Cukai Tinggi, Ratusan Industri Rokok Bangkrut

VIVAnews - Ratusan industri rokok rumahan terpaksa gulung tikar karena tingginya tarif cukai. Saat ini, jumlah industri rokok menyusut menjadi sekitar tiga ribu perusahaan dari sebelumnya mencapai 3.255 perusahaan pada 2009.
 
"Sebagian yang tutup itu industri rumahan yang banyak ditindak karena tidak taat pada aturan cukai," kata Direktur Industri Minuman dan Tembakau Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian Warsono ketika ditemui wartawan di kantornya, Senin 15 Maret 2010.
 
Ribuan industri rokok terkonsentrasi di Jawa Timur atau hampir 70 persen. Sementara itu, sisanya sebanyak 20-30 persen di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Sumatera Utara.
 
"Hampir semua ada di seluruh kabupaten di Jawa Timur. Kalau di Jawa Tengah, ada di Kudus, Jepara, Solo, dan Semarang. Di Jawa Barat sedang ada ekspansi Sampoerna di Karawang, dan di Sumatera Utara terpusat di Pematang Siantar," ujarnya.

Warsono menjelaskan, industri rokok masuk dalam daftar industri yang terbuka namun bersyarat. Artinya, jika ada investor asing yang akan masuk ke industri rokok, mereka harus bermitra dengan perusahaan lokal.

Secara bertahap, industri rokok akan masuk dalam daftar negatif investasi (DNI).

Karena aturan bebas bersyarat tersebut, dia menambahkan, industri rokok baru tidak akan bermunculan. Kalaupun ada pertumbuhan hanya ekspansi dari produsen rokok yang sudah eksis, seperti yang dilakukan PT Gudang Garam Tbk, PT HM Sampoerna Tbk, dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk baru-baru ini.

Industri ini telah menyerap sebanyak enam ribu tenaga kerja langsung di pabrik dan 6,1 juta orang pekerja yang tidak terlibat langsung termasuk petani tembakau, petani cengkeh, dan pedagang.

Untuk itu, Warsono berharap setiap kebijakan yang terkait industri rokok bisa mengakomodasi semua pihak berkepentingan, baik yang pro maupun kontra merokok, seperti halnya fatwa haram rokok yang dikeluarkan PP Muhammadiyah dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tembakau.

"Kami sudah punya PP pengamanan rokok untuk kesehatan, mengapa harus ada RPP Tembakau. Kalaupun PP mau direvisi, industri tidak menolak," ujar Warsono.

Menurut dia, PP pengamanan rokok untukkesehatan belum memberikan hasil yang maksimal.

Untuk itu, dia melanjutkan, perlu adanya revisi terkait larangan merokok bagi anak di bawah umur dan bagaimana menjauhkan anak dari pengaruh rokok.

Pelaku industri rokok, menurut dia, sepakat jika PP harus direvisi karena belum mengatur upaya perlindungan anak dari bahaya merokok, dibanding mengeluarkan PP soal tembakau.

"Berdasarkan rapat terakhir di DepartemenHukum dan HAM, RPP Tembakau diminta untuk dikembalikan ke menkes sebagai pemrakarsa RPP untuk dilakukan harmonisasi. Dan untuk opsi itu, kami mendukung, karena RPP harus mendengar semua pihak," ujarnya.

arinto.wibowo@vivanews.com