- Freepik/pressfoto
VIVA – Adanya teknologi membuat hidup kita jadi lebih mudah dan nyaman. Contohnya seperti jaringan internet, beragam inovasi di kendaraan dan peralatan elektronik yang semakin hemat energi.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi yang berhubungan dengan biokimia, seperti plastik dan baterai. Namun, dua benda tersebut ternyata memunculkan masalah baru.
Penggunaan plastik yang masif serta canggihnya teknologi baterai, membuat keduanya semakin sulit untuk didaur ulang menjadi bahan yang bisa dipakai kembali dan akhirnya menumpuk jadi sampah.
Hal itu menjadi sorotan Greenpeace Indonesia, yang melihat bahwa saat ini permasalahan sampah plastik masih menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk diatasi.
Mereka menganggap perlu adanya pengawasan dari publik, pada rencana peta jalan pengurangan sampah yang sudah dilaporkan industri ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK.
“Kami mendorong untuk dibukanya rencana ini agar dapat diakses, dibaca, serta dinilai oleh publik secara luas,” ujar Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi melalui keterangan resmi, dikutip Rabu 15 September 2021.
Sesuai peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, industri diwajibkan membuat perencanaan bagaimana mengurangi sampah mereka dalam 10 tahun sampai dengan 30 persen.
Atha menjelaskan, ketika ada inovasi produk baru semestinya produsen menyiapkan cara supaya nantinya sisa barang tersebut tidak akan menambah masalah yang saat ini tak kunjung selesai.
“Saat pemerintah berusaha untuk menargetkan pengurangan sampah, khususnya sampah plastik, justru ada pelaku industri yang malah mengeluarkan produk-produk baru yang berpotensi menimbulkan sampah,” tuturnya.
