Menilik Anjungan Korea di Tasikmalaya dari Kacamata Budaya

Salah satu spot di anjungan Korea Taman Wisata Karangresik Tasikmalaya (Koleksi Pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Bulan Maret lalu, Tasikmalaya menambah satu lagi tujuan rekreasi di kotanya, yaitu anjungan Korea yang terletak di Taman Wisata Karangresik. Anjungan Korea ini merupakan hal yang baru di kota Tasikmalaya karena sebelum-sebelumnya di kota resik ini belum ada tempat wisata yang arsitekturnya bernuansa seperti sedang berada di Korea Selatan

Dilansir dari kompas, Direktur Taman Wisata Karang Resik, M. Yusuf mengatakan bahwa anjungan ini dibuat untuk memenuhi keinginan para penggemar K-pop dan drama Korea sehingga mereka tak perlu jauh-jauh pergi langsung ke negeri ginseng untuk merasakan bagaimana nuansa berkunjung kesana.

Yusuf mengakui bahwa anjungan ini bukan yang pertama kali ada (di Indonesia), tetapi Taman Wisata Karangresik mempunyai kelebihan akan hal itu karena keadaan alamnya yang dikatakan mirip dengan yang ada di sana. Adanya sungai Citanduy juga menambah suasana anjungan tersebut seperti berada di perkampungan ala drama korea kolosal.

Tak hanya nuansa Korea Selatan yang ada di taman wisata ini, tapi ada juga Nagoya Hill yang merupakan sebuah anjungan bernuansa Jepang meskipun hasil dari pengamatan, saat ini masih belum 100% rampung.

Dilansir dari Ayobandung, rencananya selain Jepang dan Korea, akan ada beberapa anjungan lain yang akan dibangun, yaitu The Delhi dari India, Volendam dari Belanda, dan Santorini dari Yunani.

Sepertinya menarik sekali ya tujuan baru wisata yang satu ini, pasti pembaca jadi tertarik untuk berkunjung, bukan? utamanya warga Tasikmalaya yang senang dengan budaya Korea Selatan.

Namun, bagaimana dengan kebudayaan lokal Tasikmalaya? Apakah dengan adanya tempat yang didedikasikan untuk kebudayaan lain menjadi ancaman bagi budaya lokal itu sendiri?

Budaya luar bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dirangkul

Menanggapi adanya anjungan Korea Selatan yang hadir di Taman Wisata Karangresik kota Tasikmalaya, budayawan asal Tasikmalaya, Duddy Rachayu Suhada mengatakan agar kita tetap santai menghadapi hal tersebut.

Ia bercakap bahwa masuknya budaya luar ke Indonesia, khususnya Tasikmalaya, bukanlah suatu hal yang baru dan perlu ditakuti. Justru kita sebisa mungkin menerimanya dengan hangat dan tangan terbuka.

“Karena memang sekarang itu kan tidak ada batas lagi, apapun bisa masuk (ke Indonesia). Seperti anime itu kan sudah dari lama, bahkan dari kecil itu sudah ada,” kata Duddy.

Lagipula, sebelum budaya asing masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sendiri sudah lebih awal berhadapan dengan kebudayaan yang berbeda antar daerah karena negara tercinta kita ini merupakan negara yang multikultural. Artinya, kita sendiri mempunyai kebudayaan yang beragam dan juga berbeda satu sama lain.

“Kan Indonesia juga merupakan masyarakat multikultural ya. Ada Jawa, Sunda, Bali, Bugis, dan lainnya,” tambah Duddy.

Persoalannya sekarang, menurut Duddy, adalah bagaimana kita mempertahankan diri dari gempuran budaya asing seperti budaya Korea Selatan ini. Duddy menyatakan bahwa salah satu caranya adalah dengan memperkuat literasi kebudayaan kita.

Hal ini karena banyak dari budaya kita, khususnya budaya Tasikmalaya, yang perlahan menghilang dari permukaan. Keadaan ini juga cukup diperparah dengan anak-anak zaman sekarang yang kurang peka akan hal tersebut.

“Sekarang kita lihat apa yang asli dari Indonesia jika meruntut 7 unsur budaya. Kan teknologi pun sekarang ini sudah bukan asli Indonesia lagi. Dulu kan untuk mengumpulkan orang itu perlu menggunakan kentongan sebagai alat komunikasi. Sekarang tinggal chat di WhatsApp ‘hey ayo ngumpul’ langsung kan pada tau,” lanjutnya.

Setiap zaman pasti memiliki budayanya sendiri, tetapi Duddy menyayangkan jika karena hal tersebut maka budaya-budaya terdahulu harus menghilang begitu saja tenggelam oleh zaman. Hal ini tak dapat dibenarkan karena budaya-budaya terdahulu, khususnya budaya sunda, masih dapat diaplikasikan di zaman sekarang ini.

“Seperti istilah hoax itu kan sudah ada di sunda itu, namanya ngaliarkeun taleus ateul. Itukan sama saja artinya dengan hoax, yaitu menyebar kebohongan,” ucap Duddy.

Kembali ke pembahasan kampung Korea tadi, Duddy sendiri melihat hal ini sebagai salah satu pintu terbuka untuk akulturasi juga pertukaran budaya antara Indonesia dengan Korea Selatan. Terlebih pastinya terdapat unsur-unsur budaya yang serupa antara dua negara tersebut karena keduanya berasal dari benua yang sama.

“Bisa jadi kan nanti kita bisa membuat venue yang ada unsur kesundaannya atau unsur budaya Indonesianya. Kalau mereka bisa, kenapa kita enggak?” tambah Duddy.

Generasi Z dan budaya lokal

Tentu saja menjaga kelestarian budaya lokal ini sudah sepatutnya menjadi tugas bagi generasi selanjutnya, yaitu generasi saat ini yang kerap kali disebut ‘generasi z’. Beban yang dipikul generasi z ini tidaklah ringan, karena banyak diantara anak muda zaman sekarang yang sudah meninggalkan kebudayaan lokal, bahkan dari aspek paling mendasar yaitu bahasa.

Untungnya, masih ada beberapa dari kita yang tertarik dengan kebudayaan lokal, terkhusus dengan kebudayaan sunda. Beberapa komunitas di Tasikmalaya dan daerah-daerah lain di Jawa Barat pun hadir menjadi garda terdepan untuk melestarikan budaya leluhur ini. Dua diantara insan-insan muda tersebaut adalah Alyssa (20) dan Raya (19) (nama samaran) yang berasal dari salah satu komunitas seni di Tasikmalaya.

Alasan mengapa keduanya tertarik menjadi pegiat seni lokal saat teman-teman mereka mulai meninggalkan pun beragam. Bagi Alyssa, seni sudah menjadi bagian dari dirinya, layaknya nadi yang melekat dengan dirinya. Ia juga menyukai seni dan menikmati apapun yang berhubungan dengan seni.

“Seni juga bagi saya sebagai sarana hiburan,” tambahnya.

Sedangkan untuk Raya sendiri, ketertarikan dirinya pada seni lokal dikarenakan budaya lokal itu unik, memiliki ciri khas yang beda dari budaya lain. Dan juga ia tertarik untuk menjadi pegiat seni lokal karena seni yang saat ini ia lestarikan merupakan warisan dari leluhurnya, yaitu orang-orang sunda terdahulu.

Untuk mempertahankan budaya lokal, khususnya budaya sunda, Raya menyarankan salah satu caranya adalah dengan bergabung dengan komunitas pecinta seni, mengikuti pagelaran seni, ataupun dengan menyisipkan budaya lokal atau budaya sunda saat kita akan membuka acara yang  diadakan, seperti pangjajap.

“Karena menurut saya kesakralan acara tuh gak lengkap kalau tidak menampilkan musik gamelan atau budaya Sunda lainnya,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa hal tersebut juga agar setiap orang tau bahwa kita tidak akan pernah melupakan budaya kita sendiri yang baginya adalah budaya sunda.

Sedangkan, Alyssa berpendapat bahwa cara agar kita dapat mempertahankan kebudayaan lokal adalah dengan menanamkan mindset bahwa budaya lokal itu bukanlah budaya yang kuno atau sejenisnya. Kita juga bisa memperkenalkan budaya lokal dengan gaya yang dapat merangkul anak muda.

Dengan segala kemajuan yang ada di zaman sekarang ini, kita dapat mengemas budaya lokal tersebut agar terlihat fresh dan menarik bagi generasi z agar bisa ikut serta dalam melestarikan budaya lokal. Contohnya seperti trend yang muncul di aplikasi tiktok dimana orang-orang yang megikutinya menggunakan outfit bernuansa batik.

“Hal ini dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat khususnya generasi muda untuk menggunakan kain batik,” tegas Alyssa.

Hal-hal yang sudah dilakukan oleh mereka sendiri dalam bentuk melestarikan budaya Indonesia adalah dengan tentu saja memasuki komunitas seni dan juga mengedukasi setiap orang bahwa budaya lokal itu tak kalah keren dari budaya-budaya yang lain. Raya mengatakan bahwa kunci untuk mempertahankan budaya lokal itu ada di dalam diri kita sendiri.

“Meskipun kita suka budaya asing, tetapi kalo di dalam diri kita udah tertanam rasa cinta, bangga akan budaya lokal, InsyaAllah budaya kita akan terus ada,” tambahnya.

Alyssa juga menambahkan dengan memperkenalkan budaya lokal melalui pertunjukkan seni adalah salah satu hal yang ia dan komunitasnya telah lakukan untuk mempertahankan budaya yang ada. Hal ini juga jika dilakukan terus menerus nantinya akan membuat orang-orang sekitar yang menonton lebih familiar.

“Semakin masyarakat familiar dengan budaya lokal, maka akan semakin mudah untuk mengajak orang-orang agar turut melestarikan budaya lokal,” ucap Alyssa.

Terkait masuknya budaya asing ke dalam negeri tercinta ini, Raya dan Alyssa setuju bahwasanya hal itu bukanlah hal yang perlu dipusingkan. Asal perisai yang digunakan oleh kita sebagai masyarakat Indonesia dan juga pegiat seni lokal kuat, maka tidak perlu terlalu dijadikan beban. Ditambah lagi kita juga perlu untuk mengetahui budaya luar itu seperti apa, terlebih di era globalisasi ini.

Alyssa juga sebagai seseorang yang mempunyai interest terhadap budaya Korea Selatan merasa ketertarikannya tersebut tidak mengubah jati dirinya sebagai warga negara Indonesia yang menjunjung tinggi budaya bangsanya. Meskipun memang banyak masyarakat yang lebih tertarik dengan anjungan tersebut, hal itu masih wajar selagi memang hanya sebagai sarana hiburan dan menambah pengetahuan.

Tentunya dengan adanya anjungan Korea tersebut sepatutnya tak mengubah jati diri kita sebagai masyarakat Indonesia yang melekat dalam diri kita, seperti halnya pepatah mengatakan ‘Di mana tanah dipijak, di sana langit dijunjung’. Mau apapun budaya luar yang kita kagumi, entah itu Korea Selatan, Jepang, ataupun Eropa sekalipun, asal kita tetap mengingat jati diri kita sebagai warga negara Indonesia, maka hal tersebut bukanlah masalah besar.

Semangat untuk kita generasi z dalam mempertahankan budaya lokal dan melestarikannya agar kita masih bisa menikmatinya di masa depan! Karena kalau bukan kita, siapa lagi?

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.