Membangun Tradisi Keilmuan

pusat studi, universitas Islam
Sumber :
  • vstory

VIVA – Sebelum Nabi Muhammad SAW datang untuk menyebarkan agama Islam, bangsa Arab tenggelam dalam tradisi dan agama nenek moyang. Bangsa di jazirah itu sedang ditimpa kemerosotan agama yang drastis. Penyakit moral dan penyakit sosial meruntuhkan akhlak dan menghancurkan masyarakat serta sendi-sendi kehidupan mereka yang lain.

Akhirnya, bangsa itu terjerumus ke dalam kehidupan jahiliyah yang paling buruk, jauh dari nilai agama yang benar. Namun, setelah Rasulullah SAW datang sebagai sang revolusioner sejati, Rasulullah mengikis berbagai hal jahiliyah dengan ilmu pengetahuan berupa wahyu.

Tradisi keilmuan yang dicetuskan Rasulullah pada akhirnya telah menjadikan manusia beradab, mengerti mana yang benar dan mana yang salah.

Secara historis, tradisi keilmuan dalam Islam dimulai dari pemahaman terhadap Alquran Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara berturut-turut.

Perintah “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” mengandung arti bahwa kita diperintahkan untuk membaca, dalam artian belajar. Tidak sebatas membaca, namun semua yang kita baca atau yang kita lihat harus kita hubungkan dengan Tuhan.

Berkaca pada tradisi keilmuan pada masa kini, dimulai dari peradaban membaca dan menulis yang konon sangat diterapkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Tampaknya kecintaan manusia terhadap ilmu telah terkikis sedikit demi sedikit. Karena keadaan inilah, maka perlu gagasan atau ide untuk membangun kembali tradisi keilmuan Islam yang luntur.

Dalam konteks umat Islam saat ini, yang pertama-tama diperlukan adalah membangun tradisi keilmuan Islam yang serius. Pembangunan yang dimaksudkan baik dalam bentuk pusat studi, atau universitas Islam yang khas. Diantaranya ialah dengan merespons tantangan keilmuan kontemporer dan menjelaskan ulang konsep-konsep dasar Islam yang relevan untuk kebutuhan umat masa kini.

Tantangan umat Islam

Sebagai tradisi keilmuan yang akan mengantarkan umat Islam kepada terwujudnya peradaban Islam, ada beberapa tantangan. Di antaranya ialah tantangan yang datang dari peradaban asing khususnya barat. Peradaban barat modern dengan program globalisasi dan westernisasi menyebarkan paham sekularisme, rasionalisme, empirisme, pragmatism dan sophisme, kapitalisme, dan sebagainya.

Ditambah lagi dengan paham barat post modern yang membawa paham-paham baru seperti nihilism, relativisme, pluralism dan persamaan gender, dan dekonstruksionisme. Paham-paham itu semua dengan sengaja dimasukkan kedalam pikiran dan kehidupan umat Islam dalam bentuk sistem, konsep, dan bahkan gerakan ekonomi, politik, pendidikan, budaya, ilmu pengetahuan dan sebagainya.

Masalahnya, di dalam sistem dan konsep barat itu terdapat hal-hal yang perlu ditolak, diterima secara kritis atau dimodifikasi.

Faham-faham seperti sekularisme, liberalism, hedonism, relativisme dan sebagainya, harus ditolak. Dalam hal sistem pendidikan dan pengajaran misalnya, Barat dapat dikatakan cukup maju. Namun, karena aspek tujuannya berbeda dengan Islam, maka umat Islam di satu sisi perlu menolak beberapa aspek dalam sistem pendidikan barat dan juga pemodifikasinya.

Sebagai contoh, dalam masalah sistem pendidikan, Barat sekuler yang memisahkan ilmu pengetahuan secara dikotomi telah membawa problem besar bagi umat Islam. Ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, yang tidak saling berhubungan sama sekali antara keduanya.

Konsep ilmu tersebut ketika diterapkan di dunia Islam menghasilkan sistem pendidikan Islam yang dikotomis pula, yaitu lembaga pendidikan agama dan umum. Di Indonesia terdapat pondok pesantren dan madrasah tradisional yang khusus belajar ilmu-ilmu agama; di sisi lain terdapat SMP, SMA, SMK yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum. Di tingkat perguruan tinggi, terdapat universitas yang hanya mengajarkan studi Islam, dan ada pula universitas yang hanya mengajarkan studi ilmu pengetahuan umum.

Akibat dari sistem pendidikan yang dikotomi itu, maka lembaga pendidikan Islam menghasilkan dua tipe cendikiawan muslim yang berbeda jenis ilmunya yang dalam beberapa aspek saling bertentangan. Ini bagaikan lingkaran setan, seperti yang disimpulkan al-Attas bahwa pendidikan kita yang sekuler itu telah melahirkan pemimpin yang sekuler, dan pemimpin sekuler itu akan melahirkan kebijakan yang sekuler pula dan demikian seterusnya.

Begitu juga kalau kita lihat dari segi ekonomi, kita tidak bisa menjadikan model kapitalis dan sosialis untuk menjadi tipe ideal kita, Meskipun kita akan memanfaatkan semua pengalaman manusia untuk diasimilasikan dan diintegrasikan dengan framework Islam, agar dapat membantu mencapai tujuan kita sendiri dengan tanpa mengotori nilai-nilai dan norma kita. Bahkan kita harus menolak model kapitalisme dan sosialisme.

Kedua model pembangunan ini tidak cocok dengan sistem nilai kita, keduanya eksploitatif, tidak adil dan gagal memperlakukan manusia sebagai manusia dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Keduanya telah gagal mengatasi tantangan ekonomi, sosial politik, moral masa kini dan memenuhi kebutuhan real umat manusia dan ekonomi yang adil di dunia mereka sendiri.

Sejatinya, secara keseluruhan konsep-konsep atau paham dalam pandangan hidup Barat yang sekuler-liberal banyak bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Tantangan itu berkaitan langsung dengan tantangan internal umat Islam. Tantangannya adalah bagaimana umat Islam dapat menolak, mengkritisi, mengasimilasi, atau memodifikasi sistem dan konsep-konsep asing yang multidisiplin ilmu itu. Sebab, hal ini bukanlah kerja yang bisa dilakukan semua orang.

Bahkan, kerja ini tidak bisa dilakukan oleh sekelompok cendikiawan yang hanya menguasai disiplin ilmu-ilmu pengetahuan syari’ah (ulum naqliyyah) atau cendikiawan yang hanya menguasai sains fisika dan kemanusiaan. Dalam banyak kasus, dosen yang menguasai ilmu ekonomi konvensional misalnya, tidak mengerti syari’ah. Begitupun, dan sebaliknya, dosen bidang syari’ah tidak menguasai ilmu ekonomi konvensional.

Selain itu, tantangan umat Islam juga tentang ketidakberdayaan para cendikiawannya menghadapi faham, epistemologi dan ideologi asing secara kritis. Kedua, kelemahan tradisi pengkajian ilmu keislaman yang memenuhi hajat umat di masa sekarang.

Maka, sangat diharapkan lahir komunitas keilmuan yang aktif, yang tidak hanya memperdalam disiplin ilmu keislaman saja, tapi juga mengasimilasi dan mengislamisasikan ilmu pengetahuan kontemporer, sehingga menghasilkan disiplin ilmu baru. Jika komunitas keilmuan Islam telah dapat menghasilkan suatu disiplin ilmu keislaman baru sekaligus agen perubahan, maka dari situ diharapkan akan tumbuh sistem politik, ekonomi, pendidikan dan sosial baru yang berdasarkan worldview Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.