Simposium Konservasi Mamalia Besar Indonesia
VIVA.co.id – Hari kemerdekaan yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus menimbulkan semangat kemerdekaan bangsa di berbagai bidang. Termasuk bidang konservasi satwa yang dilakukan oleh Fakultas Biologi Universitas Nasional (UNAS), melalui “Simposium Konservasi Mamalia Besar Indonesia” pada Selasa (16/8).
Simposium yang mengangkat tema “Memaknai Kemerdekaan dengan Memerdekakan Kuartet Mamalia Besar Indonesia” ini bertujuan untuk menggelorakan semangat perjuangan masyarakat dalam menyelamatkan, menjaga, dan melestarikan populasi kuartet mamalia besar Indonesia yaitu harimau, badak, gajah, dan orangutan.
Dekan Fakultas Biologi Universitas Nasional, Drs. Imran Said Lumban Tobing, M.Si mengungkapkan bahwa kemerdekaan bisa dihubungkan dengan alam. “Kemerdekaan kita juga bisa dilekatkan dengan alam, karena alam berdampak pada kemerdekaan spesies kita. Jangan sampai mereka terusir lagi dari tempat tinggal mereka,” ungkap Imran yang menjelaskan tema besar simposium.
Acara ini turut mengundang Jatna Supriatna, P.hD sebagai keynote speaker yang membicarakan tentang “Peran Generasi Muda dalam Upaya Penyelamatan Kuartet Mamalia Indonesia’. Hadir pula ahli di bidangnya masing-masing, yaitu Hariyo Tabah Wibisono dari Flora Fauna Internasional (Permodelan Spesies dan Habitat untuk Konservasi Harimau Sumatera), Haerudin R. Sadjudin dari Yayasan Badak Indonesia atau YABI (Mengenal Status dan Konservasi Dua Jenis Badak di Indonesia), Chairul Saleh dari WWF Indonesia (Darurat Kejahatan Terhadap Gajah dan Upaya Penanggulangnnya), Sri Suci Utami Atmoko dari Fakultas Biologi UNAS (Konservasi Primata Indonesia), dan Fachruddin M.Mangunjaya dari Pusat Pengkajian Islam atau PPI UNAS (Perdagangan Satwa Liar ditinjau dari Fatwa MUI).
Presiden South East Asia Primatologist Association tahun 2006, Jatna Supriatna menjelaskan bahwa Indonesia memiliki paling banyak spesies mamalia. Tapi sayangnya paling banyak pula yang terancam. Dulu pada tahun 1973, katanya, dirinya masih merasakan adanya harimau Jawa, namun sekarang spesies tersebut sudah punah. Ia pun tidak ingin harimau sumatera yang saat ini juga sedang diambang kepunahan, hilang dari muka bumi.
‘’Mamalia ini adalah aset kita. Kalau sampai Harimau Sumatera punah juga, rasanya tidak etis kita. Untuk itu, peran pemuda sangatlah penting. Mereka punya kekuatan sosial media dan aktivitas yang sangat besar. Kalau dari sekarang kita bekali dengan pengetahuan tentang pentingnya menjaga dan mengharmonisasikan alam dengan pembangunan mungkin dapat menyelamatkan swasta yang saat ini sedang dalam status lampu merah,’’ ungkap Jatna.
Sementara itu, para pembicara yang lain mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada empat mamalia besar yaitu harimau, badak, gajah dan orangutan yang terjadi sekarang ini. Menurut Hariyo Tabah Wibisono dari Flora Fauna International (FFI), harimau dulu ada hampir di seluruh kawasan Asia yang ia tunjukkan melalui slide bergambar peta Asia. “Saat ini hanya sekitar 7 persen saja yang tersisa. Ancaman punah ini berstatus global,” ujarnya.
Mengungkapkan masalah yang sama, Haerudin R. Sadjudin dari Yayasan Badak Indonesia menjelaskan bahwa badak saat ini sangat terancam punah dan banyak mengalami penurunan jumlah. “Saat itu saya ingat, tahun 70-an jumlah badak masih ratusan ekor. Terakhir pada tanggal 27 Juli ditetapkan badak jawa hanya tinggal 62 ekor,” ungkap Haerudin.
Sedangkan menurut Sri Suci Utami Atmoko, perburuan liar terjadi akibat masyarakat belum tahu potensi satwa. Ia memberi contoh, di Afrika wisata satwa yaitu gorila lebih berpotensi menghasilkan uang daripada hasil yang mereka dapatkan dari penjualan.
Sejalan dengan yang akan dijelaskan oleh Fachrudin Mangunjaya mengenai perdagangan satwa liar ditinjau dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Chairul Saleh dari WWF menjelaskan bahwa perburuan dan perdagangan liar adalah masalah moral. “Penjualan ilegal adalah masalah moral bangsa Indonesia. Membunuh satwa langka bahkan dalam MUI sudah dinyatakan haram,” ungkapnya.
Di antara semua masalah konservasi yang terjadi, Fachruddin Mangunjaya menawarkan solusi yang menurutnya sangat dekat dengan manusia, yaitu agama. “Agama sudah melarang perburuan sejak dulu, walaupun saat itu tidak ada larangan untuk berburu, seperti yang WWF (World Wildlife Fund) lakukan sekarang,” ujar Fachruddin.
Dosen Fakultas Biologi yang pernah mengkampanyekan konservasi alam melalui agama di Inggris ini menjelaskan bahwa agama adalah sektor terbesar di dunia yang terorganisir. Untuk itu seharusnya mudah mengkampanyekan menjaga alam melalui pendidikan agama. (Tulisan ini dikirim oleh Dian Metha Ariyanti, Manajer UPT Marketing & PR Universitas Nasional)