Ada Tetesan Darah Dinasti di Senayan

Ilustrasi aksi demonstrasi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

VIVA.co.id -Resah, Ketika melihat di media nasional nama daerah itu disebut-sebut berkali-kali bahkan diulang-ulang, sore sampai larut malam
Sayangnya nama itu diulang bukan karena pantainya yang indah,
Bukan karena terumbu karang atau ikan lumba-lumbanya memecah suasana
Bukan pula karena rempah-rempah yang menjadi primadona

Pengakuan artis ibu kota itu menyeret-nyeret nama tanah kita yang kau genggam
Padahal dulu kau tak begitu populis bagi kami,
Anak pinggiran yang sedang belajar, mengejar pengetahuan di negeri orang

Sebagai wakil kami di senayan,

Entah kau bisa membaca atau tidak

Tetapi satu yang perlu kau ingat,

Kata demi kata ini tak mengandung aliran politik
Sebagaimana aliran yang kau anut di usia mudamu ini.

Kau hanya menjadi perbincangan bagi kami
Setelah kau terpilih tetapi terbukti tak punya gigi
Mereka berkata, kamu hanya pemain Playstation yang disulap menjadi politisi karena titisan dinasti.
Kau bahkan tak terlihat di sidang-sidang senayan, karena kau tak punya taring

Sadarkah kau, mereka yang memilihmu itu adalah abdi negera yang takut dicopot dari posisi kepala sekolah
Politisi itu telah memberi pendidikan matinya nurani dan demokrasi
Kami percaya, kemarin kemenanganmu adalah bagian dari titipan dinasti.
Kami tak peduli, urusan pribadi dengan si manis itu
Yang ingin kami tanyakan, dimana nuranimu mendengar teriakan?
Teriakan pemekaran sampai teriakan kesengsaraan.

Woi, jangan kau bersembunyi lalu membuat sang raja lama turun gunung berbicara di media-media.
Apakah kau tidak tahu atau pura-pura tak tahu jika demokrasi ini semakin meminggirkan kita
Kita. Ya kita. Kita yang satu kecamatan hanya bisa untuk mereka satu desa
Sehingga di Senayan kita hanya dihitung jari
Padahal kita sama-sama butuh makan agar tak mati.

Lalu kenapa hitung jari, tapi kau tak kunjung punya gigi
Apakah kau bagian dari lantunan lagu Iwan Fals tentang nyanyian lagu setuju Senayan?
Sejak dulu aku sudah bilang,
Woi, pelacur politik berpakaian batik!
Berhentilah kalian tunduk pada mereka,
Woi, politikus pragmatis!
Jangan kau terlalu asyik membentuk pencitraan
Tetapi di belakang, kau juga bagian dari pelacur berbaju batik

Buka mata kalian!
Kenapa kalian pilih orang yang tak punya gigi duduk di kursi?
Ternyata kalianlah musuh dalam selimut
Yang selama ini kami mahasiswa cari-cari.
(Puisi ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)