'Pak Gubernur, Perawat juga Manusia'
VIVA.co.id – Dunia keperawatan heboh di media sosial mengenai aksi koboi yang dilakukan oleh seorang gubernur terkait sidaknya. Aksi tersebut dianggap tidak manusiawi terhadap tenaga kesehatan, khususnya perawat Indonesia. Betapa tidak, hal ini dibuktikan dengan digandengnya awak media saat aksi dilakukan.
Saat itu, sang gubernur mendapatkan sejumlah tenaga kesehatan (perawat dan dokter) sedang tidur. Kemudian dengan suara lantang, ia menghardik pegawai tenaga kesehatan tersebut. Bahkan menggebrak meja dan sempat juga terlihat menendang bak sampah. Terlihat seperti menggeledah pencuri kelas kakap atau biadab koruptor di siang bolong. Bahkan ironisnya, bisa juga disamakan layaknya menggerebek tempat prostitusi di waktu malam gelap gulita dengan iringan suara membentak, “Bangun!!! Bangun !!!”
Sang gubernur dalam video tersebut sempat berkata, “Tidak ada yang jaga, tidak ada yang jaga!” Padahal realitasnya, tidak semua perawat yang jaga saat itu tertidur. Bila menonton videonya, ketika bapak gubernur melontarkan pertanyaan yang sama beberapa kali, “Ada yang jaga? Ada yang jaga?” Dengan spontan salah seorang perawat berjaket biru mengacungkan tangan, memberitahu bahwa dialah yang berjaga. Tapi pada saat bapak gubernur itu datang, ia sedang melayani pasien di dalam ruang perawatan.
Inilah hasil sistem pendidikan Negara kita. Hanya mampu menghasilkan manusia-manusia pemimpin yang berintelektual, tapi tidak jarang mereka buta hati. Terlihat dari caranya menegur petugas tenaga kesehatan yang berjaga saat itu, seperti halnya mereka tidak punya harga diri alias benda mati. Padahal, hakikatnya pemimpin harus menjadi teladan, punya etika dan memberikan support terhadap bawahannya, bukan sebaliknya. Menunjukkan ego dan arogansi hanya akan membunuh karakter. Apalagi aksi sidak disertai gerombolan awak media yang hanya akan mempermalukan tenaga kesehatan, khususnya profesi perawat.
Menurut hemat penulis, sidak tengah malam yang dilakukan oleh bapak gubernur di ruang perawatan sangat tidak efektif, alias bukan pilihan bijak. Tentunya berbeda jika tinjau sidak dilakukan di ruang IGD, dimana perawat super aktif memberikan pelayanan keperawatan dalam menghadapi pasien urgent kapanpun itu. Walaupun dalam kondisi ini pun perawat masih bisa istirahat jika tidak ada pasien.
Untuk di ruang perawatan, semestinya melakukan sidak di pagi atau siang hari. Dimana beliau bisa berinteraksi secara komprehensif dan melihat lebih telanjang lagi kesemrawutan rumah sakit tersebut. Dengan sambil berinteraksi pada pasien-pasien yang ada dan meninjau banyaknya fasilitas yang tidak berfungsi. Serta yang tidak kalah pentingnya, pak gubernur semestinya menadah telinga untuk mendengar keluh kesah tenaga perawat. Apakah kesejahteraan perawat sudah diperlakukan manusiawi atau belum. Bukan hanya jago sekadar menemukan perawat yang tidur dan marah-marah sambil dipublish di media. Perbuatan ini jelas sangat tidak beradab.
Seharusnya bapak gubernur tahu, pengertian tidur dalam dunia keperawatan itu terbagi atas dua istilah yaitu napping dan sleeping. Sleeping yaitu kegiatan tidur lelap atau tidur total dilakukan oleh seseorang dengan durasi waktu panjang. Sangat jauh berbeda dengan pengertian napping. Menurut James Maas, seorang psikolog sosial dari Cornel University, napping yaitu kegiatan tidur dalam waktu singkat dengan memutus tidur sebelum masuk ke dalam fase tidur lelap, atau Slow Wave Sleep (SWS), yang bertujuan untuk memulihkan kesegaran (revitalisasi) tubuh dalam waktu singkat.
Artinya, tidur dengan durasi sebentar selama kurang dari 30 menit meski sesingkat 6 hingga 10 menit sangat dibutuhkan oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat. Karena dianggap mampu mengembalikan kesadaran, meningkatkan performa, dan memicu konsolidasi daya ingat secara aktif. Apa iya perawat harus “memelototi” pasien hingga pagi hari padahal pasiennya juga sedang beristirahat (bed rest)?
Ketahuilah, perawat juga manusia yang butuh istirahat bukan laksana robot. Pertanyaanya sekarang, di saat tenaga profesi perawat sedang membutuhkan pembelaan, di manakah peran PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia)? Katanya sebagai wadah untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi tenaga keperawatan dalam keprofesiannya, tapi kok “umpet”? Semestinya PPNI harus tegas mengecam tindakan yang dilakukan oleh bapak gubernur. Tapi, ya inilah profesi perawat. Sebelah badan di dunia, sebelahnya lagi di neraka, dan di tengan-tengah dilecehkan.
Akhir hemat dari penulis, kepada segenap tenaga kesehatan khususnya tenaga perawat Indonesia, mari kita menggandeng tangan, mengayunkan kaki, dan berjuang bersama membangun sinergitas untuk mendesak kepada PPNI untuk menyikapi hal ini, yang telah nyata mencoreng nama baik profesi perawat di mata masyarakat. Sekali lagi saya mengutip, “Aku adalah perawat, kamu adalah perawat. Jadi kamu dan aku adalah kita perawat. Ayo bangkit melawan atau kita mundur terhina. Salam SuPer (Suara Perawat). (Tulisan ini dikirim oleh Jaya Nug Miharja, PMII rayon FKM, Universitas Muslim Indonesia, Makassar)