China Gagal Setop Rasisme, Warga Afrika Tidur di Jalanan karena Corona

Ilustrasi Gladys Ngwenya (77), perempuan asal Afrika Selatan yang berlatih tinju di Boxing Gogos menunjukkan gayanya saat bertinju.
Sumber :
  • theguardian/Kim Ludbrook/EPA

VIVA – Warga Afrika di Guangzhou, China mengalami diskriminasi karena dianggap takut menularkan virus Corona Covid-19. Mereka ditolak masuk hotel, toko, restoran dan terpaksa tidur di jalanan.

Krisis Ekonomi, Pemerintah China Lakukan Penghematan Ketat

Rasisme ini menjadi ironi karena di tengah upaya pihak China meyakinkan pemerintah sejumlah negara Afrika bahwa diskriminasi ini akan berhenti. Perlakuan rasis di Guangzhou pun sudah direspons negatif dan memunculkan kemarahan di Afrika.

Dikutip dari The Guardian, Rabu, 29 April 2020, beberapa negara Afrika sudah melayangkan protes terhadap China. Mereka sangat keberatan perlakuan yang dialami warganya seperti di Guangzhou.

AS dan Inggris Sebut China Lakukan Hal Mengerikan Ini, Korbannya Jutaan

Laporan The Guardian yang menghubungi sejumlah orang Afrika di China membenarkan peristiwa rasis tersebut. Sikap sentimen warga China karena kecemasan orang Afrika berpotensi pembawa virus Covid-19. Padahal, mereka bersih dari virus mematikan itu.

Misalnya pengakuan salah seorang pengusaha Nigeria yang sudah tinggal di Guangzhou selama setahun, Frank Nnabugwu. Ia menceritakan tak diizinkan kembali ke hotelnya pekan lalu padahal sudah menjalani karantina selama 14 hari. 

Mobil SUV Mewah China Tantang Mercedes-Benz dan BMW di Jerman

“Penjaga keamanan mengatakan kepada kami. Tidak ada orang asing diizinkan. Saya kesal, sangat kesal. Saya tidur di jalan," ujar Nnabugwu.

Nnabugwu pun harus dibantu polisi untuk bisa mendapatkan sebuah kamar hotel. Tapi, ada cerita pilu lain yang ia alami. Saat memesan makanan di hotel lewat resepsionis maka tak akan dilayani oleh perusahaan pengiriman makanan. Sebab, mereka tahu yang memesan adalah warga Afrika.

"Jika mereka tahu itu orang asing yang pesan makanan, mereka tak mau datang. Anda juga enggak bisa beli apa pun di toko. Anda masuk, mereka akan mengusir Anda," ujarnya.

Pun, hal sama dialami warga Afrika lain asal Ethiopia, Kidus Mulugeta. Ia mengatakan sudah di China sejak empat tahun lalu untuk kuliah teknik mesin di Guangzhou. Dia punya pengalaman yang kontras antara selama di karantina dan sesudahnya.

"Kami diperlakukan dengan baik di karantina. Lalu ketika kami keluar, semuanya berbeda sudah tidak nyaman. Orang China seperti berubah pikiran," tuturnya.

Petugas Bandara China memeriksa penumpang terkait merebaknya wabah Corona.

Mulugeta mengaku mustahil menyewa akomodasi hotel dan bisa tak diperbolehkan masuk ke supermarket. "Tapi jika orang Rusia atau Eropa, mereka izinkan orang kulit putih itu masuk," katanya.

Begitu juga seorang mahasiswa jurusan ilmu komputer asal Ghana yang mengatakan jika berhasil masuk hotel maka akan ada karantina wajib dan uji tes Corona lebih dari lima kali. Ia mengaku sudah ditolak masuk oleh 13 hotel. Tidur di jalanan pun jadi pilihannya.

“Saya telah ditolak masuk ke tempat-tempat umum, ditolak restoran. Semua tes yang mereka lakukan ke saya ternyata negatif," sebutnya.

Otoritas China yang selesai menerapkan kebijakan lockdown memang membatasi penerbangan internasional. Kemudian, China juga masih ketat dengan tak mengizinkan hampir setiap orang masuk negara tersebut. China juga menyediakan karantina wajib terpusat wajib bagi warganya yang dari luar negeri. 

Karena kewaspadaan seperti itu memunculkan sikap xenophobia terhadap orang-orang dari negara lain. Kini, warga Afrika di China yang menanggung bebannya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya