Partai Politik Ramai-ramai Minta Pilkada Lewat DPR, Ada Apa?
- vstory
VIVA – Berbagai lapisan tokoh politik lebih memilih Pilkada, Pilpres melalui Dewan Perwakilan Rakyat, ketimbang Pemilu secara langsung. Pemilu melalui DPR dinilai lebih praktis, dan menghemat biaya.
Contoh semisalnya untuk biaya penyelenggaraan Pilkada, Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi 2020 mendatang. Pemerintah Provinsi Jambi harus menyisihkan dana hibah untuk Pilkada itu, selama dua tahun anggaran. Dengan nilai Rp180,4 miliar.
Dana hibah itu sebenarnya berat untuk diadakan. Namun, karena dianggap sudah menjadi ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga Pemerintah Provinsi Jambi terpaksa harus menyisihkan uang untuk KPU Provinsi Jambi, melalui dua kali APBD.
Pertama uang yang diberikan kepada KPU Provinsi Jambi sebesar Rp50 miliar, dari APBD Perubahan tahun 2019, yang ke dua sebesar Rp130,4 miliar, akan diberikan melalui APBD 2020 mendatang. Bantuan dana hibah untuk oprasional KPU itu merupakan ketentuan dari Pemerintah Pusat.
KPU Jambi, sebelumnya mengajukan anggaran lebih kurang Rp300 miliar, untuk melaksanakan pilkada Provinsi Jambi, tetapi pemda Provinsi Jambi merasa keberatan, sehingga terjadi tawar menawar, dan achirnya terjadi kesepakatan, jumlah danah hibah untuk Pilkada itu disetujui KPU sebesar Rp180,4 miliar, dua kali bayar.
Pemilu di Indonesia sudah dimulai sejak Pilpres 2009, dan Pilpres 2014. Kemudian pada tahun 2015 dan 2016, diterapkan Pilkada serentak. Hal ini tertuang dalam Pasal 222, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang pencalonan Capres dan wakilnya, serta Pilkada di Indonesia.
Peraturan Presidential Threshold itu intinya menyatakan bahwa, partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan kursi di DPR/ DPRD paling sedikit 20 persen, atau memperoleh 25 persen dari suara sah dalam pemilu, dapat mengusung Balon Presiden dalam Pilpres, dan balon Gubernur, balon Bupati, balon Walikota dalam Pilkada.
Pilkada Serentak yang dilakukan di Indonesia sejak tahun 2015, di ikuti oleh 268 daerah, dan tahun 2016, di ikuti oleh 101 daerah, serta di tahun 2019 ini, diikuti oleh 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak pada 23 September 2020 nanti. Tetapi ironisnya, PilPres dan Pilkada secara langsung ini akan diubah melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ada pendapat, Pilpres, Pilkada secara langsung yang sudah berjalan selama 10 tahun ini perlu dievaluasi. Alasannya Pilkada langsung ini memiliki banyak kerugian, dan kekurangan yang akhirnya mereduksi demokrasi. Ada juga yang berpendapat, dari biaya yang mahal itu dikhawatirkan pemenangnya nanti dari kalangan tertentu saja.
Rencana prubahan, dari Pilpres dan Pilkada langsung, menjadi tidak langsung (ditangani Dewan Perwakilan Rakyat), tampaknya direspons oleh Partai-partai yang tergabung di koalisi Merah Putih, untuk wacana menghapus Pilkada langsung.
Sementara pihak ada yang beranggapan, peralihan dari Pilpres dan Pilkada langsung, dikembalikan melalui DPR, untuk mempertahankan “status quo.” Untuk itu, mereka mengusulkan kepala daerah kembali dipilih oleh para anggota DPR, seperti yang berlaku sebelum Era Reformasi. Namun, kebenaranya belum diketahui secara pasti.
DPR dianggap sebagai simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini merupakan sebuah cermin adanya dukungan awal yang kuat dari DPR.
Pilkada tidak langsung bisa melukai hati rakyat. Pilkada tidak langsung juga mencederai demokrasi. Pilkada tidak langsung akan menguntungkan parpol yang banyak memiliki anggota di DPR, dan pada gilirannya akan menguntungkan parpol tertentu. (Djohan).