Kembalikan Kejayaan Industri Tekstil, Pemerintah Harus Benahi Ini

Industri Tekstil Bandung
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

VIVA – Industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia, saat ini terpuruk atau berbanding terbalik dengan masa kejayaannya pada tahun 1980-an. Pemerintah dinilai, harus serius membenahi regulasi yang ada, agar industri tekstil di Indonesia kembali berjaya. 

Industri Tekstil Diyakini Jadi Salah Satu Benteng RI Hadapi Tekananan Ekonomi Global, Ini Alasannya

Berdasarkan catatan Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), saat ini banyak industri tekstil yang kalah bersaing dengan barang impor dari Tiongkok, yang mutunya lebih bagus dan harganya lebih murah.

Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan, pihaknya memiliki sejumlah rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah ke depan. Pertama, adalah impor TPT harus direm dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan industri di hulunya.

Industri Tekstil Berpeluang Raup Cuan di Pemilu 2024

"Kemudian, jangan impor produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, itu kan susah nantinya industri tekstil dalam negeri," kata Esther di Jakarta, Rabu 30 Oktober 2019. 

Rekomendasi selanjutnya, dia mengatakan, pemerintah perlu memberi insentif fiskal untuk mendorong ekspor. Menurutnya, Indonesia sangat mampu untuk hal ini karena pernah mencapai masa kejayaan pada tahun 1980-1990-an.

Pro Ramah Lingkungan, Industri Tekstil Perkuat Ekosistem Produksi Hijau

"Orientasi strateginya adalah kebijakan substitusi impor. Artinya, insentif fiskal untuk mendorong ekspor itu harus dijalankan juga," ucap dia.

Dia pun membantah anggapan bahwa pabrik TPT di Indonesia saat ini, kalah bersaing dengan negara lain. Hanya saja, belum ada upaya serius untuk mendorong industri tekstil Indonesia ini 'go internasional'

"Kalau misalnya ke toko pakaian merek branded, itu dia Made in Bangladesh, Made in China, Made In Vietnam. Saya enggak pernah nemuin di Eropa, untuk produk yang Made in Indonesia, enggak pernah. Bukannya jarang, tetapi enggak pernah," kata dia 

Dia mengatakan, terkait arus logistik barang impor sepatutnya jadi perhatian bagi Ditjen Bea Cukai. "Harusnya, Bea Cukai itu menjadi pengaman. Tapi malah, karena dwelling time-nya tinggi, akhirnya dianggap ya sudahlah dilolosin aja, dipercepat, itu kan enggak benar juga," kata dia.

Di sisi lain, dia mengatakan bahwa biaya berbisnis (cost of doing business) di Indonesia masih tinggi seperti yang dilaporkan oleh para asosiasi. Hal ini juga harus jadi catatan Pemerintah.

"Terus regulasi limbah juga dianggap hambatan. Karena, regulasi limbah kita itu lebih tinggi daripada Eropa. Padahal, kita samain aja dengan Eropa, kita sudah megap megap, apalagi lebih tinggi. Kan, enggak fair," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya