Akar Kemiskinan, Bagaikan Tembok Cebong dan Kadrun

Ilustrasi (Twitter/KomikKita)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Dipikir-pikir, apa yang salah dengan ketertinggalan ekonomi muslim di Indonesia. Ada yang bilang ekonomi syariah. Dengan logika konsumennya muslim, ada 200 juta muslim. Tapi tetap saja ada ketimpangan pendapatan. Kenapa?

Ada yang menyalahkan ilmu pengetahuan muslim yang ketinggalan. Tidak.

1. Semua bermula dari miskin. Setiap konglomerat di Indonesia mulai dari miskin. Zaman Belanda semua miskin. Zaman Jepang apalagi.. Semua pakai kain blacu, bahan karung terigu. Zaman itu hanya kapiten bahan tetoron, atau katun. Sisanya blacu. Kain terigu.

2. Kemarin saya bertemu dengan direktur utama BSD bersama cawalkot Tangsel. Ya, lika-liku kami bisa bertemu dengan direktur adalah melalui tetangga saya ketua komunitas muslim, dan ketua paguyuban musolah dan masjid se-Banten. Padahal sosok cawalkot rumahnya di ujung batas terjauh Ciputat dengan Serpong. Ya, miskin.

Kenapa dia bisa ambisi jadi cawalkot. Bukan karena dia kaya, atau berada. Tapi dia disokong oleh orang orang kaya.

Jadi akar kemiskinan adalah adanya tembok cluster. Adanya tembok real estate, bahwa ada yang di dalam dan di luar tembok. Sampai Via Vallen beranak tujuh tembok ini membatas antara kaya miskin.

Tembok cebong kadrun

Apalagi yang namanya 212, sebelah sana mengecap awas radikal, awas kadrun. Seolah olah ini bangsa mongol lawan Cina.

Sebelah sini, awas aseng. Jangankan aseng lawan kadrun, sesama Banten calon walikota dinasti Ratu Atut. Lawan dinasti Kyai Ma”aruf tempur.

Dinasti Ciputat, dinasti Benyamin Sueb lawan dinasti Sekda sekretaris daerah Tangsel tempur. Alhasil menjadi tembok.  (Penulis: Goenardjoadi Goenawan, Kepala Divisi Ekonomi NSI Nawacita Sosial inisiatif)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.