Surutnya Somor Dejeh di Dusun Jung-jang

Somor Dejeh yang sudah mulai ditinggalkan.
Sumber :

VIVA.co.id – “Habis manis sepah dibuang”, mungkin istilah ini cocok untuk disematkan kepada masyarakat Kabupaten Sumenep khususnya di Dusun Jung-jang. Mereka telah menikmati kejayaan Somor Dejeh (Sumur Utara) yang berada di Dusun Jung-jang, RT 01 RW 02, tapi sekarang melupakannya.

Pesatnya perkembangan teknologi di Indonesia yang sudah mampu membuat pasokan air memasuki daerah pedesaan menjadi latar belakang dari lupanya mereka akan salah satu sumur tua di Kecamatan Batang-batang tersebut. Masyarakat sekitar sudah mulai memanfaatkan alat-alat untuk mempermudah memenuhi kebutuhan air.

Somor Dejeh merupakan sumur yang dibangun oleh Almarhum  Suhamah, pria yang mempunyai anak tiga. Sumur tersebut dibangun beserta wakaf (tempat salat) yang berada di sebelah barat selatan pada tahun 1960-an. Tapi, tanah wakaf yang menjadi tempat salat dan peristirahatan orang yang sedang lewat atau pergi ke sawah sekarang sudah tiada. Karena sudah digusur semenjak merosotnya masyarakat yang memanfaatkan sumur.

Dua kamar mandi yang berada di sebelah selatan menjadi pelengkap dan daya tarik tersendiri bagi kaum hawa untuk menikmati mandi dan nyuci bersama di sumur. Kamar mandi tersebut dibangun setelah beberapa tahun sumur dan tempat salat itu dibangun, serta melewati pro dan kontra antara Almarhum Suhamah dan istrinya Asmi’ah.

Istrinya tidak mengizinkan niat baik dari suaminya yang akan membangun kamar mandi untuk menambah fasilitas sumur dan membuat nyaman kaum hawa yang mau mandi di sumur. Pro dan kontra diakhiri dengan kesepakatan kamar mandi tetap dibangun.

Istilah penamaan Somor Dejeh muncul dari masyarakat, tanpa ada proses pemberian nama dari yang membangun. Istilah lahir karena terdapat dua sumur yang berdekatan dan posisinya berada di sebelah selatan sungai, sedang posisi Somor Dejeh berada di utara sungai. Jadi, masyarakat menyebutnya Somor Dejeh (Sumur Utara) dan Somor Laok (Sumur Selatan). Di sumur yang berada di selatan sungai, tidak memiliki tempat salat dan kamar mandi.

Pada zaman dahulu, masyarakat Jung-jang memiliki pembagian waktu tertentu walau tanpa ada kesepakatan. Yaitu waktu untuk membagi jadwal mandi bagi kaum wanita dan pria. Dari pagi sampai menjelang siang merupakan waktu para ibu-ibu rumah tangga untuk menempati sumur. Sedangkan para lelaki dari sisa waktu sampai menjelang waktu salat magrib. Waktu tersebut menjadi jadwal mandi yang tidak tertulis, tapi jarang ada yang melanggarnya karena lahir dari kebiasaan.

Sumina, selaku keponakan dari Asmi’ah menyampaikan bahwa di Jung-jang ada dua sumur besar serta memiliki mata air yang lumayan untuk mencukupi masyarakat, yaitu Somor Merah (Sumur Merah) dan Somor Dejeh. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan Somor Dejeh tidak terpakai lagi dan tidak terawat. Itu bukan karena mata airnya mati, tapi masyarakat yang sudah dapat mengambil air dengan cara mudah tanpa harus pergi ke sumur, seperti membeli air atau melakukan pengeboran.

Jadi, matinya sumur bukan karena air yang tidak mampu mencukupi kebutuhan, tapi gaya hidup masyarakat Jung-jang yang mulai berubah. Dari tipikal masyarakat yang mencintai aktivitas yang sering dilakukan bersama, menjadi masyarakat yang suka akan aktivitas yang individual. Sumur tersebut pada saat ini sudah tidak terawat lagi dan banyak kotoran yang sudah bertahun-tahun tidak dibersihkan. (Tulisan ini dikirim oleh Syahid Mujtahidy, Pamekasan)