Nasionalisme Vaksin dari Sudut Pandang Ekonomi

Vaksinasi global merupakan upaya menciptakan herd immunity yang inklusif, Sumber: unsplash.com, steven cornfield
Sumber :
  • vstory

VIVA – Istilah nasionalisme vaksin mulai populer akhir-akhir ini seiring dengan adanya embargo vaksin AstraZeneca buatan India ke sejumlah negara termasuk Indonesia dengan dalih mengutamakan penciptaan herd immunity domestik karena kasus tsunami covid-19 di India.

Walaupun pada akhirnya embargo vaksin AstraZeneca ke Indonesia dicabut pada akhir April 2021, namun isu nasionalisme vaksin terus berhembus menjadi isu liar di dunia internasional.

Nasionalisme vaksin terjadi ketika pemerintah menandatangani perjanjian dengan perusahaan farmasi untuk memasok vaksin bagi populasi mereka sendiri baru kemudian menyediakan untuk negara lain.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan keprihatinannya tentang nasionalisme vaksin ini karena kesepakatan sepihak dari negara-negara produsen tersebut akan membuat vaksin tidak dapat diakses oleh mereka yang berada di beberapa bagian termiskin di dunia.

Sebenarnya tindakan WHO dengan mengusahakan vaksin global yang diinisiasi oleh COVAX (COVID-19 Vaccines Global Access) bisa memberikan angin segar. COVAX merupakan fasilitas global yang didirikan pada April tahun lalu untuk mempercepat pengembangan obat-obatan COVID-19, pengembangan vaksin dan pendistribusian vaksin yang adil.

Sejauh ini, lebih dari 172 negara telah mendaftar ke COVAX. Melalui COVAX diharapkan sejumlah negara mengikuti rencana untuk mendistribusikan vaksin secara adil untuk mencegah penimbunan demi kepentingan pribadi di tingkat nasional.

Namun, alih-alih memprioritaskan pendekatan kolektif dan re-distribusi vaksin melalui COVAX, serbuan nasionalisme vaksin telah mengacaukan segalanya. Hampir 13 miliar dosis berbagai vaksin telah dibeli dalam beberapa bulan terakhir, sebagian besar melalui kesepakatan bilateral antara negara-negara tertentu dan perusahaan farmasi swasta.

Pola pikir nasionalisme vaksin yang sempit sejatinya juga berimbas negatif bagi upaya penanggulangan wabah covid-19 secara umum. Jika vaksinasi dominan dilakukan pada negara-negara yang membeli sebagian besar pasokan vaksin, itu berarti virus akan terus menyebar di negara-negara non-vaksinasi. Semakin banyak orang yang terinfeksi, semakin besar pula kemungkinan terjadi mutasi.

Dalam sudut pandang ekonomi, keuntungan terciptanya herd immunity bisa dilihat dari aspek perekonomian dalam negeri dan perdagangan internasional. Dari aspek perekonomian dalam negeri tentu herd immunity akan memberi harapan penghidupan yang lebih baik.

Dengan adanya herd immunity maka faktor ketidakpastian dalam ekonomi bisa sedikit teratasi sehingga investasi bisa kembali pulih. Namun demikian, pada masa ekonomi modern seperti sekarang, suatu negara tidak akan mampu menerapkan kebijakan autarki (tanpa perdagangan internasional) dalam perekonomiannya.

Setiap negara tentu ingin ekonominya segera pulih dan kembali mengambil peran dalam perdagangan global. Perlombaan ini tidak hanya tentang siapa yang akan mencapai kekebalan kawanan terlebih dahulu, tetapi juga siapa yang akan memanfaatkan kesempatan terbaik untuk mendominasi perdagangan internasional kembali.

Namun sebenarnya nasionalisme vaksin ini justru merugikan perdagangan internasional. Hal ini terjadi karena negara kapitalis yang memborong vaksin tentu nilai ekspor dan impornya tidak akan langsung pulih seperti sedia kala sebelum negara mitra dagangnya pulih.

Sebagai gambaran, seandainya China yang saat ini berhasil menjadi negara terdepan dalam recovery covid-19 berhasil melakukan vaksinasi penuh sedangkan Indonesia tidak maksimal dalam vaksinasi, maka nilai ekspor China ke Indonesia tentu lebih rendah dibandingkan bila Indonesia berhasil melakukan vaksinasi penuh.

Hal serupa juga terjadi pada impor China mengingat rantai pasok global saat ini saling terkait antar negara. Oleh karena itu, proses pemulihan dan penciptaan herd immunity secara bersamaan seharusnya lebih dikedepankan dibandingkan semangat nasionalisme.

Realitanya, karena penanganan pandemi antara Cina dan Indonesia relatif terkendali belakangan ini maka neraca perdagangan kedua negara relatif terkendali. Berdasarkan rilis data BPS terbaru, China tercatat sebagai negara yang mendominasi neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2021. Nilai total ekspor Indonesia pada Maret 2021 ke sejumlah negara mencapai US$ 18,35 miliar atau naik 30.47% (year on year), dimana sekitar seperlima dari nilai ekspor tersebut menuju negara tirai bambu. 

Ditengah pandemi seperti sekarang, vaksinasi tidak ubahnya seperti economic policy yang secara tradisional hanya dikenal melalui kebijakan moneter dan fiskal. Vaksinasi seakan pemberian stimulus ekonomi yang digelontorkan ke sektor riil.

Stimulus ekonomi konvensional yang digelontorkan untuk menahan kejatuhan ekonomi terasa tidak efisien bila faktor safety dari covid-19 belum terwujud. Saat ini mulai ada sebuah pameo yang berbunyi “no one is safe until everyone is safe” yang menyindir bagaimana kebersamaan untuk pulih itu harus menjadi prioritas bersama.

Negara maju saat ini perlu berpikir bijak melalui keadilan vaksin demi menciptakan stimulus ekonomi yang kuat dan hemat biaya yaitu vaksinasi global yang inklusif. Pemulihan secara bersama-sama cenderung akan menguntungkan bagi semuanya dibandingkan egoisme ekonomi. (Penulis: Eri Kuntoro, SST, M.Si, Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Bantul)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.