Pidato Anies sebagai Manuver Politik Lima Tahun ke Depan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI.
Sumber :
  • VIVA/Anwar Sadat

VIVA – Negara Republik Indonesia dengan luas negara kepulauannya yang terdiri dari sekitar 17.499 pulau, 244.688. 288 jiwa, 740 suku, dan 583 bahasa. Indonesia menjadi negara terbesar ke empat di dunia, begitu juga dengan ragam suku dan bahasanya. Hal ini tentu unik dan dipandang baik oleh penduduk Indonesia sendiri maupun negara-negara luar.

Jakarta, ibukota negara sebagai pusat perekonomian, politik, budaya dan sebagainya menjadi ujung tombak keberhasilan negara. Tepat pada 17 Oktober 2017, ada satu momen besar yang sangat penting dalam perjalanan bangsa ini. Di mana ibukota negara Indonesia telah menyambut pemimpin barunya, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno.

Pelantikan yang berlangsung di Istana Negara hingga arak- arakan menuju Balai Kota dan pidato politik menjadi sejarah untuk Anies sebagai pemimpin baru yang pertama sekali memegang tampuk kekuasaan di republik ini dengan tantangan yang begitu besar dan juga kritikan yang tajam. Demokrasi hampir terkangkangi karena beberapa kritikan belakangan ini hanyalah menjadi alat pemecah, tidak lagi menjadi pemersatu.

Menarik untuk dicermati. Dalam kaca mata politik kekuasaan, teori people power begitu jelas terlihat seiring berjalannya pidato. Ada beberapa kata per kata yang terucap di sela-sela pidato Anies yang menarik. "Pulau bukan hanya kepentingan pribadi, kelompok, tapi kepentingan rakyat Jakarta". Kata-kata ini menjadi sangat tajam dan mempunyai komitmen kuat terhadap masalah pulau reklamasi.

Di mana reklamasi menjadi isu yang sangat penting, bahkan sebelum adanya Pilkada DKI Jakarta. Dan ini mengarah kepada pengembang dengan orang-orang di belakangnya. Sangat diketahui, Anies begitu piawai dalam retorika. Arti kata per kata yang disampaikan mempunyai makna yang halus tapi tajam dasarnya.

Menjadi pemimpin ibukota negara bukanlah hal baru di republik ini. Berkaca ke belakang, Jakarta menjadi harapan semua orang. Mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Inilah tugas Anies yang akan dijalankannya. Realitanya, kita lihat pergolakan Pilkada Jakarta menjadi sangat penting Di tahun ini, bahkan seperti pemilihan presiden.

Isu SARA, pribumi dan non pribumi muncul menghiasi lautan ibukota. Anies yang dikenal dengan tenun kebangsaannya mempunyai tanggung jawab besar untuk merajut kembali benang kisut yang ditarik-tarik hingga menjadi terpisah antara satu dengan yang lain.

Nah, ini sosok Anies yang harus diingat. Dia yang membuat tenun kebangsaan, maka dia pulalah yang harus merajutnya untuk kembali pada gagasan tenun kebangsaan. Saat munculnya isu SARA di Kepulauan Seribu, Anies bukanlah salah satu bakal calon dalam daftar kandidat gubernur. Begitu juga dengan ditetapkannya hingga diusung partai Gerindra dan PKS.

Perhelatan politik saat itu sangat rentan dengan hal apapun. Di satu sisi, Anies sebagai juru bicara Jokowi-JK ketika Pilpres 2014 dan sempat menjadi Menteri Kebudayaan di Kabinet Kerja Jokowi hingga digantikan oleh Muhadjir Efendi, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Sementara, Gerindra saat itu mengusung Sandiaga Salahuddin Uno sebagai bakal calon gubernur. Itulah politik, bisa berubah setiap saat meski Anies dan Prabowo bukanlah karib sebelumnya, tapi bisa menjadi karib juga.

Ketika kata sambutan di Balai Kota, Anies banyak menyampaikan pandangannya untuk warga. Dengan wajah tegas namun santun, hingga beberapa kali memperlihatkan senyuman seolah mengandung makna kebahagiaan dan keberanian. Psikologi warga mampu dia pengaruhi dengan kata-katanya. Sejarah kemerdekaan hingga titik-titik para pendiri bangsa berkumpul, Anies sampaikan dengan menyambung kita bangun bersama Jakarta.

Rasa haru tentu dirasakan warga yang hadir. Apalagi Anies mengeluarkan kata, "menghibahkan diri" untuk rakyat Jakarta. Membangun Jakarta bersama agar bahagia warganya. Kata-kata tidak bisa dianggap hal yang biasa. Apalagi sosok Anies yang sudah mumpuni secara retoris menyampaikan apa yang menjadi hal-hal penting.

Modal tampil di forum-forum internasional membuat Anies bisa mengemas kata-kata yang sangat mempunyai arti penting dan luas tersampaikan ke seluruh elemen dengan begitu lepas. Saya ingat betul ketika debat kandidat, Anies menyerang lawannya dengan kata-kata. Bahkan, banyak orang-orang mengeluarkan kritikan bahwa Anies hanya bisa berbicara, bukan bukti nyata.

Saya mengingat salah satu tokoh besar Islam, KH. Hasyim Asyari, Pendiri Nahdlatul Ulama, beliau berkata, "Membela negara adalah jihad". Beliau berkata kepada para santrinya, sehingga para santri terbakar semangat untuk berjuang. Itu adalah kata-kata dan itu menjadi manuver politik kepada semua kalangan. Terutama kepada para penjajah hingga membuat gentar pada saat itu.

Saya lihat, inilah yang diandalkan Anies ketika sedang berpidato. Beberapa poin disampaikan Anies sebagai modal awal perjalanan kepemimpinan selaku gubernur baru DKI Jakarta ke depannya. “Birokrasi tak tergantung kepada siapa yang menjadi pemimpin. Birokrasi mengabdi terus menerus” - Anies Rasyid Baswedan. (Tulisan ini dikirim oleh Imam Rinaldi Nasution)