Cita-cita yang Sempat Tertunda

Ilustrasi sukses.
Sumber :
  • http://mrasyiduddin.blogspot.com/

VIVA.co.id – Setelah memutuskan untuk berhenti kuliah, aku berpikir untuk melanjutkan apa yang selama ini aku ingin-inginkan. Cita-citaku yang sempat tertunda sejak aku lulus dari bangku SMP, ingin aku perjuangkan kembali. Setidaknya dengan keyakinan, niat dan doa yang membuat aku berpikir demikian. Sulit bagiku untuk mengambil keputusan, namun keyakinanku akan kesuksesan yang nantinya pasti bisa aku raih, niat yang sudah aku tanamkan sejak duduk di bangku sekolah dasar, dan juga doa yang selalu aku panjatkan agar aku bisa membahagiakan kedua orangtuaku, membuat aku semakin percaya untuk mengambil keputusan yang cukup berat tersebut.

Uang orang tuaku yang sudah habis terpakai untuk membayar uang kuliah dan uang belanjaku sehari-hari, sudah tersia-siakan dengan hasil yang buruk. Aku merasa bersalah kepada ayahku yang sudah capek-capek bekerja seharian, berpindah-pindah dari kantor ke kantor, dan pulang hingga sore hari hanya untuk membiayai kebutuhan sekolahku. Setidaknya bukan hanya aku saja, tetapi juga saudara-saudaraku.

Bukan hanya ayahku, ibuku yang selama ini sudah melahirkan, menyusui, dan membesarkan aku hingga aku sudah beranjak dewasa ini dan menjadi laki-laki yang harus memperjuangkan masa depannya. Keluarga-keluarga yang sudah percaya padaku pun, juga sudah aku kecewakan dengan semua kegagalan yang telah aku lakukan. Tapi keputusan yang aku ambil telah bulat dan aku sudah meyakinkan diri kalau aku akan memperjuangkannya.

Mungkin keputusan yang aku ambil ini bisa dikatakan keputusan yang cukup tidak masuk akal dan tidak ada hubungannya dengan apa yang selama ini aku pelajari di sekolah dulu. Keputusanku yang aku ambil tersebut adalah menjadi penulis. Entah sudah berapa kali aku harus mengatakan kepada orang-orang yang ada di sekitarku dan media sosial kalau aku ingin menjadi penulis. Mungkin sudah ratusan kali dan bahkan sudah hampir ribuan.

Aku memanglah bodoh karena telah mengambil keputusan yang salah ini, namun aku sadar betapa bodohnya aku karena aku telah menyia-nyiakan kepercayaan dari orang tua dan keluargaku. Apa yang aku dapatkan dari semua perjuanganku untuk memperjuangkan cita-cita ini memang tidaklah banyak, jumlah yang aku dapatkan tidak terlalu fantastis, tapi setidaknya jangan nilai hasil yang aku dapatkan, namun nilailah perjuangannya.

Aku sadar, perjuanganku ini sudah termasuk level akut. Level dimana aku sudah tidak bisa tertolong lagi. Orang-orang yang berusaha menghasutku untuk pindah ke lain bidang, seperti kembali ke bidang bangunan yang sudah hampir 4 tahun aku tekuni di SMK dan bangku kuliah, bidang kuliner, bidang olahraga, dan juga bidang elektronik. Aku tidak tertarik kepada bidang-bidang tersebut, aku justru lebih tertarik kepada bidang sastra yang bertahun-tahun telah lama hilang dari kehidupanku. Seakan-akan perkataan mereka yang tidak baik dan mengata-ngataiku tentang apa yang telah aku lakukan selama ini, sama sekali tidak bisa menolongku di masa yang akan datang.

Semua anggapan mereka yang mengatakan kalau aku ini adalah orang yang sombong, angkuh, egois, keras kepala dan tidak mau mendengar apa perkataan mereka, ingin aku kembalikan kepada mereka. Mereka yang aku maksud bukanlah orang tua dan keluarga, melainkan orang-orang yang selama ini telah beranggapan buruk tentangku.

Orangtua dan keluargaku ada juga yang seperti mereka, namun aku beranggapan itu bukanlah perkataan buruk yang mereka berikan padaku. Aku beranggapan itu adalah sebuah dorongan aku harus berusaha, berusaha, dan lebih berusaha lagi, karena seperti perkataan orang-orang yang telah lebih dulu sukses dariku, yaitu sukses butuh proses. (Tulisan ini dikirim oleh Ridhoadhaarie)