Cinta Pantang Menyapa, di Jaffa

Adegan dalam film Jaffa
Sumber :
  • transfax.co.il

VIVAnews - Sejumlah kota ditakdirkan menikmati kehidupannya dengan menjadi saksi bagi mereka yang saling mencinta. Siapa bisa melupakan Jakarta di sepanjang alur "Ada Apa dengan Cinta"? Rangga dan Cinta bahkan sempat menjadi pengganti kata benda bagi lema asmara.

Kau juga kukira takkan sudi berpaling pandang dari "Breakfast at Tiffany's". Adegan terakhir di muka sebuah lorong sembab kota New York yang dibasuh hujan tak kunjung menjenuhkan penontonnya: Holly dan Paul berpelukan dalam lindungan irama "Moon River" tanpa cela.

Tapi apakah semua kota seberuntung itu? Verona agaknya ada di urutan puncak bagi para pencinta nan putus asa. Mereka kerap menoleh ke jalan-jalan kota yang penuh jejak permusuhan keluarga Montague dan Capulet untuk merasakan perih yang menyergap Romeo serta Juliet. Kita tak boleh ragu pula untuk mengingat "Casablanca", kota yang menggentarkan bagi cinta kepala batu. Tentunya momen itu, ketika kita mendengar Ilsa Lund (Ingmar Bergman) berkata kepada sang pianis "Mainkan, Sam. Mainkan 'As Time Goes By'," selalu bisa bikin dunia jadi goyah.

Demikianlah, cinta tak pula berpihak di Jaffa, sebuah kota pelabuhan di dekat Tel Aviv, Israel. 

Film Jaffa berpusar pada konflik yang mendera sebuah keluarga Israel yang sukses mengelola satu bengkel mobil. Reuven Wolf (Moni Moshonov), sang pengelola, memiliki seorang anak laki-laki pemberang bernama Meir (Ro'i Assaf), seorang mekanik di bengkel itu. Wolf memiliki anak buah berketurunan Palestina, Hassan, lelaki di sekitar pertengahan umur 60an yang anaknya turut bekerja memperbaiki mobil di sana.

Toufik (Mahmud Shalaby), sang anak, mekanik andalan Wolf, memelihara hubungan balik-pagar dengan anak perempuan si juragan, Mali Wolf (Dana Ivgy). Dalam hirarki kepengurusan perusahaan itu, Mali bekerja sebagai pelaksana administrasi.

Toufik dan Mali berpacaran dalam kalut dan cemas. Dan di tengah perasaan tak menentu itu, Mali mengandung anak perempuan hasil hubungan mereka. Mereka tahu itu akan menjadi petaka. Pasalnya, meski Toufik merupakan orang kepercayaan ayahnya, Mali tahu Reuven takkan merestui hubungan dengan seorang Arab. Mereka berniat kabur. Toufik pun mengurus surat-surat yang diperlukan.

Malangnya, Toufik, yang tak akur dengan Meir, akhirnya masuk penjara karena ia tak sengaja membunuh Meir pada sebuah pergumulan. Ia dan Mali putus. Dalam sepucuk surat yang diantarkan ke penjara, Mali mengabarkan bahwa ia menggugurkan kandungannya, yang justru sama sekali tak dilakukannya.

Setelah itu, sepanjang film kita akan dibentangkan gambar-gambar yang menekankan pergulatan keluarga Wolf dalam melewati trauma atas peristiwa itu. Kita diajak mengenal Osnat (Ronit Elkabetz), istri Wolf, seorang perempuan biasa yang tak pintar mengendalikan emosi. Segala tindak-tanduknya mengingatkan saya akan peran-peran yang jamak terekam pada sinetron-sinetron bakda Isya di televisi kita: Impulsif dan menang sendiri.

Keren Yedaya, sang sutradara, agaknya terlalu tenggelam dalam melodrama ketika ia memutuskan menengahi kisah cinta Mali dan Toufik yang, kiranya, akan memacu debar, dengan tragedi pembunuhan itu. Sebab setelah itu, Mali seakan-akan tak mampu mengembangkan karakternya. Ia terjerembab antara menjadi ibu yang takbecus bagi anaknya, atau mantan kekasih yang sudah tak lagi menyimpan cinta. Parasnya kosong. Tak terlihat adanya pertengkaran batin di matanya.

Pada awalnya, film seperti menyarankan akan melakukan pendalaman konflik dengan titik berat pada ketegangan yang memasung hubungan antara Arab dan Israel. Cara bagaimana karakter yang terlibat dalam ketegangan itu menyiasati situasi kiranya akan meniupkan ruh ke dalam film. Tapi kemudian, seperti sempat disinggung, tragedi antara Toufik dan Meir memperlihatkan miskalkulasi Yedaya.

Sebagai kota, Jaffa sendiri merupakan tempat para keluarga Arab dan Yahudi tinggal dengan perasaan gelisah namun tetap mengedepankan toleransi. Tapi, situasi itu tetap tidak terlalu kentara dalam film.

Apa daya, tadinya beberapa baris lirik lagu "When We Dance" (Sting) mestinya sanggup mewakili kegetiran yang mencengkeram Mali dan Toufik. Tapi ternyata mereka hanya diberi porsi teramat sedikit. Tapi biarlah. Toh tak ada lagu Sting yang tak pantas diingat: If I could break down these walls/And shout my name at heaven's gate/I'd take these hands/And I'd destroy the dark machineries of fate.

Viral Video Transformasi Makeup Pengantin Jadi Sorotan Netizen
Anies hadiri acara penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden-Wakil Presiden Terpilih di KPU.

Anies soal Tawaran Jadi Menteri di Kabinet Prabowo: Belum Ada yang Ngajak

Anies juga merespons soal kemungkinan dirinya bergabung dengan koalisi Prabowo Subianto, termasuk jika ditawari kursi menteri di kabinet Prabowo-Gibran

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024