Tiga Serangkai Akan Terus Hidup
- U-Report
VIVA.co.id – Berteman itu penting, apalagi bersahabat. Karena dengan berteman, manusia akan bisa meminta tolong kepada teman-teman mereka. Bersahabat juga penting, karena dengan bersahabat kita bisa melakukan apa saja bersama dengan sahabat-sahabat. Melakukan hal gila, aneh, bodoh, dan hal yang tidak bermanfaat sekalipun.
Hari itu, aku sedang berada di Kota Siak. Aku berada di Kota Siak karena bermaksud untuk menemani omku yang ingin mengambil barang di sana. Karena aku memang orang yang ingin membantu dan menolong, aku pun membantu, apalagi itu omku sendiri. Keluarga sendiri juga harus dibantu, masa tidak.
Ketika aku sudah berada di Siak, tepatnya itu H-3 sebelum memasuki hari raya Idul Fitri, ternyata kedua sahabatku sudah berada di kota Pekanbaru, provinsi Riau. Mereka memang tidak tinggal di Pekanbaru untuk waktu yang lama karena mereka menuntut ilmu di luar kota. Hasanul di Universitas Sumatera Utara atau yang lebih dikenal USU, sedangkan Imam di kota Solo, yang aku tidak tahu persis di mananya dia berkuliah.
Aku adalah orang yang mencintai persahabatan, apalagi kalau sahabatku bisa menghargai kekurangan yang aku miliki. Selama mereka bisa menghargai kekuranganku, aku juga bisa menghargai mereka. Rencananya kami akan mengadakan buka bersama, tapi tidak terlaksanakan karena urusan masing-masing. Imam berkumpul bersama keluarganya di rumahnya, Hasanul juga berkumpul bersama keluarganya, sedangkan aku pergi membantu omku. Ya, setidaknya aku bisa bertemu lagi dengan saudara dan teman-temanku yang tinggal di Siak.
Hingga pada akhirnya, H-1 sebelum memasuki hari raya Idul Fitri aku sudah tiba kembali di Pekanbaru dengan selamat bersama dengan omku. Begitu sampai, aku langsung menemui kedua sahabatku itu dengan keadaan yang sedang tidak enak badan. Badanku pegal karena jalanan dari Siak menuju Pekanbaru masih belum bagus dan masih ada yang berlubang.
Walaupun aku termasuk tipe orang yang lebih suka menutup diri dari orang-orang, tapi aku masih memiliki sahabat dan teman, walaupun hanya sedikit. Dengan semua itu aku tidak merasa kalau aku telah gagal dalam bergaul. Begitu sudah bertemu dengan kedua sahabatku itu, Hasanul dan Imam, aku merasa banyak yang telah berubah dari kami. Bukan hanya keadaan fisik kami yang telah beranjak dewasa, tapi sifat kami pun juga sama.
Hasanul yang masih tetap saja suka jaim alias jaga image. Imam yang terkadang bisa saja mencari topik pembicaraan jika sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, dan aku yang hanya ikut-ikutan saja apa yang mereka bicarakan. Berkumpul bersama mereka lagi membuat aku sadar dimana aku seharusnya berada. Mereka yang sudah menjadi mahasiswa yang sesungguhnya, sedangkan aku yang sudah gagal menjadi seorang mahasiswa. Mereka yang sudah akan memasuki semester 4 dan 6, sedangkan aku yang masih begini-begini saja, hanya sibuk menulis, menulis dan menulis.
Namun aku masih bersyukur ternyata mereka masih menghargai aku yang bukan siapa-siapa ini. Mereka mendukungku untuk sukses dalam dunia menulis. Hingga pada akhirnya kami pun juga bisa berkumpul lagi seperti Ramadan tahun lalu. Ini merupakan buka bersamaku untuk pertama dan terakhir di tahun ini.Aku sudah merasa bangga dengan diriku sendiri.
Malamnya kami pun pergi takbiran berkeliling dan dilanjutkan dengan makan bersama di masjid tempat kami dulu masih menjadi remaja masjid. Dengan uang Rp23.000 saja, kami sudah bisa merasakan apa yang disebut dengan berkumpul yang sebenarnya. Kami yakin, persahabatan yang sudah kami jalin yang diberi nama “3 Serangkai” ini akan terus terjalin hingga waktu yang memisahkan kami. (Cerita ini dikirim oleh Ridho Adha Aire)