VIVAnews - Peluang pemerintah Indonesia menegosiasikan ulang perjanjian perdagangan bebas antara Asean dan China (CAFTA) dapat dilakukan jika pemerintah mengangkat isu depresiasi mata uang China (yuan) terhadap rupiah selama setahun terakhir.
"Indonesia bisa mendesak negosiasi karena adanya depresiasi," kata Kepala Riset PT Recapital Securities Poltak Hotradero dalam media briefing Economic Outlook 2010 di Hotel Shangrila, Jakarta, Rabu, 27 Januari 2010.
Data Recapital mencatat, mata uang China terhadap tiga mata uang negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Brasil sejak setahun terakhir terus mengalami depresiasi.
Untuk mata uang rupiah, depresiasi yuan tercatat mencapai 17-18 persen, rupee India (6 persen), dan real Brasil (22 persen).
Terjadinya depresiasi tersebut menyebabkan harga barang ekspor dari Indonesia ke China lebih tinggi sebesar 17-18 persen. Sementara itu, barang China yang masuk ke Indonesia sebenarnya lebih rendah dengan nilai setara dengan tingkat depresiasi tersebut.
"Ini bisa menjadikan landasan cukup kuat guna melakukan renegosiasi," ujarnya.
Renegosiasi yang dimaksud bisa menyangkut permintaan pemerintah Indonesia agar China diwajibkan menyerap barang dari Indonesia sebesar 17-18 persen.
Poltak mengatakan, langkah tersebut diterapkan oleh pemerintah India yang sudah merenegosiasikan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan negara Tirai Bambu tersebut.
"Meski harus disadari juga jumlah penduduk mungkin menjadi pertimbangan antara kedua negara," kata dia.
Poltak memperkirakan pelemahan nilai tukar yuan tersebut kemungkinan disengaja pemerintah China. Hal tersebut dilakukan agar pemerintah mampu menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi negaranya.
Padahal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah memerintahkan China untuk menjaga agar nilai tukar mata uangnya terus menguat.
"Mengapa di tengah pertumbuhan ekonomi China yang terus meningkat tapi mata uangnya mengalami depresiasi," katanya.
Hal tersebut, ujar Poltak, kemungkinan dilakukan agar pertumbuhan ekspor negaranya masih dapat terus tumbuh.
Sebagai informasi, China menggantungkan pertumbuhan ekonominya dari kegiatan ekspor karena konsumsi rumah tangga di dalam negerinya hanya menyumbang sekitar 30 persen pada pertumbuhan ekonomi.
arinto.wibowo@vivanews.com