan berpura-pura kuat. “Jaxon janji enggak akan kecewain mama. Semampu Jaxon bakal membuat mama bangga,” ucapku lagi. “Ya sudah ah, enggak usah sedih-sedih lagi. Kayak anak kecil saja pakai nangis segala. Sekarang kamu mandi sana!” ucap mama dengan tegar. “Siap bos!” ucapku sambil memberi hormat kepada mama.