Tarif Listrik Tidak Mendesak Naik, Ini Alasannya

Petugas PLN saat memeriksa meteran listrik di suatu rumah susun di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA – Dalam beberapa hari terakhir sempat merebak isu bahwa pemerintah akan menaikkan tarif listrik dalam waktu dekat. Kenaikan itu dikaitkan dengan rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan reformulasi penetapan tarif listrik.

Tolak Tarif Listrik Naik di 2022, Bambang Haryo: Termahal Sedunia

Padahal, Menteri ESDM Ignasius Jonan sudah berulangkali menekankan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan tarif listrik untuk semua golongan pelanggan PT PLN, baik bersubsidi maupun non-subsidi.

Keputusan tersebut berlaku pada periode 1 Januari hingga 31 Maret 2018. Tujuan utamanya yaitu, selain untuk mengendalikan inflasi, juga menjaga daya beli masyarakat yang sedang melemah.

Anggota DPR Protes Harga Elpiji, BBM hingga Tarif Listrik di 2022

Pengamat ekonomi energi UGM dan mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi, mengatakan, merebaknya isu kenaikan tarif listrik, yang cenderung menyesatkan itu, sangat berbahaya. Sebab, isu kenaikan tarif listrik berpotensi memicu inflasi.

Bahkan, lanjut dia, gejolak inflasi akan terjadi, sebelum tarif listrik benar-benar diputuskan untuk dinaikkan. Karena, akan memicu harga kebutuhan pokok dan akhirnya rakyat kecil yang paling menderita menanggung beban kenaikan harga.

Pajak Karbon Bisa Buat Harga BBM hingga Elpiji Naik, Ini Hitungannya

"Tidak bisa dihindari, peningkatan inflasi itu akan menambah jumlah rakyat miskin, yang selama tiga tahun ini sudah menurun jumlahnya," tutur Radhi, dalam keterangan tertulisnya, Selasa 30 Januari 2018.
 
Menurut dia, isu reformulasi itu sebenarnya sangat wajar dilakukan oleh pemerintah saat ini, mengingat formula yang ditetapkan sudah tidak sesuai lagi kondisi ekonomi sekarang.  

Selama ini, kata dia, formula penetapan tarif hanya dengan memasukkan tiga variabel utama, yakni inflasi, kurs rupiah, dan Indonesia Crude Oil Price (ICP). Adanya variabel ICP itu lantaran besarnya pembangkit listrik tenaga diesel.

Sementara itu, untuk saat ini sudah berubah, dengan penggunaan tenaga diesel kini tinggal enam persen dari total energi primer. Untuk penggunaan energi batu bara meningkat pesat hingga mencapai 57 persen.

Atas dasar itu, Radhi menilai formula penetapan tarif listrik itu sudah tidak lagi relevan. Perlu reformulasi yang memasukkan Harga Batu Bara Acuan (HBA), selain ICP dalam formula baru.  

Namun, di tengah kenaikan harga batu bara yang melambung, Radhi menilai masuknya HBA tak serta merta menaikkan tarif listrik. Sebab, pemerintah bisa saja menetapkan tarif listrik tidak dinaikkan dengan pertimbangan tertentu.

Seperti, pertimbangannya agar tarif listrik terjangkau dan industri dalam negeri lebih kompetitif dalam bersaing di pasar global. Selain itu, lebih mendahulukan kepentingan penurunan inflasi dan kenaikan daya beli rakyat.

"Konsekuensinya memang beban PLN akan semakin berat lantaran tarif listrik tidak dinaikkan. Namun, pemerintah bisa menempuh upaya mengendalikan harga batu bara dengan menetapkan HBA dalam skema Domestic Market Obligation (DMO)," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya