Tradisi Bakdho Kupat di Taman Kartini Rembang

Jangkar Dampoawang, hikayat asal-usul daerah Rembang.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah setiap tahun mengenal tradisi Bakdho Kupat (Lebaran Ketupat), berupa keramaian sepekan setelah Lebaran 1 Syawal. Berlokasi di pantai Taman (RA) Kartini kota Rembang, selama tujuh hari. Lokasinya kebetulan di sisi Jalan Raya Pantura. Hal ini mengakibatkan lalu lintas Semarang-Surabaya dan sebaliknya menjadi tersumbat di Rembang.

Mengatasi hal itu, semua kendaraan disalurkan lewat jalur lingkar Selatan Rembang. Tradisi Bakdho Kupat tak lepas dari acara Lomban, yaitu pesiar laut dengan perahu nelayan yang disewakan pengunjung. Beberapa tahun silam, Lomban kerap meminta korban nyawa pengunjung. Sebab jumlah penumpang perahu selalu melebihi batas , membuat perahu oleng lalu tenggelam. Sejumlah penumpang terutama wanita dan anak-anak pun jadi korban.

Pengunjung keramaian Bakdho Kupat bukan hanya dari warga setempat saja. Masyarakat kabupaten tetangga seperti Blora, Pati, Grobogan, bahkan dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur pun juga berdatangan. Berbagai atraksi hiburan ikut meramaikan keramaian ini. Diantaranya pangung musik dangdut, tong setan, komidi putar, sulap, renang di tepi pantai laut, dan lain-lain.

Banyak juga pengunjung yang datang karena ingin melihat Jangkar Dampoawang yang berada di Taman Kartini yang dinaungi cungkup terbuka berbentuk joglo. Masyarakat mengeramatkan jangkar itu. Orang sering menabur bunga dijangkar itu sambil mengutarakan niat dan keinginannya agar terwujud.

Pengeramatan jangkar itu tak lepas dari cerita dari mulut ke mulut tentang Dampoawang. Nama terakhir kerap diidentikkan dengan Laksamana Cheng-Ho, pengawal Kaisar Yung Le, penguasa Tiongkok di masa itu. Cheng-Ho pernah memimpin armada yang terdiri dari ratusan Jung atau kapal khas Cina yang melakukan pelayaran muhibah di negara-negara Asia (1405). Dan mereka singgah di beberapa pelabuhan Laut Utara Jawa.

Suatu saat jung Dampoawang berlabuh di pantai Lasem,11 km Timur Rembang. Sebelumnya Sunan Bonang, satu dari sembilan wali penyebar Islam telah mendirikan pondok pesantren di Bukit Bonang. Akhirnya, Sunan Bonang dan Dampoawang bertemu sekaligus guna membuktikan siapa di antara mereka yang paling unggul dalam kanuragan.

Sunan Bonang bertanya, “Jika jangkar jung Dampoawang dilepas ke laut, akan tenggelam (kerem) atau terapung (kemambang)?” “Tenggelam,” jawab Dampoawang. Tapi, Sunan Bonang berkata terapung dan benar saja jangkar tiba-tiba terapung. Begitu berkali-kali jangkar tenggelam-terapung sesuai kata-kata Dampoawang dan Sunan Bonang. Dari peristiwa itu muncul nama Rembang dari kata "keRem-kemamBang".

Jangkar pun terlempar jatuh di pantai Rembang, pertanda kedigdayaan Sunan Bonang di atas Dampoawang. Jung Dampoawang terhempas telungkup berubah menjadi Bukit Bugel di Selatan Lasem. Layar jung terpelanting ke tepi pantai menjadi Batu Layar di kaki Bukit Bonang. Beratus tahun kemudian, jangkar dipindah warga ke Taman Kartini yang sekarang dinamai Jangkar Dampoawang. Inilah hikayat daerah Rembang. (Cerita ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)