Kemenkeu Akui Ada Celah PNBP Sumber Daya Alam Bisa Rugikan Negara

Lubang tambang dalam batu bara milik PT Tahiti Coal di Desa Sikalang Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Kementerian Keuangan mengakui adanya ketidaktepatan pengitungan antara potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh dari Sumber Daya Alam (SDA) dengan biaya yang harus ditanggung negara. Khususnya terkait kesinambungan lingkungan yang harus di tanggung bila di eksploitasi secara besar-besaran.

Daerah yang Suskes Kelola Dana Desa Dapat Bonus hingga Rp 150 Juta, Kemenkeu Kasih Bukti

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata mengatakan, selama ini, perhitungan PNBP SDA yang masuk ke dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara atau APBN, hanya diperhitungkan sebatas besaran nilai penerimaan dan potensinya.

Namun begitu, untuk potensi biaya yang harus di tanggung negara, terkait nilai SDA yang terus dikeruk secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan, belum diperhitungkan secara merinci dan mendalam. Akibatnya potensi kerugian di masa depan untuk pemanfaatan SDA belum bisa diperhitungkan dibanding besaran PNBP yang diterima.

Sri Mulyani Ungkap APBN Surplus Rp 8,1 Triliun hingga Maret 2024

"Potensi kita hanya lihat satu sisi, kita lupa perhitungkan sisi lain. Bukan cost ekstraksi tapi cost kehilangan manfaat lain dari pembukaan lahan dan sebagainya. Kita harus ketahui neracanya karena potensinya harus kita lihat dari dua sisi," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu, 25 September 2019.

Sering kali lanjut dia, perhitungan pungutan dari setiap SDA yang dimanfaatkan berbagai perusahaan, seperti sektor mineral dan batu bara ataupun sektor perkebunan dan hutan dipatok berdasarkan harga pasar internasional. Padahal besaran nominal pungutan itu dikatakannya tidak sesuai dengan nilai potensi SDA yang dimiliki.

Wamenkeu: Konflik Israel Vs Iran Kita Perhatikan Sangat Serius 

"Kita lihat referensi market internasional berapa yang pantas kita charge sebagai royalti pertambangn tapi kita lupa saat penambangan dilakukan mengubah hutan jadi perkebunan, kita kehilangan potensi lain dari alam," tegasnya.

Akibatnya, target penerimaan PNBP selama ini selalu jauh lebih rendah dari realisasi yang dibayarkan. Misalnya, penerimaan dari minyak bumi yang ditargetkan Rp59,6 triliun, yang diterima Rp104,6 triliun, melonjak 175,6 persen dari target. Begitu juga dengan gas alam, dari target Rp20,8 triliun yang di dapatkan Rp38,7 triliun, non-migas targetnya Rp17,9 triliun, realisasinya jadi Rp30,3 triliun.

"Ini yang nampaknya perlu kita dalami, kita cermat dalam melihat atau kaji kebijakan PNBP ini, jangan sampai kita senang kenaikan PNBP tapi sesungguhnya merupakan loss yang tidak kita hitung dan kita alami potensial loss disitu," tutur dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya