Agar Kasus Asuransi Jiwasraya Tak Berulang, Ini Tuntutan Asosiasi

JIwasraya.
Sumber :
  • ANTARA FOTO

VIVA – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia atau AAJI, mendorong pemerintah untuk segera membentuk Lembaga Penjamin Pemegang Polis/LPPP, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Perasuransian Nomor 40 tahun 2014.

Lelang Hasil Sitaan Kemenkeu Paling Mahal Aset Jiwasraya

Itu supaya, kasus seperti yang terjadi di PT Asuranai Jiwasraya tidak lagi terulang.

Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu mengatakan, terkait upaya penyelesaian kasus Jiwasraya, AAJI sangat menghormati dan mendukung upaya strategis yang dilakukan oleh pemerintah dan badan-badan terkait untuk melindungi kepentingan nasabah, mencegah kerugian nasabah yang lebih besar lagi, serta terus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan, khususnya asuransi.

Pemegang Polis Tolak Restrukturisasi, Jiwasraya Diultimatum OJK

"Sejalan dengan upaya pemerintah menyelesaikan permasalahan Jiwasraya, sehingga pemenuhan kewajiban pembayaran kepada nasabah dapat segera dilaksanakan, AAJI mendorong agar pemerintah dapat segera melaksanakan dan membentuk Lembaga Penjamin Pemegang Polis, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Perasuransian," kata dia melalui siaran pers, Rabu 22 Januari 2020.

Di samping itu, lanjut dia, AAJI berharap agar pemerintah terus melaksanakan pengawasan berbasis risiko secara intensif dan efektif sebagai upaya deteksi dini terhadap potensi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya kepada nasabahnya, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara tepat.

Penyelamatan Polis Jiwasraya Rampung, Erick: 99,7 Persen Polis Beralih ke IFG Life

"AAJI selalu siap bekerja bersama dengan pemerintah dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan kondusif bagi industri asuransi jiwa, meningkatkan perlindungan terhadap nasabah (pemegang polis), serta melaksanakan program literasi dan inklusi keuangan yang terukur dan berkelanjutan," ungkap Togar.

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan bahwa pemerintah mengakui pembentukan Lembaga Penjaminan Polis Asuransi pada dasarnya telah diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Namun, hingga saat ini belum terealisasi. Lanjut dia, lantaran perlu melalui proses politik yang cukup panjang, karena merupakan amanat undang-undang. Pemerintah tidak bisa serta merta membentuk lembaga tersebut tanpa adanya kajian dan izin dari DPR.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menilai, pembentukan lembaga tersebut seharusnya dilakukan pada saat reformasi industri keuangan non-bank, termasuk asuransi yang telah dijalankan sejak 2018, selesai dilakukan dan menciptakan ekosistem yang baik.

Sebab, menurutnya, Lembaga Penjamin Simpanan saja hadir setelah reformasi industri keuangan bank berhasil dilakukan setelah dilakukan selama lima tahun pascakrisis keuangan pada 1998. Karenanya, dia menegaskan, lembaga tersebut tidak akan memberikan dampak positif bagi industri jika ekosistem industrinya tidak sehat terlebih dahulu.

Produk Saving Plan Sudah Lama

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia atau AAJI, Togar Pasaribu mengatakan bahwa produk saving plan, merupakan salah satu produk yang tidak hanya dimiliki oleh sebuah industri asuransi semata. Melainkan, juga dimiliki banyak industri lain, bahkan di negara lain.

Kata dia, produk saving plan merupakan salah satu alternatif pilihan dari produk-produk asuransi jiwa seperti asuransi perlindungan kecelakaan, asuransi jiwa berjangka, asuransi jiwa seumur hidup, asuransi dwiguna, asuransi kesehatan, asuransi penyakit kritis, dan unit-link yang tersedia bagi masyarakat untuk melindungi diri dan keluarganya.

"Terkait produk yang banyak dibicarakan masyarakat saat ini (saving plan), perlu kami sampaikan bahwa produk saving plan sudah dikenal di industri asuransi jiwa di Indonesia, sejak pertengahan tahun 90-an. Produk serupa, juga ditemui di industri asuransi jiwa di banyak negara lain," kata dia.

Produk saving plan, menurutnya, bermanfaat dengan memberikan perlindungan terhadap risiko jiwa sekaligus memberikan tambahan manfaat investasi saat akhir kontrak asuransi atau apabila terdapat penghentian pertanggungan.

"Apakah ada nilai investasi dari premi yang dibayarkan atau murni proteksi, semua diserahkan kepada masyarakat untuk memilih produk yang sesuai dengan kebutuhan," tuturnya.

Sebelumnya, Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa produk saving plan yang diluncurkan PT Asuransi Jiwasraya sejak 2013, memiliki permasalahan atau penyimpangan. Akibatnya produk tersebut menjadi salah satu penyebab perusahaan asuransi pelat merah tersebut gagal bayar polis pada 2018.

Ketua BPK, Agung Firman Sampurna menjelaskan, produk saving plan tersebut pada dasarnya merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di Jiwasraya sejak 2015. Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return yang sangat tinggi dengan tambahan manfaat asuransi.

"(Namun) ada penjualan saving plan, BPK menemukan penyimpangan," kata dia, saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020.

Penyimpangan pertama, kata dia, penunjukkan pejabat Kepala Pusat Bancassurance pada SPV pusat bancassurance tidak sesuai ketentuan. Pengajuan Cost of Fund (COF) langsung kepada direksi, tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak didasarkan pada dokumen perhitungan COF dan review usulan COF.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya