Resolusi Pembangunan Ramah Lingkungan 2017

Perubahan iklim.
Sumber :
  • life-a-big-mystery.blogspot.com

VIVA.co.id – Mengawali tahun 2017, banyak harapan dan resolusi dicanangkan untuk perbaikan kehidupan di masa-masa mendatang. Proyeksi-proyeksi pembangunan ditancapkan dengan penuh optimisme. Tidak hanya lembaga-lembaga swasta, partai politik, dan lembaga-lembaga publik juga mengawali target capaiannya dengan penuh optimisme.

Beragam bidang mendapatkan perhatian dan proyeksi. Mulai dari sektor ekonomi, politik, bahkan sosial dan budaya. Tidak terkecuali yang berkaitan dengan upaya pembangunan dengan menggunakan pendekatan kebijakan yang ramah lingkungan (low carbon growth) dan adaptasi serta mitigasi terhadap perubahan iklim.

Di penghujung tahun 2016, konferensi para pihak (Conference of the Parties) ke-22 diselenggarakan di Marakesh, Maroko. Sebelumnya, pada 4 November 2016, Perjanjian Paris mulai berlaku setelah diratifikasi 100 dari 197 negara pihak. Indonesia, menjadi salah satu negara yang meratifikasi, masuk daftar per 31 Oktober 2016.

Perjanjian Paris memiliki visi meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan bangsa lain di dunia secara timbal balik lebih efektif dan efisien. Hal itu dilakukan mulai dari aksi pencegahan, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim dengan dukungan pendanaan, penggunaan inovasi teknologi, peningkatan kapasitas yang didukung mekanisme transparansi serta tata kelola berkelanjutan.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, mengatakan tahun lalu Indonesia sudah menyampaikan Intended Nationally Determinated Contributions (INDCs) dengan target penurunan emisi karbon 29 persen, atau 41 persen dengan bantuan luar pada 2030.

Nationally Determinated Contributions (NDC) sudah disusun dan dibawa ke COP Maroko dengan susunan penyumbang terbesar tetap sektor hutan dan lahan sebesar 17,32-23 persen. Disusul energi 11-14 persen, limbah (waste) 0,38-1 persen, dan proses industri serta penggunaan produk (industrial process and product use) 0,10-0,11 persen. Kontribusi penurunan emisi dari 29 persen sudah terbagi-bagi per sektor. Dengan begitu, tinggal mengatur mekanisme dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporannya.

Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan muka air laut, gangguan di sektor pertanian dan ketahanan pangan jadi ancaman di masa depan. Kebakaran lahan menjadi tantangan terberat. Berbagai kajian telah disampaikan, betapa kebakaran lahan tersebut telah meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia secara signifikan.

Restorasi lahan bukan hal yang mustahil, dan juga bukan hal yang akan mematikan pertumbuhan ekonomi karena dapat dilakukan sebagai bentuk pengelolaan lahan yang bernilai ekonomi. Selain masalah tersebut, dampak perubahan iklim dapat kita lakukan dengan mendorong elit politik dan penentu kebijakan untuk mulai memperhatikan persoalan urbanisasi, mobilitas dan juga pentingnya perencanaan kota.

Kota memiliki beberapa dimensi yang layak mendapatkan perhatian. Antara lain dimensi ekonomi kota, dimensi sosial kota, dan dimensi lingkungan Kota. Dimensi ekonomi kota dapat dilihat saat kota seringkali dilihat sebagai “engine of growth”. Dimana sebagian besar pertumbuhan ekonomi dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi perkotaan (walau bahan bakunya dari luar kota).

Kompetisi ekonomi dunia semakin ditentukan oleh kinerja kota (infrastruktur maupun sarana dan amenities kota). Masalah kemiskinan kota dan kesenjangan ekonomi dapat memengaruhi pembangunan secara umum. Sementara dimensi sosial kota antara lain dapat kita lihat manakala kota merupakan ruang atau sarana yang kondusif bagi transformasi sosial budaya (perubahan budaya dan tata-cara bermasyarakat, positif maupun negatif).

Banyak anggota masyarakat yang “lost in transition”. Sudah meninggalkan norma tradisional tapi belum mengadopsi aturan modern. Seperti tidak mau antre, membakar sampah, dll. Perlu edukasi publik oleh Pemerintah, swasta, dan organisasi nirlaba serta partai politik melalui media untuk melakukan edukasi dan penyadaran secara terus-menerus.

Sedangkan dimensi lingkungan kota adalah wujud, peran, maupun kerjanya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana kota berada (geografis, geologis, dll). Kota juga sangat memengaruhi kondisi lingkungan. Seperti penyerapan sumber daya alam (energi, bahan bangunan), polusi (udara, air, sampah), bentang alam, dll. Kota yang ramah lingkungan adalah kota yang memiliki tapak ekologis minimum. Sesedikit mungkin menyedot sumber daya, mengubah bentang alam, dan membuang limbah. Inilah beberapa dimensi kota yang amat penting.

Berdasarkan laporan Word Bank, Indonesia sedang mengalami perubahan bersejarah dan menjadi ekonomi perkotaan. Kota-kota di Indonesia tumbuh rata-rata 4,1 persen per tahun. Laju yang lebih cepat dari kota-kota negara Asia lainnya. Pada tahun 2025, atau kurang dari 9 tahun lagi, diperkirakan 68 persen penduduk Indonesia adalah warga kota.

Begitu pula urbanisasi. Urbanisasi saat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Dunia semakin “mengkota”. Semakin banyak penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan. Dan hal ini tidak terkecuali di Indonesia. Saat ini kita juga sudah menjadi bangsa urban. Sudah lebih dari 50 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan.

Kota semakin banyak berperan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun di saat bersamaan, permasalahan kota pun semakin meningkat dan semakin kompleks. Indonesia memiliki lahan perkotaan terbesar ketiga di Asia timur, setelah Tiongkok dan Jepang. Antara tahun 2000 hingga 2010, jumlah lahan perkotaan di Indonesia meningkat, dari sekitar 8.900 kilometer persegi menjadi 10.000 kilometer persegi, bertambah 1,1 persen per tahun. Laju pertumbuhan lahan perkotaan di Indonesia tertinggi setelah Tiongkok.

Sedangkan urbanisasi telah menjadi persoalan tersendiri. Urbanisasi dapat mendatangkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi berkat bertambahnya pekerjaan formal dan meningkatnya produktivitas. Tiap 1 persen pertumbuhan urbanisasi berkorelasi dengan peningkatan PDB per kapita. 13 persen untuk India, 10 persen untuk Tiongkok, dan 7 persen untuk Thailand. Sedangkan Indonesia memperoleh hanya 4 persen pertumbuhan PDB untuk setiap 1 persen pertumbuhan urbanisasi. Karena maraknya kemacetan, polusi, dan risiko bencana akibat investasi infrastruktur yang kurang memadai.

Kurangnya investasi infrastruktur mempertajam kerentanan masyarakat terhadap kemiskinan. Saat ini hanya 48 persen rumah tangga di Indonesia memiliki akses air bersih. Fasilitas saluran air hanya tersedia di 11 dari 98 kota Indonesia. Selain itu, data-data juga menunjukkan bahwa hanya 2 persen penduduk kota memiliki akses kepada sistem sanitasi terpusat.

Tingkat  kepadatan penduduk yang tinggi juga semakin membebani infrastruktur yang sudah ada. Antara tahun 2000 hingga 2010, kepadatan penduduk urban di Indonesia naik pesat. Dari 7.400 orang per kilometer persegi menjadi 9.400 orang per kilometer persegi. Hal inilah yang menyebabkan jumlah lahan perkotaan baru untuk tiap orang yang tinggal di kota kurang dari 40 meter persegi. Ukuran terkecil dari semua negara di kawasan Asia Timur.

Kondisi-kondisi di atas menyadarkan kita, bersama partner-partner sipil, dan para politisi untuk berkontribusi secara nyata. Sehingga tantangan-tantangan dan solusi perubahan iklim serta perlindungan iklim, urbanisasi dan perencanaan kota, juga infrastruktur dan mobilitas, menjadi bagian dari kesadaran masyarakat umum.

Selain itu, wacana-wacana yang berkembang mengenai tema ini dapat mendorong Pemerintah untuk mempercepat tindakan-tindakan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Politisi harus lebih aktif dalam melakukan edukasi publik melalui berbagai cara/kanal. Baik yang bersifat konvensional (cetak, TV, elektronik), komunitas, maupun melalui sosial media.

Inilah salah satu yang dapat kita upayakan di tahun 2017 sebagai bagian dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Yang telah memberikan dampak secara nyata dalam kehidupan kita. (Tulisan ini dikirim oleh Billy Ariez, Wasekjen DKN Garda Bangsa)