VIVAnews - Pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dinilai berupaya menekan Indonesia menerima pinjaman pendanaan sektor infrastruktur kelistrikan di Tanah Air.
Menurut pengamat ekonomi-politik Ichsanuddin Noorsy, JBIC menawarkan dana investasi yang harganya melampaui patokan kelaziman (overpricing) dibandingkan yang ditawarkan pihak lain.
"Bantuan yang diberikan negara donor, termasuk JBIC, kendati pinjaman lunak, sebenarnya adalah pemanis. Sebagian besar uang kreditor berupa pinjaman, baik proyek maupun program, yang disertai persyaratan ketat, mengikat dan menyulitkan," ujarnyanya di Jakarta, 24 Januari 2010.
Ichsan mengakui, lembaga-lembaga donor seperti JBIC selalu menanamkan orangnya di pusat-pusat kekuasaan untuk melancarkan bisnisnya. Tentunya, JBIC memainkan peranan penting untuk melobi agar proyek-proyek yang ekonomis, termasuk sektor kelistrikan, mendapat pendanaan dari mereka.
"Bentuk intervensi pemerintah seperti ini kerap digunakan untuk melindungi industrialis Jepang dari keharusan melakukan persaingan bebas di negara berkembang. Makanya, kalau kita cermati anggaran pembangunan infrastruktur yang ditawarkan oleh asing, termasuk JBIC selalu cenderung lebih mahal," ujarnya.
Di sisi lain, kata dia,penggunaan dana asing berpotensi memboroskan keuangan negara. Potensi pemborosan juga terjadi pada proyek PLTA Asahan 3 jika didanai oleh JBIC. Dia mengaku telah melakukan kajian pada proyek PLTA Asahan 1 dan 2. "Semua itu Jepang yang garap, ada PT Inalum di sana. Mereka melakukan overpricing juga, tapi pemerintah tak bisa berbuat apa-apa," tutur Ichsan.
Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Atmajaya A Prasetyantoko PhD mengatakan sebagian besar bantuan pinjaman Jepang, khususnya JBIC, diarahkan ke proyek infrastruktur. Sebab, infrastruktur sering dianggap sebagai area pemerintah dan karenanya lebih mudah mempengaruhi melalui skema pinjaman government to government (G to G). Padahal semestinya pemerintah lebih berhati-hati.
"Skema G to G layak dilaksanakan untuk pembangunan infrastruktur, di mana swasta tidak tertarik karena alasan keekonomian. Sementara itu, pengembangan infrastruktur di mana swasta tertarik, pemerintah akan lebih baik mempergunakan skema Kemitraan Pemerintah dan Swasta (public private partnership/PPP),"ujarnya.
Menurut dia, pemerintah bisa memerintahkan BUMN tertentu untuk bekerja sama dan menggandeng pihak swasta yang kredibel, dengan kemampuan pendanaan yang kuat untuk melaksanakannya.
Menurus Pras, jika PLN bersedia menggandeng swasta yg kredibel, hal itu tidak perlu menambah utang yang akhirnya akan membebani APBN. Pemerintah juga mendapatkan investasi yang lebih murah serta terbebas dari risiko cost overrun.
antique.putra@vivanews.com