Industri di Indonesia Belum Semuanya Efisien

Ilustrasi kemasan plastik
Sumber :
  • Pixabay/pexels

VIVA – Kebutuhan Indonesia akan bahan baku plastik, saat ini mencapai lebih dari 7,2 juta ton. Dari angka tersebut, 2,3 juta ton disediakan di dalam negeri oleh beberapa perusahaan petrokimia.

DPR Tolak Iuran Pariwisata Dibebankan ke Industri Penerbangan, Tiket Pesawat Bisa Makin Mahal

Tingginya permintaan akan bahan baku plastik di dalam negeri, membuat Indonesia harus banyak melakukan impor setiap tahun.

Dosen Institut Teknologi Bandung, Akhmad Zainal Abidin mengatakan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam impor bahan baku plastik, terutama dengan adanya perjanjian perdagangan bebas atau free trade area.

Dharma Polimetal Tebar Dividen 2023 Rp 171,29 Miliar, 28 Persen dari Laba Bersih

Menurutnya, rencana penurunan bea masuk hingga nol persen untuk bahan baku pembuatan plastik itu dari Uni Emirat Arab bisa mengganggu industri petrokimia dalam negeri.

Ilustrasi plastik.

Photo :
  • Miror.co.uk
Asia Tenggara Bisa Jadi Pemimpin Industri Kripto Dunia, Begini Penjelasannya

“Kalau banjir produk petrokimia dari UAE, industri petrokimia dalam negeri bisa luluh lantah, dan ini bisa berakibat pemutusan hubungan kerja di industri tersebut. Jangan sampai FTA ini malah merugikan industri lokal. Sebaiknya pemerintah memikirkan efek buruk dari FTA tersebut,” ujarnya di Jakarta, dikutip Minggu 1 Juni 2022.

Menurutnya, lemahnya daya saing Indonesia dalam menghadapi perjanjian perdagangan bebas IUEA, bakal memperbesar risiko menuju deindustrialisasi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya desain industri yang komprehensif dan upaya maksimal untuk menekan produksi.

"Daya saing negara kita masih rendah, sementara biaya produksi belum bisa diturunkan. Negara kita juga dihadapkan sejumlah paradoks yang bisa menghambat pertumbuhan dari negara berpendapatan menengah menjadi negara yang lebih maju," jelasnya.

Akmad menuturkan, sebagai negara kaya industri di tanah air masih tidak efisien. Jumlah penduduk yang besar, tidak diimbangi oleh produktivitas yang masih rendah. Likuiditas berlebih di pasar keuangan juga tidak disertai dengan intermediasi yang cukup.

"Paradoks lainnya adalah, ukuran ekonomi yang besar tapi kompetisi rendah," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya