7 Pengalaman Kena Catcall, Pernah Alami Ini Nggak?

Apakah kamu pernah mengalaminya? Jika iya, me too! (Photo by Shamia Casiano from Pexels)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Sejak SMA, saya senang sekali pulang jalan kaki. Jalan kaki jadi hobi menyenangkan, apalagi kalau bersama teman-teman. Sayangnya, jalanan nggak seaman yang dikira.

Saat SMP, saya pernah diganggu sekelompok sopir bus yang nongkrong di warung kopi. Itu terjadi di Balige, Sumatera Utara. Saat itu saya mau pergi ke warnet untuk cetak tugas. Bagaimana rasanya saat itu?

[WARNING! Tulisan ini mungkin akan memicu trauma. Bijaklah sebelum atau sesudah membaca]

1. Marah

Pengalaman kena catcall itu, jelas marah. Siapa sih yang nggak terganggu konsentrasinya saat kena catcall? Apalagi kondisi jalan trotoar sering berlubang, karena nggak ditutup ubin. Ditambah lagi misalnya banyak pasir yang bisa-bisa masuk ke sepatu atau sandal.

Bagaimana kalau terpeleset kalau ada sampah yang berserakan? Toh juga mengganggu konsentrasi kan?

Beruntung kini sudah banyak yang berani menghampiri pelaku catcalling. ?Catcaller memang harus dibuat malu, supaya sadar, tindakannya di jalanan itu bisa membahayakan keselamatan.

Sayangnya… kalau pelaku dalam gerombolan bagaimana menurutmu?

2. Kesal
Kesal mungkin bisa dilampiaskan dengan menggerutu, mengomel, dan memasang muka jutek. Apalagi mendapatkan pengalaman kena catcall. Sayangnya, kekesalan itu nggak semua lepas dilampiaskan. Paling hanya bisa bercerita. Mungkin ada juga yang langsung menghampiri pelaku, tapi bagaimana?

3. Maki
Memaki, mungkin hanya untuk sebagian orang. Namun, bisa menjadi alternatif untuk melampiaskan kekesalan. Waktu di-catcall sekelompok sopir bus itu, saya memaki dalam hati. Lalu merasa bersalah.

Kenapa nggak menghampirinya?

Saya belum punya kekuatan. Pengetahuan tentang hak rasa aman di jalan, menghadapi orang asing, dan yang berkaitan itu masih minim. Ibu saya hanya mengajarkan, kalau ada orang asing yang menyapa di jalan, jangan dibalas. Tatap matanya. Lalu jauhi atau abaikan.

4. Kutuk
Mengutuk adalah tindakan yang paling bisa saya lakukan saat SMA. Saya bukan yang rajin beribadah, tapi saya yakin doa akan menunjukkan jalan. Sambil berdoa, sambil mengutuk agar para pelaku dapat balasan. Paling nggak sekarang, nanti.

5. Tatap balik
Saat kuliah, saya coba magang. Alhamdulillah dapat satu kantor yang bersedia menerima. Saya bekerja sebagai periset foto dan belajar meliput foto berita di lapangan. Di sinilah saya trigger atas trauma-trauma pengalaman kena catcall.

Waktu itu, hari terakhir magang liputan di sebuah lembaga anti rasuah. Seperti biasa, bawaan barang cukup berat. Nggak sanggup lagi deh mikir berat-berat. Saya bergegas supaya pak ojek online (ojol) nggak menunggu lama. Tiba-tiba dari arah turunan, saya dengar siulan.

Langkah saya terhenti dan putar balik. Saya tatap balik pelaku. Meskipun gelap, saya harus pastikan siapa pelakunya. Kepala pusing, laper hhh. Ganggu! Kalau lensa tele masih lengket di kamera, bye!

Persisnya lupa si pelaku bilang apa. Saya sampai kepikiran di motor ojol. Siapa sih orangnya? Apa salah saya? Saya yakin betul kalau itu satpam. Tapi saya juga yakin kalau itu wartawan. Eh eh, terus siapa?

6. Freezing
Diam, membeku, atau freezing ternyata juga perlawanan. Tubuh manusia dirancang untuk melawan musuh yang datang spontan. Termasuk pelecehan ke ranah kontak fisik.

Masih di satu lokasi, ada satu videografer menyambut saya. Tetapi, dia justru menyentuh pundak dengan sok akrabnya. I feel so disgrace. No consent atau izin. Padahal, mengobrol saja jarang. Bisa kan cukup say hi saja?

Nggak habis pikir, bagaimana ya dengan teman-teman di sana? Mengetik cerita ini juga merinding. Kenapa bisa ya mendapatkan pengalaman kena catcall seperti ini?

7. Lapor dan cerita
Butuh waktu 3-4 bulan untuk menceritakan ini ke Instagram Never Okay Project @neverokayproject. Akun ini menginisiasi untuk melawan pelecehan seksual di tempat kerja. Butuh 2 bulan juga saya akhirnya konsul ke psikolog di klinik kampus.

Tetapi, butuh berbulan-bulan pula pergi sendiri. Mencoba, benar nggak sih jalanan itu nggak aman? Saya coba ke daerah Ancol, Jakarta Utara (yang mungkin nggak aman buat sebagian orang) untuk latihan memotret jalanan.

Memang ada catcall. Lebih ke, menatap janggal. Seharian itu rasanya capek betul bermuka jutek.

8. Repeat
Marah, kesal, maki, kutuk, tatap balik, cerita, repeat. Saat saya dan teman-teman berwisata ke Kampung Pelangi Semarang, ada bapak-bapak menggoda kami dari arah kompleks kuburan.

“Kamera, kamera, kamera!” ujarnya sambil tertawa. Padahal sedang di kuburan warga dan tempat wisata pula!

Kalau masih ada orang bertanya soal pakaian. Pakaian kami nggak menyalahi aturan. Semua berkerudung. Bahkan ada dua orang teman berkerudung panjang sekali. Eh alah, tetap juga!

Jadi, salah siapa? Yuk cerita pengalaman, tanggapan, dan kemarahanmu di kolom komentar! Siapa pun yang pernah mengalaminya, kamu berharga. Kamu nggak salah   

Terima kasih sudah bertahan dan bercerita.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.